Sementara itu Selita langsung mengajak Ola ke dapur rumahnya. Mereka duduk di atas baar stool di salah satu sudut ruang dapur.
"Sabine tak berhenti memuji Mama barunya. Aku sampai nggak bisa menghilangkan rasa cemburuku. Apalagi melihat cucu kembarku, Ola. Aku sangat cemburu kepadamu..." ungkap Selita sambil menuangkan teh hangat permintaan Ola ke cangkir kecil.
Ola sambut teh panas buatan Selita.
"Tapi aku lekas sadar posisiku, Ola. Cemburuku akibat salahku juga. Dulu aku selalu menyalahkan kehadirannya sebagai penghalang kebahagiaanku."
Ola tatap Selita yang wajahnya masih diliputi rasa sesal mendalam. Sama seperti yang pernah dia lihat di wajah Akhyar. Tapi yang menjadi pertanyaan, kenapa bisa mereka melakukan perbuatan itu tanpa cinta? Adakah cinta di diri Selita kepada Akhyar atau sebaliknya?
"Kamu pernah mengharapkan Mas Akhyar, Selita? Hm..., cinta barangkali?" Tanya Ola was-was.
Selita terbahak-bahak mendengar pertanyaan Ola. Lalu dia tatap Ola dengan seksama.
"Cinta? hahaha... sebaliknya, Ola. Aku sangat membencinya. Aku benci wajah sombongnya dulu. Yang merasa punya segalanya. Wajah dan tubuh seksi, uang yang tak terhitung seakan-akan bisa membeli seluruh wanita yang dia sukai. Dia yang kesal lantaran lamarannya ditolak oleh gadis bernama Nayura Bashr, yang baginya adalah gadis tercantik sejagat raya, malah sempat mengejekku janda rakus harta. Aku tantang dia..., hingga dia tak berkutik di mobil itu..."
Ola tersenyum. Dia bukannya risih mendengar kisah sengit Selita dan Akhyar. Malah menikmati cara berkisah Selita yang menurutnya sangat melegakan perasaannya. Ini juga menunjukkan bahwa baik Selita maupun Akhyar sudah sama-sama merelakan apa yang sudah mereka lalui di masa lalu.
"Kamu bayangkan, Ola. Kamu pasti sudah dia ceritakan. Aku yang hamil Sabine bersujud di kakinya meminta menikahiku saja sesingkat yang dia mau. Aku hanya ingin Sabine memiliki data diri yang jelas. Dia malah menodongku dengan pistol. Aku sampai bersumpah dalam hati bahwa dia akan hidup tanpa cinta sampai dia bisa bertemu Sabine."
Selita menghela napas berat. Namun ada kelegaan terlihat di rajah kesalnya.
"Ternyata bersumpah dan mendoakan orang lain dengan doa yang buruk meski orang itu jahat sekalipun adalah sia-sia. Aku seakan termakan dengan sumpahku sendiri. Meski pada akhirnya aku tau hidupnya semakin kaya tapi hatinya kering, aku pun mengalaminya. Karena perbuatanku pun juga tidak bisa dibenarkan. Aku menikah dengan pria yang sangat aku cinta, seolah-olah Sabine adalah anak kandungnya. Hidupku meski berlimpah, tapi selalu merasa tidak pernah puas..."
Selita tertunduk. "Maafkan aku, Ola. Seharusnya aku tidak menceritakan kelakuan suamimu. Ini hanya kisah lama. Tapi seiring waktu, semua berubah." Selita menyeka air matanya. "Aku lega, hidupku juga tertolong olehnya. Dan Sabine yang menjadi titik balik kesadaranku bahwa hidup harus dijalankan dengan sebaik-baiknya."
"Aku titip dia..." Selita semakin terisak. "Aku percaya kamu orang yang sangat tepat sebagai tempat dia mengadu. Aku selalu sedih jika mengenang hidupnya. Kamu bayangkan saja, Sabine, anak yang terabaikan olehku dan Akhyar. Anak yang tidak diinginkan. Siapa yang ingin hidup seperti dia? Dia pernah bercerita kepada kakak-kakaknya akan gunjingan dari beberapa kerabat yang masih menyesalkan kehadirannya sebagai anak hasil perbuatan rendah. Jangan sampai dia rapuh lagi."
Ola raih tangan Selita dan menggenggamnya. Lalu mengangguk mantap.
"Akan aku jaga dia, Selita," lirihnya pelan.
Selita tertawa senang. Dia merasa sangat termaafkan dengan sikap Ola.
Tiba-tiba wajah Selita memerah menahan malu ketika melihat wajah Ola seakan meringis saat menoleh ke tangannya yang penuh goresan luka kecil.