Ola yang merasa segar, duduk di sisi Akhyar. Sekilas dia lirik foto mendiang Yusuf dengan posisi terbalik yang tergeletak di atas meja.
"Kita harus saling izin, Ola. Jangan merasa rendah di hadapanku," mulai Akhyar. Dia tidak sepakat dengan ucapan Ola yang seakan-akan mengangungkan dirinya sebagai suami, yang harus meminta izin jika menghendaki suatu hal. Sementara dirinya sebagai suami, tidak perlu izin dari istri jika hendak melakukan sesuatu. Baginya, semua pihak memiliki hak sama.
"Mungkin aku bukan tipe suami-suami yang mengekang atau membuat hati istrinya sedih. Seperti ayahku misalnya, yang semasa hidup berbuat semaunya, tanpa memahami perasaan ibuku. Meski hanya berupa kata-kata atau sikap."
Akhyar menelan ludahnya kelu saat mengingat hubungan antara mendiang ayahnya dan ibunya. Mereka memang saling mencintai, tapi entah kenapa ayahnya kerap mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati ibunya. Meski hidup bergelimang harta, namun ibunya tidak tampak bahagia. Sampai akhirnya Sirojuddin wafat pun, ibunya tetap merasa tidak bahagia.
Satu momen yang membuat ibunya bahagia adalah saat dirinya bersimpuh di kakinya, mengucap ampun serta berjanji tidak menyimpan gadis-gadis belia, serta mengakui kesalahan besarnya memiliki anak di luar pernikahan.
Akhyar ingat saat dia nyatakan bahwa dia ingin menikah, bukan main sang ibunda bersorak saking bahagianya. Tak peduli sakit yang dia derita cukup lama, Umi Haya nekad pergi ke Jakarta.
"Aku ingin kita saling terbuka. Kamu sebut apa yang kamu nggak suka dariku."
Ola menggeleng. Baginya Akhyar sangat sempurna. Dia baik, meski pemaksa. Dia gagah, tentu banyak yang menyukainya. Dia kaya, tapi bukan itu yang Ola pandang. Akhyar sangat tulus mencintainya. Ola masih mengingat perjuangannya.
"Nggak ada, Mas," ujar Ola. Mungkin rasa cintanya kepada Akhyar menutupi semua kekurangan Akhyar. Selama menikah, Akhyar selalu mewujudkan segala keinginannya tanpa ada drama.
"Aku?" tanya Ola. Ingin mengetahui kekurangannya di mata suaminya.
Akhyar tertawa dengan raut wajah datar.
Lalu matanya mengedar ke seluruh penjuru kamar sambil mendengus sebal.
"Maaf, Mas..." ucap Ola yang menyadari apa yang Akhyar pikirkan mengenai kamarnya.
"Aku tidur di mana, Ola?" tanya Akhyar dengan nada mengeluh. "Kamu nggak mengerti perasaanku..." rengeknya.
Ola menutup mulutnya menahan senyum saat menatap wajah Akhyar yang berkeringat.
Kamarnya memang sempit dan panas. Dipannya hanya cukup satu orang saja yang hanya muat untuk tubuh seukurannya.
"Atau kita tidur di luar saja. Aku dulu biasa dengan anak-anak tidur bertiga dengan tikar tebal menghadap ke tivi. Ada kipas angin di luar."
Dua alis mata Akhyar terangkat.
"Aku kira kita bisa tidur berdua di sini. Aku baru menyadari tubuh Mas sangat besar. Farid dan Rena dulu nginap di kamar Farid cukup lama di awal-awal baru menikah. Rena sangat bahagia berada di sini. Dia tidak pernah mengeluh, selalu senang."
Akhyar terkekeh mendengar cerita Ola.
"Baru ingat kalo mereka berdua itu kurus dulu. Aku nggak tau, Mas. Sejak sama Mas aku merasa muda..." ucap Ola menahan malu.
Akhyar lalu mencoba merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu Ola.
"Keras, Ola..." ucapnya. Dia tidak nyaman. Apalagi hawa di dalam kamar Ola baginya sangat panas.
Ola lalu beranjak dari duduknya dan melangkah ke luar kamar.
_______
Akhyar tersenyum manis melihat Ola yang sedang membentangkan tikar di atas lantai ruang tengah di depan televisi. Ruangan yang tentu lebih luas dibanding kamar Ola. Ola cekatan mempersiapkan semua yang dibutuhkan untuk tidur, tikar tebal, selimut, dua bantal, dan dua guling.