"Siapa yang melaporkan saya, Bu Wina?" tanya Ola hati-hati. Akhirnya dia ingin tahu. Ola menduga kerabat Yusuflah yang melaporkannya. Karena siapa lagi yang mengetahui kasus pemalsuan surat kematian suaminya selain kerabat almarhum Yusuf.
"Dirahasiakan, Bu Febyola. Ini ada prosedurnya. Saya sebagai penyidik nggak bisa mengungkapkannya," balas Wina lugas.
Ola mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika memang keluarga mendiang suaminya yang melapor, dia pasrah saja. Bagaimanapun mereka juga bagian keluarganya.
Namun yang menjadi pertanyaan besar di benaknya kini adalah kenapa baru sekarang dia dilaporkan? Apa ada orang yang tidak menyukainya lantas mengungkit kembali masa lalunya? Siapa? Apa yang menyebabkan masalah lama ini terkuak kembali, padahal Ola sudah sepakat untuk tidak mengusik-usik kematian suaminya. Dia ingat ancaman dari kerabat mendiang suaminya dulu di awal-awal hari kematian suaminya. Dia tidak boleh mengusik atau mengungkit kematian Yusuf.
Ola yang tidak mau ambil pusing dengan berbagai dugaan, akhirnya memilih menjalani proses hukum saja. Dia tidak mau membantah. Menurutnya, jika dia membantah semua tuduhan, akan sia-sia karena semua bukti mengarah kepadanya.
***
Ola tidak terlalu kaget ketika awal-awal memasuki ruangan kecil yang dihuni puluhan orang. Ola hanya tersenyum kecut. Baginya apa yang dia alami sekarang sama seperti masa kecilnya dulu yang pernah hidup di Panti Asuhan dalam waktu yang cukup lama, belasan tahun. Perbedaannya hanya terletak pada usia dan keadaan, jika dulu dia tinggal bersama anak-anak tidak berdosa, kini dia tinggal di sebuah ruangan penuh sesak dengan para pelaku kejahatan.
Ola sepertinya sudah siap dengan kehidupan barunya sekarang. Baginya, adalah satu hal yang biasa ketika hidup menghadapi pasang surut, ada kalanya senang, sedih, senang lagi, sedih lagi, dan bagi Ola dia harus siap dengan berbagai keadaan.
Ola menunjukkan sikap biasa. Sikapnya yang apa adanya mengundang rasa senang para penghuni tahanan. Ola pun memiliki banyak teman dengan segala macam latar belakang kriminal yang telah mereka lakukan.
Di penjara, Ola dikenal sebagai pendengar sejati. Ola sering mendengar keluh kesah mereka, terutama saat-saat tidak dikunjungi sanak saudara dalam waktu cukup lama. Mereka merasa tidak ada yang mempedulikan. Ola yang merasa terpanggil hatinya, menghibur mereka dengan kata-kata yang menenangkan tentunya.
Ola memang menenangkan sekaligus menyenangkan. Ruangan tahanan Ola sulap menjadi ruangan yang nyaman dan bersih. Pada mulanya dia bekerja sendirian, semua dia rapihkan. Tidak barang-barang miliknya saja, tapi juga milik teman-temannya.
Pada mulanya mereka sinis dengan Ola. Mereka mengira Ola hanya minta perhatian saja. Tapi ini sudah hampir satu minggu, dan Ola tetap dengan kegiatannya. Tetap rajin seperti biasa, senyum santai juga tetap mendengar keluhan-keluhan mereka.
Ola juga rajin mengikuti setiap kegiatan yang diadakan di lapas. Dari senam pagi, kegiatan belajar, keterampilan tangan, dan lain sebagainya. Dan Ola selalu menjadi penyemangat teman-teman lainnya.
Ola juga banyak belajar istilah-istilah baru dari teman-temannya.
"Lho, ibu kena kasus selingkuh juga ya, Bu?" tanya Ria ingin memastikan. Ria adalah salah satu teman dekat Ola. Ria juga tidur di sebelah Ola.
"Iya. Padahal saya nggak selingkuh, Ria. Cuma dijebak,"
Ria mencibir tidak percaya.
"Masa sih, Bu? Nggak percaya dijebak. Selingkuh itu enak lho, Bu. Bikin penasaran orang. Ada adrenalin yang sensasinya wow... luar binasaaaah," tanggap Ria sambil memainkan matanya genit. Bu Ola memandangnya sedikit sinis.
"Sensasi tuh opo, Rita. Kok yo seneng liat orang lain penasaran. Situ waras? Sebaiknya kamu penjaranya di Rumah Sakit Jiwa..."
Ria tertawa keras. Ola memang kadang suka membuat orang lain tertawa, terutama saat dia sedang sewot. Kasus Ria hampir mirip dengan Ola. Memalsukan identitas saat digrebek di sebuah hotel bersama kekasihnya yang sudah beristri, pemalsuan identitas plus melakukan perselingkuhan. Dia dituntut enam tahun penjara, dan sudah enam bulan berada di dalam tahanan.
"Iya, Bu. Emang bikin gila pacaran sama suami orang. Nggak bisa move on aku..."
"Apaan muf on?"
"Itu lho, Bu. Nggak bisa berpaling. Kayak ibu, suami udah metong, Ibu nggak kawin-kawin lagi. Berarti Ibu nggak bisa move on dari bayang-bayang suami ibu yang sudah wafat wal afiat..."
Ola tersenyum saja mendengar penjelasan Ria. Dia memang belum bisa move on dari Yusuf, tapi sebenarnya dia sudah mencoba mengalihkan hatinya ke Akhyar, mantan kekasih satu minggunya. Ah, hati Ola galau lagi. Apa kabar orang itu, orang yang sudah membuat Ola senang sekaligus sedih. Ola cepat-cepat menepis bayang-bayang Akhyar dari benaknya.
Sejak berteman dengan Ria, banyak istilah-istilah atau hal-hal baru yang dipelajari Ola. Dari istilah-istilah bahasa Inggris yang sering dipakai anak-anak muda, atau bahasa gaul anak-anak muda. Ola benar-benar menemukan banyak hal baru selama dalam tahanan.
***
Sebagai sahabat yang mengetahui sifat dan kebaikan Ola, Wak Tima tidak berhenti memberi dukungan kepada Ola. Kadang dia yang datang menjenguk Ola, kadang ditemani Pak RT, juga Pakde Satya. Mereka lega karena Ola terlihat sangat sehat dan baik-baik saja. "Makannya enak-enak, Wak. Aku yo nggak perlu susah masak-masak, capek-capek kerja. Hehe..." ujar Ola suatu hari. Dia memang terlihat segar dalam beberapa hari ini. Kulitnya pun sangat bersih. Wak Tima senang melihatnya. Tapi tetap saja, meski terlihat lega dan bahagia, Wak Tima tahu ada kesedihan yang sangat mendalam dalam diri Ola, yang sengaja Ola tutup-tutupi di balik senyum dan tawanya.
"Kalo Nayra nanya..., tolong kasih tau pelan-pelan, Wak. Bilang sama dia jangan kasih tau mertuanya," pinta Ola sedih.
"Lu tu gimana, Ola. Besan-besan lu kaya-kaya. Apa nggak sebaiknya minta pertolongan. Paling tidak masa tahanan lu berkurang."
"Hah. Ya nggak bisa begitu, Wak. Kucluk-kucluk bilang ke Mbak Hanin, Mbak, aku kena kasus nipu kematian suami, sama berselingkuh..., bisa Mbak tolong keluarkan aku dari penjara ini? Wak bayangin aku ngomong begitu? Kayak ngemis-ngemis gitu? Mau taruh di mana muka aku ini, Wak. Sudah bodoh, ngemis-ngemis. Nggak punya harga diri aku, Wak..."
"Ya bukan ngemis, Ola. Atau gua yang bilangin dah..."
"Nggak perlu, Wak. Wak cerita pelan-pelan aja ke Nayra kalo Nayra sempat ke rumah. Kasih dia pengertian."
***
