BAB 4: Kontrak Kerja

158 17 2
                                    

"Kamu dari generasi keberapa?" tanya pria berpedang itu.

Sulay mengepalkan tangan kanannya dan berlari menghantam pria itu sambil menjawab:

"122!"

Pedang dan tinju saling berbenturan. Gue tiarap di samping kuburan. Yang gue heran adalah, kenapa tangan Sulay bisa aman-aman aja walau berbenturan dengan pedang yang bahkan bisa membelah dua batu nisan? Apa tangannya kecampur semen, ya? Pria berpedang itu terlihat santai bahkan menikmati pertarungan. Malah Sulay yang mulai kewalahan.

"Kalau generasi sekarang cuma sebatas ini, bagaimana mungkin kalian kembali ke masa kejayaan!?"

Sulay menangkis pedangnya, namun sayang dia tetap terlempar.

"Dari dulu saya sudah bilang, penaklukkan dengan jalan pedang jauh lebih baik!"

Sulay mengubah bentuk tinjunya menjadi semacam bentuk cengkraman.

"Tapi si pendek itu malah merubahnya menjadi bisnis! Wajar kalau sekarang kalian jadi lemah!"

Pria itu mengayunkan pedangnya ke arah Sulay. Dengan berani Sulay menahan pedang itu dan mencengkramnya. Bukan darah yang keluar, melainkan percikan api seperti dua besi yang sedang bergesekan.

"Lumayan juga kamu!" kata pria itu.

Dia mencoba menarik pedangnya, namun Sulay berusaha keras tetap menahannya.

"Paling enggak, Si Bos masih punya rasa peduli sama bawahannya!" sahut Sulay.

"Itu yang bikin kalian lemah! Lihat saya! Bertarung seorang diri lalu berdiri di puncak kemenangan. Karena yang namanya juara hanya ada satu orang!"

Sulay berpaling ke arah gue yang dari tadi memegangi kaki gue yang luka. Enggak tahu kenapa, saat dia menatap seperti itu, gue seakan ngerti bahwa dia punya sebuah rencana. Rencana besar yang melibatkan gue untuk bisa kabur dari pria berpedang itu.

"Apa serunya jadi pemenang kalau gak punya teman untuk merayakan!?"

Sulay menarik pedangnya dan langsung terlepas dari genggaman pria itu. Dia menatap gue, dan melempar pedang itu ke samping gue yang masih tiarap. Pria itu kesal sekali dan memukuli kepala Sulay sampai keluar darah dari hidungnya! Gue memang baru kenal dia hari ini. Tapi kalau bukan karena dia, luka gue pasti bukan di kaki doang.

Gue meraih pedang yang tergeletak di samping gue. Gue gak pernah memegang pedang apapun selain pedang mainan waktu kecil. Gue segera meraihnya, dan berlari ke arah pria itu. Tentu aja gue gak tahu cara mengayunkannya. Tapi, gue sangat terlatih melempar joran pancing. Gue lakukan cara yang sama kepada pedang ini.

"Strike!" kata gue, seperti biasanya gue kalau lagi mancing.

Pedang sepanjang 1 meter itu mengenainya! Dia memegangi perut kirinya yang mengeluarkan darah. Gue menangkap Sulay yang hampir pingsan. Pria itu meringis kesakitan dan seakan gak peduli lagi sama kami. Gue jadi heran, sejak tadi dia bilang soal orang nomor satu di dunia, lah, seorang penakluk, lah, puncak kejayaan, lah. Masa kena tebas dari tukang pancing kayak gue aja udah sedramatis itu?

"Ambil ... pedangnya!" kata Sulay dengan pelan.

Gue kembali mengangkat pedang itu, dan pria itu menatap gue.

"Saya selau mencari kematian dengan pedang. Bukan dengan menua."

Sambil memegangi perutnya, dia berdiri di depan gue dan Sulay.

"Ambil nyawa saya, dan pedang itu jadi milik kamu,"

"Oke, Pak."

Gue mengayunkan pedang itu sekali lagi.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang