Setelah Dea menendang dan menjatuhkah Heshita cewek di hadapan gue, gue bergegas menggunakan sihir hijau menuju atap. Gue menukar posisi dengan genteng rusak di sana lalu berdiri di sebelah Torgol.
“Kenapa mereka bisa sampai ke sini, Mardo!?” tanya Torgol.
“Ceritanya panjang, Pak. Mendingan kita cari cara biar mereka bubar dulu.”
Heshita berkuda itu cuma diam menatap gue. Berbeda dengan Heshita di sebelahnya yang langsung mengayunkan tombak ke kepala Torgol. Torgol menangkis tombak itu dengan paruhnya! Sinting! Sebelum benar-benar terkesima, gue dipaksa buat menghindar karena serangan susulan tombak itu baru aja melayang di atas kepala gue.
Di bawah, teriakan pasukan monyet berbarur dengan ringkihan kuda-kuda yang marah. Membuat para Mizi tampak terpukul mundur karena keganasan mereka. Torgol sang pemimpin, kayaknya gak mau membiarkan teman-temannya kesulitan di sana.
“Saya serahkan yang di sini kepadamu, Mardo!”
Torgol terjun bebas yang langsung disusul oleh Heshita bertombak. Tertinggal lah gue bersama Heshita yang menunggangi kuda berwarna hijau rawa. Dia menatap pedang gue lalu menarik satu pisau belati di pinggang kirinya. Belati itu mempunyai gerigi kayak gergaji kayu di bagian ujungnya, dan pastinya bukan buat mengupas bawang.
Dengan cepat dia melemparkan belati itu ke arah gue! Buset! Untung aja gue sempat berguling ke kiri! Muncul asap jingga dari belati yang menancap di genteng, lalu secara aneh membuat belati itu melayang di udara.
Gue teringat dengan Mbah Bondo yang menggunakan asap jingga buat mengaduk semen kemudian menciptakan sosok monyet batu. Sebenarnya fungsi asap jingga buat pertukangan atau nyerang orang, sih!?
“Mardo! Kamu harus ikut kami untuk diadili!” ucap Heshita itu.
“S-salah saya a-apa, Pak!?”
Belati yang melayang itu kini berputar kencang kayak baling-baling dan mengejar gue yang mulai kesusahan berlari karena keadaan atap yang rusak. Daripada gue ikutan ambruk ke bawah, gue berpaling dan bersiap menangkis belati itu.
Ketika pedang gue dan belati yang berputar saling berbenturan, gue teringat kata-kata Sulay barusan. Daripada gue membelokkan arahnya, mendingan gue memotongnya atau memantulkannya ke udara. Ternyata, enggak keduanya. Belati itu seakan punya pikiran sendiri yang menyebabkan dia bermanuver memutari gue!
Belati itu menancap di bahu belakang sebelah kanan. Sakit banget anjir! pedang gue sampai terlepas dari genggaman dan gue langsung berlutut menahan sakit. Darah mengucur waktu belati itu mencabut dirinya sendiri.
“Menyerahlah dan ikut kami sekarang, agar tidak ada darah yang sia-sia terbuang.”
Asap merah keluar dari luka gue dan menghentikan pendarahan. Gue berpaling jauh ke belakang, menatap Dea yang tersenyum di antara pertarungannya melawan Heshita cewek kambing itu. Iya. Gak boleh ada yang terbuang sia-sia. Termasuk asap merah Dea.
Gue meraih pedang gue dan mencoba kembali berdiri. Belati itu kembali berputar kencang dan melesat ke leher gue. Gue menggunakan sihir hijau ke belakang kuda dan berniat menebas ekornya. Walaupun gue bisa bertukar posisi dalam hitungan detik, entah kenapa tebasan pedang gue bisa dihalau oleh tendangan kaki belakang kuda itu! Seakan dia bisa membaca niat gue.
Ketika gue terpukul mundur karena tendangan kuda yang gila, belati melayang sinting itu udah melesat aja ke arah gue! Sekali lagi gue menggunakan sihir hijau dan akan menebas Heshita itu dari sebelah kiri. Buset! Dia menangkis serangan gue dengan belati di tangan kanannya!
Kalau aja gue gak menukar posisi dengan serpihan genteng, belati terbang itu udah pasti akan bikin luka fatal di perut gue! Mungkin ini adalah kali pertama gue bertarung menggunakan sihir hijau berkali-kali. Dan entah kenapa gue mulai kesusahan bernapas.
“Manusia memang serakah. Mereka ingin menguasai semua sihir yang mereka lihat,” ucap Heshita itu.
Bentar! Gue bukan kesusahan bernapas! Gue kesusahan mencium aroma! Lebih tepatnya lagi, semua yang gue cium aromanya sama. Aroma asin garam! Buset! Apaan, nih!? Gue, kan lagi nggak di laut!? Kok bisa mabuk!?
“Itulah sebabnya kami memilih mempelajari dan mempertajam satu jenis sihir saja.”
Mempertajam? Nah! Itu dia! Haha! Penciuman gue mungkin berkurang karena efek samping dari sihir hijau ruang dan waktu. Tapi, gue masih punya sihir yang lainnya. Sebuah sihir yang mulai gue sukai aromanya.
“Rumryaku!”
Gue mengaliri Roksi, pedang gue dengan asap merah Dea bersama asap hijau lalu melemparkan gelombang kejut tajam ke arah topeng Heshita itu. Dia melemparkan kedua belati berputarnya untuk bersiap menghadang serangan gue. Karena bercampur asap hijau, gue bisa memindahkan gelombang itu ke manapun yang gue mau dengan aroma mawar yang pekat.
Gelombang kejut gue menembus dua belati yang melayang kemudian menghantam dan menyayat topeng yang dia kenakan. Dia ikutan terdorong dan jatuh dari kudanya ketika gue mendengar suara benda yang pecah. Kedua belati yang berputar dengan asap jingga tiba-tiba terjatuh.
Heshita itu berusaha berdiri sambil menutupi wajahnya dengan tangan. Muncul asap jingga yang mengangkat topeng yang udah hancur, lalu seperti Mbah Bondo, dia memulihkan topeng itu! Kampret!
Lalu, hal aneh terjadi. Heshita yang kembali memakai topeng itu tiba-tiba aja berlutut! Gue bisa ngelihat satu bola matanya yang berwarna merah perlahan mulai meredup.
“Serangan … yang … luar biasa.”
Dia kemudian jatuh ke depan! Sialan! Nanti gue tambah disangka orang jahat, nih kalau begini terus!
“Barquel … Andes.”
Heshita itu kemudian menguap menjadi asap putih tepat ketika kuda yang sejak tadi bersamanya menginjaknya dengan keras! Mereka kenapa, sih!? Kuda itu kemudian menengadah menatap sinar bulan yang baru muncul, lalu mengeluarkan asap hitam dari mulutnya.
Sama seperti pria botak bertanduk yang sebelumnya menyerang gue di dalam rumah hantu, kuda itu juga bisa menciptakan bola transparan dari asap hitam yang dia lepaskan ke langit malam. Gue bisa mendengar adanya bunyi dengung yang persis kayak mikrofon kalau terlalu dekat dengan speaker!
Semua orang menatap bola asap hitam berdengung di langit, termasuk pasukan monyet di bawah. Bola itu mengeluarkan semacam helaian rambut yang sangat banyak dan panjang. Gak butuh waktu lama bola itu udah menciptakan kerangkeng dari rambut yang mengelilingi seluruh area kantor.
Gue menebaskan gelombang kejut ke arah bola itu, namun gak terjadi apa-apa! Sakti! Dan ketika suara dengung itu berhenti, gue ngelihat Torgol terpental jauh setelah tertusuk tombak panjang Heshita yang dilawannya. Para Mizi juga terpental ke segala arah setelah dihantam dan ditendang dari kombinasi monyet dan juga kuda. Kacau!
Pasukan monyet berkuda yang dipimpin Heshita bertombak mulai berlari menuju kantor. Jangan-jangan mereka mau masuk kantor terus mengacak-acak kantin!? Gawat! Jangan sampai mereka memborong soto! Iya! Gue lapar!
“Sita! Sita!” teriak monyet-monyet itu ketika berlarian.
“Soto! Woy! Jangan sotonya!” teriak gue sebelum ngelihat Torgol terbang melesat dengan wujud aslinya!
Ketika Torgol terbang, tenda-tenda kerucut banyak yang bergoyang kencang. Torgol melebarkan kedua tangannya lalu berputar kayak torpedo dan langsung menjatuhkan kuda-kuda yang berlari. Gokil. Ini dia!
Dan dari arah berlawanan yang artinya dari arah pintu kantor, sebuah kepala dengan rambut mekar melesat kencang dan menghantam Heshita bertombak hingga terpental jauh kembali ke depan rumah hantu! Torgol dan kepala Kak Kila berdiri bersebelahan, menghalangi jalan mereka menuju kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...