“Runsel!”
Sulay mengeluarkan asap hitam berbentuk kepalan-kepalan tinju yang sangat banyak saat dia memukul genteng. Tinju sebanyak itu melesat ke arah wajah Si Monyet dengan cepat. Dia yang sekarang udah bisa berdiri lagi mencoba menangkis semua serangan sulay sambil teriak-teriak.
“Bagus, Pak!”
“Lihat ini, Mardo!”
Torgol kembali melesat entah dari mana dan memotong satu tanduk yang tersisa!
“Mantap, Pak!”
Ketika tanduk itu jatuh dan menancap di genteng, monyet itu terdiam dan berhenti menangkis pukulan asap hitam Sulay. Dia menatap tanduknya yang melebur jadi asap putih, lalu terdorong mundur karena Sulay memperkuat serangannya.
Dea keluar dari tubuh gue dengan tanduk merah yang udah gak ada di kepalanya. Tubuh gue terasa lebih enak dibandingkan sebelumnya.
“Makasih, ya, Dea.”
Dea cuma tersenyum sambil mengangguk, tapi gue gak cuma ngelihat itu! Ada yang berubah dari wajah Dea!
“D-dea! M-mata k-kamu!?”
“Nanti aja kita bahas. Katanya kamu udah tahu cara ngalahin dia? Gimana caranya?”
“Gini. Dia itu aslinya dua orang!”
“Dua orang? Tapi dia, kan bukan orang, Do,”
“I-iya juga, sih … tapi intinya dia itu ada dua. Nah, pertama, kita bikin dia teriak yang bikin sakit telinga itu dulu,”
“Oke, Do!”
“Dea, bisa nggak kamu bikin dia kelilipan sebentar?”
“Kelilipan?”
“Itu lho … waktu mata kita kemasukan debu terus kita susah ngelihat sampai debunya hilang,”
“Oh … buta, ya?”
“Bukan, bukan buta, Dea. Oke, anggaplah emang buta, tapi gak selamanya. Bisa nggak?”
“Bisa, dong. Ayo, Do!”
Gue berlari menuju bagian belakang kaki kudanya ketika Dea melebur jadi asap merah dan mengganggu penglihatan monyet itu. Rencana gue begini: gue akan menyerang kaki kudanya ketika dia berteriak. Buat apa? Buat nyari tahu, apakah benar dia dua orang atau enggak.
Belum juga gue melayangkan tebasan, dengan mata terpejam, monyet itu udah nendang ke arah gue! Eits! Gue udah duga serangan itu, makanya gue segera bertukar posisi dengan kepingan genteng di dekat kaki sebelahnya.
Gue menyayat bagian tumit belakang sebanyak empat tebasan sebelum gerakan gue terhenti akibat bahu kanan gue yang tiba-tiba mulai kembali sakit. Kayaknya gue belum benar-benar pulih, deh.
Tapi, di antara jeda gue itu, Si Monyet mulai berteriak yang bikin kami semua mau nggak mau menutupi kedua telinga. Gue harus berhasil menebas kaki kudanya sekali lagi sebelum suara dengungan itu berhenti! Tapi gimana caranya!?
Gue harus mikir cepat. Cepat. Nah! Itu dia! Kecepatan! Apa yang lebih cepat daripada gelombang suara? Gue menatap cahaya bulan di atas sana yang seakan masuk ke dalam kalung gue. Kalau gue bisa menebasnya dengan cepat, maka gue bisa segera kembali menutupi telinga gue biar gak meledak. Itu dia!
Gue menggunakan sihir merah muda biar gue bisa ngelihat jelas suatu titik yang pengin gue tebas. Entah kenapa gue pengin menebas bagian paha kaki kuda itu. Lalu, gue menancapkan tangkai mawar dari asap hijau di sana. Ada satu hal yang terus gue pikirkan sejak kemampuan gue yang bisa menebas 10 kali dalam 1 detik. Kenapa bisa terjadi, ya?
Waktu gue menebas Heshita berpedang yang jago banget itu, gue bisa menebas sebanyak-banyaknya dengan mengandalkan sihir biru yang entah kenapa bisa bikin semuanya terasa melambat kecuali gerakan gue sendiri. Dan kali ini, gue pengin mengganti sihir biru dengan sihir hijau yang lebih bisa gue kontrol.
Kalung, cincin dan gelang gue udah bercahaya dari tadi, seakan tahu maksud gue. Dan ketika sensasi ledakan itu muncul di pergelangan tangan kanan gue, gue menebas secepat mungkin ke titik waktu di paha kuda itu.
Gokil! Luar biasa mania! Dugaan gue benar! Tebasan cepat gue tadi langsung menuju titik waktu tanpa merambat di dimensi ruang! Gue jenius banget! Hahaha! Sikat! Hanya aja, tanpa sihir biru, gue gak bisa menebas lebih banyak. Gue harus nyari tahu cara ngendaliin sihir biru.
Dan inilah dia penentuan dari apa yang gue pikirkan sebelumnya, tentang mereka yang sebenarnya dua orang. Suara dengungan itu hilang seketika waktu gue menebas pahanya barusan. Namun, Si Monyet masih tetap teriak-teriak karena risih sama pandangan matanya yang diganggu Dea. Artinya, monyet hijau raksasa itu gak merasakan sakit dari tebasan gue. Dan artinya lagi, suara dengung gila itu gak berasal dari teriakannya.
Dua kaki kuda raksasa yang bagian paha atas sebelah kirinya sobek karena sayatan Roksi, mulai menendang ke segala arah! Buset! Dia ngamuk! Gue kembali ke samping Sulay waktu gue ngelihat Torgol mendarat di sebelahnya.
“Apa yang terjadi, Mardo!?”
“Dia kelilipan, Pak,”
“Kelilipan?”
Sulay menoleh cepat ke arah gue, seakan mengisyaratkan agar gue gak menerangkan apapun sama Torgol yang tampak gak ngerti.
“I-iya … semacam susah ngelihat gitu, Pak,”
“Katarak memang menyusahkan,” ucap Torgol sambil mengangguk.
Sulay cuma geleng-geleng.
“Oke, sekarang apa lagi?” tanya Sulay.
“Dalam hitungan ketiga, kita harus nyerang bagian dagunya. M-maksud gue, kita harus potong pangkal jenggotnya. Gimana, Pak?”
“Sialan lo. Serangan gue gak dikhususkan buat motong-motong, tahu! Tapi kalau lo mau potong jenggotnya, gue bisa bantu tarik dari bawah,”
“Nah! Sip itu, Pak! Let's go!”
“Saya akan bantu, Mardo,”
“1 … 2 … 3!”
Sulay seakan meninju angin, dan secara ajaib muncul tangan hitam besar dari bawah monyet hijau raksasa itu. Tangan dari asap hitam itu langsung menjambak jenggot panjangnya!
Torgol melempar tombaknya dengan sangat kencang, tepat mengarah ke dagu monyet itu. Dan gue….
“Dea! Jenggotnya!”
Gue menggunakan sihir hijau ke asap merah Dea yang udah sejak tadi ada di daerah mata monyet itu. Dea kembali ke wujudnya, melapisi sepatu putihnya dengan asap merah berduri yang melesat ke pangkal jenggot Si Monyet.
“Rumryaku!”
Gue menebas jenggot itu, bersamaan dengan sepatu Dea yang menukik tajam di antara tombak Torgol yang menancap dengan asap hitam. Serangan kombinasi pertama kami, berhasil dilancarkan! Sapi!
Kami ngelihat jenggot itu mulai rontok, tapi belum juga putus bahkan ketika asap hijau dan merah di pedang gue udah memudar! Sialan! Apa gak berhasil, ya!? Lalu, tangan hitam raksasa Sulay menarik keras jenggot itu sampai-sampai Si Monyet ikutan tersungkur.
“Berhasil! Hahaha!”
Gue dan Dea mendarat di depan wajah monyet hijau itu. Dea menatap gue dengan senyum lebar. Kalau aja asap biru gak tiba-tiba muncul di pundak gue, mungkin Dea udah gue peluk karena saking senangnya. Gue dengan cepat melindungi Dea dengan pedang gue ketika monyet hijau raksasa itu bergerak dan kembali bangkit.
Sekarang, di depan kami tengah berdiri sesosok makhluk berbentuk monyet berbulu hijau dengan kedua tanduk patah dan jenggot tipis urakan.. Jenggotnya yang panjang sekarang mulai melebur jadi asap putih. Lalu, kedua kaki kudanya mulai bergerak aneh.
Wajah monyet itu tampak marah, tapi kadang juga tampak senang. Kayak banyak ekspresi dalam waktu bersamaan. Kemudian satu ekspresi berikutnya adalah ekspresi mual! Dia muntah!
Kami semua menatap muntahan dari monyet hijau raksasa itu. Tampak sesuatu berambut hijau yang menggeliat, memiliki wajah, lalu dia menatap gue sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...