BAB 74: Cerita Pedang itu

54 8 0
                                    

Gak seperti yang gue bayangkan selama ini soal cara membuat sebuah pedang, di mana akan ada tungku api yang sangat panas untuk melelehkan besi, lalu besi itu dipukul-pukul berulang kali sampai menjadi sebuah pedang. Cara kerja Mbah Bondo sangat jauh berbeda.

Batu meteor pemberian seorang cowok aneh bernama Mamat itu cukup diletakkan di atas meja saat Mbah Bondo mengasapinya dengan asap jingga dari tangannya. Batu seukuran kepala itu meleleh kayak agar-agar! Dengan tangan keranya, Mbah Bondo membentuk langsung cariran itu sampai berbentuk batangan.

Dari meja kerjanya, Mbah Bondo membawa pedang setengah jadi itu menuju pelat besi. Bukan dengan palu super kuat, Mbah Bondo hanya mengandalkan tinjunya buat menempa pedang itu! Sinting!

Pukulan Mbah Bondo dalam wujud kera benar-benar kuat. Percikan api yang tercipta dari dua benda keras itu membuat gue teringat sama Sulay waktu tinjunya beradu sama pedang Pak Tsat. Setelah ditempa beberapa saat, pedang itu mulai berwujud lebih baik. Bubuk kopi yang sebelumnya gue beli, ditaburkan Mbah Bondo kedalam baskom berisi air! Buset!

"Sekarang siapkan sihir untuk membuat warnanya. Begitu pedang ini saya celupkan, masukkan asap apa yang mau dipakai. Mengerti!?"

Gue menoleh, menatap Dea yang menyimak proses pembuatan pedang baru gue.

"Dea,"

"Kamu yakin, Do? Kamu, kan punya warna lain?"

"Gak ada warna lain selain hitam yang aku suka kecuali merah."

Bersamaan senyum manisnya, Dea mengangguk.

"Merah emang paling cocok sama hitam."

Mbah Bondo mencelupkan pedang itu ke dalam baskom berisi kopi. Gak pernah ada hari di hidup gue, ketika gue terpikirkan bahwa kopi yang biasa gue minum akan menjadi cairan pendukung dalam pembuatan sebuah pedang. Hidup emang gak bisa ditebak.

Dengan keluarnya asap putih dari pedang itu ketika bersentuhan dengan kopi, maka itu berarti kopi itu dalam keadaan dingin. Dea mengarahkan tangannya sedikit di atas baskom itu. Asap merah yang melayang di udara membentuk kelopak bunga mawar yang indah. Bersamaan dengan wanginya, kelopak bunga itu berjatuhan ke dalam baskom. Menyatu di antara kopi dan pedang gue.

Kami bertiga berpandangan di detik-detik pencampuran itu. Sulay yang kayaknya juga baru pertama kali ngelihat proses pembuatan pedang tampak gak berkedip sediktipun. Dea yang menggigit ujung jempolnya, detak jantung mereka yang bisa gue dengar, serta asap putih yang mulai menipis membuat gue deg-degan.

Tepat ketika asap putih itu lenyap, Mbah Bondo menarik pedang itu keluar dari baskom. Air kopi berwarna hitam seakan membuka warna sesungguhnya dari pedang yang kami buat. Warna dasar dari pedang itu adalah hitam. Bukan sehitam arang, melainkan hitam seperti batu gelap di malam hari. Warna merah meliuk di sepanjang mata pedangnya. Seakan pedang itu baru menebas sesuatu.

Dengan asap jingganya, Mbah Bondo mengusap pedang itu sebagai pertanda akhir dari prosesi pembuatan pedang baru gue yang berbahan dasar batu meteor. Dengan kedua tangan keranya, Mbah Bondo menyerahkan pedang itu ke hadapan gue.

"Pedang ini saya beri nama Roksi. Dan pedang ini akan bersamamu sampai akhir. Terimalah."

Gue mengangkat pedang itu. Gak seberat pedang gue dulu, tapi juga gak seringan pedang Pak Nang. Yang pasti, sangat pas di genggaman gue karena gagangnya yang terasa seperti kayu. Dea dan Sulay ikutan takjub memandanginya.

"Terima kasih, Mbah Bondo. Roksi, ya? Keren juga."

Mbah Bondo membuat sosok kera di hadapan gue kembali menjadi asap. Mbah Bondo yang hanya seukuran gayung mandi meloncat keluar dan tersenyum menatap gue. Beberapa menit kami kembali duduk santai dengan Mbah Bondo yang lanjut ngopi, dari arah pintu terdengar suara ketukan.

"Mungkin ... sudah saatnya kalian kembali. Well ... terima kasih sudah mengunjungi saya, dan sampaikan salam buat Mbah Kusno,"

"Sekali lagi terima kasih, ya, Mbah. Kami pamit dulu," kata Dea.

Mbah Bondo menatap gue.

"Mardo. Saya tahu kamu gak sabar mau nyobain pedang itu, kan?"

"Hah?"

Pintu terbuka. Berdirilah di sana seseorang yang sebelumnya bikin gue ketakutan hanya dari tatapannya. Tapi ... dia tampak berbeda. Mukanya jauh lebih putih, dan senyumnya jauh, jauh, jauh lebih lebar! Persis sama yang kami lihat di dinding! Badut!

"Perkenalkan ... Radi Si Merah," kata Mbah Bondo.

Gue gak ngelihat dia ngeluarin asap biru, tapi gue merasa ketakutan. Gue tahu, ini pasti murni gara-gara gue yang emang aslinya takut sama badut!

"Udah beres, kan? Kita tinggal pulang, kan?" tanya Sulay.

"Ya. Kita tinggal pulang. Ayo, Do," sahut Dea.

Gak kayak mereka berdua, tangan gue malah tremor anjir! Gue takut!

"Kalau gitu biar gue yang lawan dia. Lo buang aja, tuh pedang baru."

Dengan tangan siap meninju, Sulay berjalan menuju pintu.

"Do ... kamu gak boleh takut," bisik Dea.

Dengan pukulan berlapis asap hitam itu, sosok badut yang dikatakan Mbah Bondo bernama Radi Si Merah itupun terpental jauh dari rumah! Genggaman tangan Dea yang terasa hangat, membantu gue memegangi gagang pedang gue yang seakan siap untuk bertarung.

"Ayo, Do. Aku kangen rumah kamu,"

"Iya. Ayo kita pulang."

Sulay menoleh sebelum berlari mengejar badut yang mulai berdiri di ujung sana. Bersama Dea di samping gue, gue berlari menyusul Sulay yang mulai menyerang badut itu sendirian. Dea membuat duri-duri tajam dari asap merahnya yang meluncur cepat menyerang badut itu. Begitu ada jeda di antara Si Badut yang kesakitan, gue berlari cepat menebas kakinya.

Si Badut terjatuh dan kami dengan cepat menuju dinding. Kami bertiga udah tiba-tiba kembali ke tempat dan masa yang sama sesaat sebelum kami pergi. Senyuman gambar badut di depan kami seakan mengakhiri perjalanan ini.

"Kita balik ke kantor, Do," kata Sulay.

"Lo gak mau pamit sama Nirana dulu?"

"Gak ada waktu. Udah banyak misi yang nunggu kita."

Sedetik sebelum balik badan, mata gue menatap sebuah huruf di dinding itu. Sebelum kami pergi, gue sama Dea emang udah ngelihat huruf "O" di sana. Tapi kali ini ... kaki gue tiba-tiba terasa sakit banget! Gue langsung jatuh sambil memegangi kaki gue.

"Kamu kenapa, Do!? DO!?"

"Do! woy! kenapa lo!?"

Kaki gue terasa sakit! Lebih sakit dibandingkan waktu huruf "D" muncul di kaki gue malam itu! Dea menyelimuti gue dengan asap merahnya, namun sakit yang gue rasa belum juga sirna. Dengan rasa sakit tersayat itu, gue berusaha melihat kaki gue sendiri. Di sebelah huruf "D" kini muncul huruf "O" yang mengeluarkan asap merah pekat!

Karena udah gak tahan dan gak tahu harus ngapain lagi, entah ide dari mana gue langsung aja menusuk kaki gue sendiri! Hal ini bikin Dea teriak panik karena kaki gue berdarah! Kayaknya ini darah pertama yang keluar dari tubuh gue sejak terakhir ditebas Pak Tsat malam itu. Walaupun harus berdarah, seenggaknya rasa sakit itu udah hilang bersamaan kesadaraan gue. Yoi. Kayaknya gue pingsan.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang