BAB 34: Perebutan dan Jawabannya

68 10 0
                                    

Dari pedang gue yang sekarang dipegang Torgol itu, keluarlah asap hitam yang membuat pedang itu kelihatan tambah panjang. Gue jadi teringat waktu pedang itu berubah warna jadi hitam. Lalu, Torgol berjalan mendekati gue.

"H-halo, Pak...." kata gue dengan gugup.

Tanpa disangka, Torgol mengayunkan pedangnya ke arah gue! sialan!

"Maaf, Mardo. Bukannya kamu sedang dilarang ke sini!?"

Torgol menebas ke arah gue lagi!

"Saya cuma mau cari tahu kenapa pedang saya disita."

Torgol mengangkat satu alisnya.

"Ini bukan pedang kamu lagi, Mardo."

Torgol melesat ke arah gue sambil mengayunkan pedang! Rambut gondrongnya mengibas terhempas udara. Gue berusaha sebisa mungkin menghindari serangannya. Dan tentu aja, lebih banyak kenanya. Badan gue disayat-sayat oleh pedang gue sendiri. Tentu terasa sakit. Tapi entah kenapa gak ada darah menetes di manapun! Walau sama-sama merah, yang keluar di setiap luka justru berupa asap!

"Saya jadi teringat saat pertarungan dengan pria pemilik pedang ini di zaman dulu," kata Torgol.

Gue berguling-guling di lantai demi menghindari setiap serangan makhluk tinggi berparuh burung itu. Gue gak tahu caranya melawan kalau tanpa pedang. Makanya gue cuma berusaha menghindar. Di saat gue berguling hingga akhirnya mentok dinding, saat itu juga muncul asap hitam pekat yang menyelimuti gue.

Kejadiannya sama waktu gue menggendong Mery. Asap ini bikin gue menghilang dari pandangan orang. Torgol tampak waspada ketika gue menghilang dari pandangannya. Gue punya dua pilihan saat ini. Pertama: gue berkesempatan kabur sejauh mungkin. Kedua: gue berusahan merebut kembali pedang gue.

"Keluar, Mardo! Tunjukkan dirimu!"

Gue merayap hati-hati memutari Torgol. Cara Torgol memegang pedang sama sekali gak kelihatan kokoh. Padahal pelajaran pertama sebelum memancing adalah bagaimana cara memegang joran pancing yang baik dan benar. Mungkin ini berarti bahwa Torgol gak terbiasa memakai pedang dan juga memancing ikan.

Bermodalkan celah itu, gue sekuat tenaga memukul pergelangan tangannya! Dan benar aja, pedang gue terlepas dari genggamannya! Torgol yang kaget segera berbalik badan dan berusaha menendang gue yang saat ini masih gak kelihatan olehnya.

Gue beguling dengan cepat ke arah pedang gue yang tergeletak dan segera mengambilnya. Ketika gue berdiri, asap hitam yang sejak tadi menyelimuti gue memudar. Torgol segera berbalik badan. Kami saling berhadapan untuk satu tujuan: pertarungan.

"Kembalikan pedang itu, Mardo,"

"Mohon maaf, Pak. Saya lagi rindu sama dia."

Asap merah Dea menyelimuti pedang itu. Cincin perak Mery berkilau ketika gelang dan kalung gue memancarkan cahaya kuning. Gue menggenggam lebih erat, menimbulkan asap hitam yang mulai menjalar ke seluruh lengan kanan gue.

Torgol melesat dengan tendangannya! Gelombang benturan dari pedang gue dan sepatunya membuat ruangan kaca transparan itu bergetar. Hantaman dari pukulan dan tendangan Torgol benar-benar brutal. Untung aja refleks menangkis dan menghindar gue cukup bagus. Dan gue rasa itu berkat asap merah Dea.

"Sekarang kita lihat, seberapa cepat kamu, Mardo."

Torgol berubah jadi burung kecil! Gawat! Setiap kali dia melesat ke arah gue, gue jadi takut! Dia terbang dengan gerakan dan arah yang gak bisa gue baca. Dan sialnya, dia berubah ke wujud aslinya setiap kali mendapat celah untuk menghantam gue. Dan itu selalu berhasil.

Gue dihantam habis-habisan! Sampai akhirnya asap hitam pekat itu kembali muncul dan bikin gue menghilang dari pandangan, Torgol akhirnya berhenti menyerang gue. Ternyata dia juga tampak capek. Memanfaatkan situasi itu, mumpung gue lagi menghilang, gue mencoba hasil latihan gue sebelumnya. Di mana gue akan mencoba sepuluh tebasan beruntun dalam satu detik. Di latihan sebelumnya gue gak berhasil karena cuma pake pisau dapur. Sekarang gue bersama pedang ini. Udah beda cerita.

Dengan satu tarikan napas panjang, gue merasakan sensasi meledak dari ayunan pedang gue. 1 ... 2 ... 3 ... 4 ... 5 ... 6 ... 7 ... 8 ... 9 ... 10....! Torgol tercabik! Bukan satu, tapi sepuluh tebasan di tempat yang berbeda di sekujur tubuhnya! Dia terhempas ke ruangan kaca dengan keras! Gue jadi kasihan.

Gue melihat cairan hitam berasap keluar dari luka-luka itu. Gue segera berlari menuju ruang medis untuk minta bantuan Kak Kila. Ternyata, Kak Kila dengan wujud cuma kepala itu udah melayang ke arah pertarungan kami tadi. Dia gak melihat gue karena gue emang masih gak kelihatan.

Gue berlari kembali ke tempat Torgol. Gue menyaksikan Torgol yang kayaknya pingsan sedang ditiup oleh Kak Kila yang melayang di atasnya. Dan di samping Torgol, telah bediri Si Bos besama cucunya. Gue jadi serba salah. Kalau gue menampakkan diri dan ke sana sekarang, bisa-bisa gue dihajar sama mereka. Dan lebih buruk, bisa-bisa gue dipecat. Tapi kalau gue kabur, gue akan dianggap penjahat. Keputusan terakhirnya adalah: gue berdiam diri sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam hati. Kalau sampai lagu selesai dan Torgol belum juga bangun, maka gue akan menyerahkan diri.

Lagu belum selesai, bahkan gue belum dapat nada dasar, Torgol udah bangun duluan. Dia berdiri sementara Si Bos membuka ruangan kaca itu lalu memasukkan Torgol ke dalam akuarium.

"Apakah parah?" tanya Si Bos pada Kak Kila.

"Hampir."

Sebelum mereka bubar, gue kabur duluan. Ada perasaan bersalah yang membuat langkah gue berat untuk kabur dari kantor ini. Dengan berbesar hati untuk menerima segala konsekuensi dari apa yang udah gue buat, maka gue mengayunkan langkah ke kantin.

Seenggaknya gue bisa ketemu Mery buat terakhir kalinya sebelum mati dikeroyok atau dipecat dan kembali jadi pengangguran. Ketika kantin udah terlihat, asap hitam pekat itu kembali muncul dan menyelimuti gue. Sialan. Gue, kan mau ketemu sama Mery!?

Gue terus aja berjalan sambil berharap asap hitam ini menghilang ketika gue sampai di bar Mery. Seperti biasa, banyak cowok mengantre buat beli kopi. Gue berdiri di belakang mereka, memperhatikan Mery yang lagi kerja. Satu orang cowok berambut cepak dengan kumis tipis, berusaha mengajak Mery ngobrol.

Dan benar kata Sulay, kalau Mery susah diajak ngobrol. Cowok itu menanyakan banyak hal. Entah kenapa gue mau berterima kasih sama dia, karena mungkin mewakilkan gue soal pertanyaan yang sama.

"Pulang jam berapa?" tanya cowok itu.

"Malam," sahut Mery dengan sedikt senyum.

"Rumah kamu di mana?" tanya cowok itu lagi.

Mery diam aja sambil bikin kopi.

"Udah punya pacar?"

Nah ini! gue juga penasaran.

"Ada," sahut Mery.

Kayaknya jantung gue gak berdetak selama 2 detik setelah mendengar itu. Pandangan gue mulai kembali jelas, terlihat asap hitam yang memudar, dan tentu aja ... Mery langsung bisa melihat gue di depannya.

"Mardo!?"

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang