BAB 8: Latihan Kerja

100 12 2
                                    

"Mohon izin ngangkat telpon, Bos,"

"Silakan."

Jantung gue berdegup kencang! Gue salah lihat atau gimana!? Atau dia gak sengaja kepencet nomor gue, ya!? Gue panik sendiri. Dengan jempol gemetaran, gue mengangkat telpon.

"Halo."

Suaranya! Suara yang udah cukup lama gak gue dengar!

"Halo, Mardo," katanya lagi.

Gue menelan ludah, menarik napas panjang lalu menjawab.

"I-iya, ada apa ... Nay?"

"Emm ... sibuk, gak?"

Gue melirik ke arah mereka bertiga.

"Sekarang masih sibuk, sih. Kenapa, Nay?"

"Gak apa-apa. Yaudah, nanti kalau udah gak sibuk, telpon aku, ya."

Telpon berakhir. Gue menganga lebar.

"Lo kenapa?" tanya Sulay.

"Telpon aku, ya!" sahut gue.

"Hah!? Apaan, sih lo!"

Si Bos dan Mery ketawa.

Di kantin, gue, Sulay dan Mery duduk satu meja. Gue memandangi Mery yang pada hari ini memakai kaos hitam dengan tulisan kecil: menantu idaman.

"Gimana, Do? Lo yakin itu Mery?" tanya Sulay.

"Mer, coba lo senyum, deh," kata gue.

Mery senyum. Memang manis, tapi senyumnya beda waktu gue lihat di rumah gue.

"Manis. Tapi gak sama, Pak,"

Pipi Mery jadi merah. Kayaknya kebanyakan minum kopi.

"Gak sama gimana?"

Gue mencoba mengingat.

"Gak tahu juga, Pak. Pokoknya senyumnya beda."

Sulay browsing dan menunjukkan banyak foto cewek senyum sama gue. Gak ada satupun yang sama. Kemudian gue teringat dengan satu foto, yang gue rasa punya senyum yang sama. Gue mengeluarkannya dari saku celana. Sebuah foto yang gue dapat dari pendopo waktu itu.

"Nah! Kayak gini, Pak! Persis gini senyumnya!"

Sulay dan Mery langsung mundur sambil memegangi dahi masing-masing.

"Do, gue gak tahu apa yang terjadi sama lo, tapi ingat kata-kata gue: lo harus hati-hati!" kata Mery.

"Kita ke ruangan Si Bos sekarang."

Dari balik mejanya, dengan secangkir kopi di tangan dan jas kebesaran, Si Bos mengusap-usap dahinya sambil memandangi foto yang gue perlihatkan. Mery gak ikut karena harus jaga kedai kopinya. Sulay berdiri di samping gue sambil memegangi tangan kanannya.

"Jadi, kamu dapat foto ini di tempat itu?"

"Iya, Bos. Waktu mau bersih-bersih,"

"Sulay, tolong kamu beri dia dasar-dasar bela diri untuk berjaga-jaga,"

"Siap, Bos,"

"Mardo, mulai sekarang kamu harus bisa memakai pedang pemberian teman lama saya itu. Selama yang saya ingat, pedang itu tidak pernah dipakai untuk kebaikan. Hati-hati."

Gue dan Sulay udah balik badan mau pergi. Lalu Si Bos memanggil gue.

"Tunggu, Mardo. Kenapa pedangnya kamu kasih warna merah?"

"B-bukan saya, Bos. Malam itu, pedangnya sempat hilang. Waktu ketemu besoknya, ada di kamar mandi kecampur sama bunga mawar. Dan udah gini warnanya."

Si Bos cuma diam sambil minum kopi.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang