BAB 42: Sebuah Rumah

60 10 0
                                    

Di antara diamnya gue dan Dea, ketika matahari udah semakin terik sampailah kami di tempat tujuan. Kalau dilihat dari rumah-rumah yang ada, kompleks perumahan ini bisa dibilang sebuah kompleks perumahan mewah. Melaju dengan kecepatan rendah, tibalah gue pada titik yang udah ditandai.

Berdiri di depan gue sebuah rumah berukuran besar dengan halaman luas. Benar-benar gak bakalan ada yang percaya kalau rumah ini adalah rumah misterius seperti yang dijabarkan oleh berkas itu. Catnya berwarna abu-abu cerah yang membuatnya berkilauan saat bersentuhan cahaya matahari.

Kami turun dari motor dan berdiri memandangi rumah itu. Beberapa meter ke kanan dari pintunya, terdapat sebuah jendela yang bisa dimasuki manusia dengan tubuh gak lebih besar dari gue. Selain jendela yang menarik perhatian, sebuah kursi kayu yang menghadap gue sekarang benar-benar terasa memanggil untuk didekati.

Kemampuan menghitung gue buruk. Tapi kalau boleh gue bandingin sama halaman tempat biasanya gue jadi panitia hewan kurban, halaman rumah ini bisa aja dua kali lipatnya. Gue membayangkan, pasti dengan halaman seluas ini bisa menampung banyak sapi. Dea menarik lengan gue ketika gue melangkah ke arah rumah itu.

"Ada apa, Dea?"

Dea mengisyaratkan dengan matanya, menunjuk ke arah jendela rumah di seberang. Ketika gue menoleh, ada sebuah pergerakan cepat. Seperti ada yang mengintip kami sekarang. Gue langsung teringat dengan perkataan Mery. Katanya, hanya ada dua orang remaja yang pernah masuk ke dalam rumah ini. Dan gue juga mengingat janji gue, bahwa gue gak akan gegabah.

"Ada orang, ya? Dia bisa ngelihat kamu, nggak?"

"Iya. Akan repot kalau aku menghilang sekarang, Do."

Gue memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas siapa di balik jendela itu. Dari jarak 50 meter, kayaknya penghilatan gue gak sebaik itu, deh. Gue kembali melangkah menuju rumah itu dengan hati-hati, sambil sesekali menoleh ke kanan dan kiri.

Dea memandangi rumah itu sambil memiringkan kepalanya lalu matanya menyipit ketika menepuk bahu gue.

"Do ... menurut kamu, rumah itu apa?"

Gue ikutan memiringkan kepala.

"Rumah itu ... suatu tempat yang menerima kita dalam keadaan apapun,"

"Aku pengin punya rumah, Do."

Gue dan Dea berjalan ke arah berlawanan. Gue mendekati kursi kayu di sebelah kiri sementara Dea ke jendela di sebelah kanan. Satu hal yang gue ingat dari sebuah kursi di manapun letaknya, tujuannya hanya satu: diduduki. Walaupun begitu gue juga mengingat hal di belakangnya, bahwa jangan menduduki kursi orang sembarangan. Hampir aja.

Sebuah kursi kayu berwarna cokelat ini tampak kokoh kalau mengingat usia rumah ini yang udah lama kosong. Dan benar apa yang dijabarkan oleh berkas itu, kalau rumah ini gak kelihatan kotor sama sekali. Apa mungkin ada orang baik hati yang merawat rumah ini tanpa imbalan, ya?

"Do! Do. Sini, deh."

Dea mengintip ke dalam rumah lewat kaca jendela yang gelap waktu memanggil gue.

"Kenapa, Dea?"

"Ini pertama kalinya aku gak bisa melihat apa-apa, Do. Gelap banget,"

"Terus gimana?"

"Kita tetap harus masuk, kan?"

"Tunggu ... tunggu. Misinya, kan cuma nyari informasi soal makhluk penunggunya, kan? Gak ada yang nyuruh kita masuk, dong?"

Dea menoleh menatap gue.

"Do ... gimana kita bisa nyari informasi kalau kita cuma diam di sini?"

"Pasti ada cara lain. Kita nyari tahu soal orang yang mengenal rumah ini dulu aja. Kita mulai dari tetangga terdekat. Rumah di seberang itu."

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang