BAB 29: Sihir dan Warnanya

68 12 0
                                    

Torgol menaruh pedang gue di meja Si Bos, lalu dengan asap hitamnya, dia dan Vivin menghilang. Setelah Si Bos senyum, dia meminum kopi dan memutar kursinya membelakangi kami. Sulay menepuk bahu gue, lalu keluar ruangan lebih dulu. Gue gak tahu apa maksudnya dari diliburin buat memulihkan diri. Yang gue gak ngerti dan agak gak terima adalah: kenapa pedang gue disita!?

"Gunain waktu yang dikasih Si Bos buat lo ngembangin diri. Gue mau pergi ke suatu tempat, jangan ganggu gue dulu," kata Sulay, sebelum ninggalin gue.

Gue tiba di rumah ketika hampir subuh. Karena dibantuin Sulay, pintu dan jendela gue udah kembali normal lagi. Yang masih gak normal dan bikin gue kembali bertanya-tanya adalah: siapa yang bayarin tagihan air gue? Ketika baru masuk, gue kaget ketika melihat Dea di dapur lagi masak sesuatu. Gue langsung mendekatinya, penasaran dia lagi bikin apaan.

"Belum siap! Tunggu aja! Jangan ganggu!" katanya tanpa menatap gue.

Daripada gue dipukul pake panci, jadinya gue masuk kamar aja. Gue kaget lagi waktu masuk kamar! Di kasur gue banyak buku-buku yang tampak tua dari sampulnya. Ada 9 buku di sana, yang masing-masing sampulnya punya warna yang berbeda. Waktu di SMA, karena kenal Naya gue jadi sering nongkrong di perpustakaan buat baca buku.

Kebiasaan baca buku bareng itu kami lakuin selama 3 tahun. Dan setelah lulus, kami cuma sesekali pergi ke toko buku karena alasan kesibukan masing-masing. Sebenarnya yang sibuk itu Naya, karena dia lanjut kuliah dan mulai tertarik sama dunia seduh kopi. Sedangkan gue cuma bolak-balik ke pemancingan.

Gue mengintip keluar, dan ternyata Dea masih sibuk di depan kompor sambil ngomel-ngomel pelan. Yaudah, terpaksa gue terkurung di kamar. Walaupun gue penasaran sama buku-buku itu, tapi karena gue ngantuk akhirnya gue ketiduran. Suatu aroma yang bikin lapar membangunkan gue. Jendela gue udah terbuka, bikin cahaya matahari menerjang ke muka gue. Pasti kerjaannya Dea, nih. Waktu mau buka pintu, gue menatap meja laptop yang kosong. Teringat bahwa biasanya pedang gue ada di sana. Dea masih kelihatan sibuk di depan kompor. Gue mendekatinya, dia masih gak mau menatap gue.

"Mau aku bantuin nggak?"

"Gak usah."

Sekilas memperhatikan wajahnya yang cemberut, gue menyadari ada sedikit benjolan di dahinya. Itu pasti bekas pukulan Sulay kemarin. Benjolan itu gak gue sadari tadi malam karena emang ketutupan poni. Untungnya gue ini juga pernah benjol waktu SD, waktu gue nabrak tiang bendera. Berbekal pengalaman itu, gue jadi tahu cara mengobatinya. Gue segera ke kamar mandi, mengambil handuk yang gue celupin ke air hangat lalu menutupi dahi Dea dengan cepat.

Walaupun dia sempat mau marah, tapi waktu mata kami saling menatap dia langsung diam aja waktu gue mengkompres dahinya. Agak lama gue menahannya, demi kesembuhan dahinya sendiri.

"Udah, Do. Lepasin."

Gue gak peduli dan diam aja.

"Do ... udah. Lepasin!"

Gue menekan handuk lebih keras.

"Do. Gosong!"

Gue menatap wajahnya. Masa iya dahinya jadi gosong?

"Nasi gorengnya nanti gosong!"

Waktu gue melihat wajan berisi nasi, barulah gue melepaskannya. Sambil melanjutkan masak, Dea senyum-senyum sendiri. Gue memegang dahinya, dan kayaknya udah lebih mendingan.

"Udah sana duduk, gangguin aja," katanya sambil ketawa-ketawa.

Setelah Dea menghidangkan sepiring nasi goreng, kami duduk berhadap-hadapan. Gue masih memperhatikan dahinya karena benjolan itu masih ada walau gak separah sebelum dikompres. Dea menyendok nasi dan mengangkatnya ke depan mulut gue.

"Aaaaaaaaa" katanya, lucu banget.

"A-apa, Dea?"

"Buka mulutnya!"

Hah!? Masa iya gue disuapin!?

"G-gak usah ... aku bisa sendiri, kok."

Dea menatap gue, bibirnya cemberut. Tatapannya nyeremin banget!

"I-iya, deh."

Ternyata enak banget! Kalau boleh gue bandingin sama nasi goreng bikinan Mery waktu itu, yang ini terasa lebih kaya rasa! Walaupun bikinan Mery juga enak. Setelah dia nyuapin gue dua kali, gue mengambil alih sendok dari tangannya.

"Makasih, ya. Buruan kamu makan juga."

Dea tersenyum, lalu ikutan makan.

"Masih sakit, ya?" tanya gue saat menatap dahinya.

"Enggak. Udah sembuh, kok. Eh, gimana keadaan kantor kamu?"

"Aku juga bingung. Tiba-tiba Si Bos ngenalin cucunya, pedang aku disita, dan katanya aku sama Sulay disuruh istirahat dulu,"

"Pedang kamu disita!? Kelewatan banget!"

"Tapi ... yaudah, lah. Mumpung aku ada waktu, kita jadi bisa mulai pencarian kamu."

Dea berhenti mengunyah, matanya terbuka lebar.

"Serius, Do!? Kamu mau!?"

Setelah siang harinya, gue dan Dea duduk berhadapan di atas kasur gue. Di depan kami, buku-buku yang tadi gue bilang disusun ulang oleh Dea.

"Kamu tahu nggak ini buku apa?"

"Emang buku apa?"

"Ini buku sihir, Do. Setiap buku ngajarin satu ilmu khusus,"

"Hah!? Emang buku gituan beneran ada!?"

Dea mengeluarkan asap merah dari telapak tangannya.

"Sejauh ini, kamu udah ngelihat ada berapa warna asap?"

Gue mencoba mengingat.

"Emm ... kebanyakan, sih warna hitam. Eh! Tapi aku pernah ngelihat warna hijau juga,"

"Berarti kamu udah ngelihat empat warna: putih, hitam, merah, hijau."

Dea menunjuk buku-buku itu.

"Yang aku tahu selama ini, hanya manusia yang bisa nguasain semua warna. Sedangkan kami, hanya bisa maksimal dua aja,"

"S-semua warna!? Emang siapa yang pernah jadi pelangi kayak gitu!?"

Dea mengangkat bahu.

"Mungkin kamu bisa," katanya sambil tersenyum.

Dea membuka semua buku-buku itu. Gak seperti tulisan aneh di kaki gue yang gak bisa gue baca, ternyata tulisan di buku itu adalah tulisan normal. Artinya, gue pasti bisa membacanya. Setelah meniupkan asap merahnya ke buku-buku itu, berbagai asap berwarna keluar dari sana!

"Perhatiin, Do. Ini penting!"

Gue memperhatikan gumpalan asap-asap itu.

"Ungu: kemampuan khusus berbicara sama hewan. Hijau: pengendalian ruang dan waktu. Biru: Meningkatkan insting. Kuning: Kemampuan khusus membaca pikiran makhluk apapun. Merah muda: Meningkatkan jangkauan penglihatan. Abu-abu: Kemampuan khusus pindah dimensi,"

"Terus yang lainnya?"

"Aku juga belum tahu. Sekarang, kamu coba pelajari satu-satu yang udah aku jelasin tadi."

Gue diam aja ngelihatin asap-asap yang memudar itu. Gue mikir: kayaknya gue gak bisa, deh. Setelah asap warna-warni itu hilang, Dea menutup kembali buku-buku itu lalu menaruhnya di atas meja laptop.

"Kamu kenapa, Do? Kok diam gitu?"

"Enggak ... aku rasa aku butuh waktu, deh buat belajar semuanya,"

"Iya ... gak ada yang nyuruh buru-buru, kok. Kalau boleh tahu, kamu paling tertarik sama ilmu apa?"

"Gak tahu juga. Semuanya keren. Eh, tapi asap merah kamu? Belum kamu jelasin apa kemampuannya. Curang banget,"

"Ini? Udah jelas, dong ... biar aku tambah cantik."

Dia ketawa. Bikin tambah cantik.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang