BAB 89: Tentang Keanehan Sihir

55 6 0
                                    

Sulay yang menyadari kalau hal itu adalah perbuatan gue langsung berpaling menatap gue dengan tampang sangarnya. Dia berjalan cepat mau nyamperin gue. Begitu udah dekat, gue menukar posisi gue dengan seorang cowok yang lagi antre beli kopi di bar Mery. Asli, gue jahil banget hari ini.

"DOOOOO!" teriak Sulay.

Orang-orang langsung ngelihatin Sulay. Mery menatap kami berdua dengan wajah bingung.

"Sini lo, Do! Jangan kabur lo!"

Sulay ngejar gue anjir! Waktu gue ngelihat Kak Kila yang udah beres makan ngelihatin kami dengan heran, gue punya ide gila terakhir. Hahaha! Gue mencoba menukar posisi gue dengan Kak Kila biar Sulay tiba-tiba ada dekat dia lagi. Ketika gue berkedip, hal aneh tejadi.

Seperti waktu gue mencoba menukar posisi sama Dea, sama Kak Kila juga terjadi hal yang sama! Bedanya, kali ini Kak Kila yang berpindah ke depan gue tapi gue gak berpindah ke tempat dia duduk tadi! Jangan-jangan ... teori Dea soal asap merah yang terhubung juga terjadi antara gue sama Kak Kila!? Kalau emang iya, kenapa bisa!?

"Kena lo! Awas lo, ya! Gue pukul baru tahu rasa lo!"

Sulay memegangi bahu gue dengan kuat.

"I-iya ... maafin gue, Pak. Bercanda doang,"

"Gue gak mau tahu! Pokoknya lo harus gue balas!"

Gue udah pasrah aja kalau Sulay mukul gue, tapi Kak Kila tiba-tiba ngelepasin tangan Sulay yang mencengkram bahu gue.

"Udah, udah ... katanya gak mau dipanggil anak kecil lagi. Lihat, tuh. Ibu kantin nyariin orang yang pesan nasi bakar,"

"I-iya bener, tuh, Pak. Kalau gak mau, gue mau, kok makan nasi bakar lo," sahut gue.

"Lo yang gue bakar habis ini!"

Jadilah kami bertiga duduk satu meja tepat di seberang bar Mery kerja. Sulay makan nasi bakar, gue makan mie ayam dengan ekstra kerupuk, sedangkan Kak Kila lagi asyik menikmati teh thailand.

"Eh, kalian berdua udah dengar nggak soal acara yang mau diadain kantor kita?" tanya Kak Kila.

"Acara apa, Kak?" tanya gue dengan kerupuk di tangan kanan.

"Telinga lo dipake buat apaan, sih? Orang-orang udah pada sibuk ngomongin, cuma lo doang yang gak tahu apa-apa," Sahut Sulay.

"Lha? Bukannya lo juga nggak tahu?"

Sulay tersedak. Dia pasti gak tahu caranya makan nasi yang aman.

"Ya ... telinga Mardo, kan cuma dipake buat dengerin suara Mery doang. Wajar dia gak tahu."

Kak Kila bikin gue malu anjir! Mery, kan ada di depan kami! Gimana kalau dia dengar!?

"J-jadi ... ada acara apaan, sih?"

"Kantor kita mau bikin wahana rumah hantu. Saya dengar, sih sekalian launching fitur baru Promiz. Katanya di versi baru nanti, pelanggan bisa hire jin dari kita buat jadi bodyguard."

Gue tertegun membayangkan apa yang akan terjadi nani. Itu pasti ... keren banget!

"Kapan acaranya!?" tanya gue antusias.

"Belum tahu juga, sih. Mungkin nanti ada pengumuman."

Mery memanggil gue. Ada apa, nih?

"Udah ... cepetan ke sana. Langsung peluk."

Kak Kila emang sinting!

"Kenapa, Mer?" tanya gue waktu gue berada di depannya.

"Sorry banget, nih Do gangguin waktu makan lo ... tapi lo bisa nggak ngambilin paket biji kopi gue di resepsionis? Lagi banyak pelanggan, nih soalnya,"

"Oh ... bisa, bisa, kok. Tunggu, ya,"

"Makasih, Mardo ... kamu ganteng, deh."

Kak Kila senyum-senyum ngelihatin kami. Sialan! Gue jadi malu-malu mau pergi! Boleh gue tebas aja nggak, sih dia? Kepalanya, kan bisa balik lagi! Gue berlari kecil ke resepsionis depan. Untung aja mie ayam gue udah habis, jadinya gue bisa tenang. Karena sesuai prinsip gue: gak boleh nyisain makanan.

Mbak-mbak tanpa alis duduk di kursinya waktu gue sampai. Sempat ada canggung sebentar di antara kami gara-gara soal Vivin kemarin. Untungnya, dia segera berdiri dan tersenyum ramah. Dia udah kembali kayak semula.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak Mardo?"

"I-ini ... mau ngambilin paket punya Mery,"

"Oh paket buat kantin itu, ya? Tunggu sebentar, ya."

Gue berjalan balik menuju kantin dengan sebuah paket persegi panjang yang gue pegang erat. Sulay dan Kak Kila udah gak ada, sementara Mery tampak semakin sibuk. Gue buru-buru menuju barnya. Mery minta tolong gue buat membuka paket itu. Di dalamnya ada 3 pouch biji kopi yang namanya bahkan gak bisa gue sebut dengan lidah lokal gue ini.

Gue sebenarnya pengin banget bantuin Mery. Tapi karena ini soal kopi yang juga berarti soal rasa, maka gue gak pengin ngerusak cita rasa kopi seduhan tangan Mery yang hari ini kelihatan cantik. Kok gue jadi ngelihatin dia, sih!? Oleh karena itu, gue cuma bisa bantuin dia nerima pesanan.

Gue hitungin setelah 16 pesanan masuk, barulah bar Mery mulai sepi. Gue ngelihatin dia melepas kacamatanya dan mengusap keringat di wajahnya pake tissue. Dia yang tahu lagi gue lihatin melirik gue sambil meregangkan otot-otot lehernya kayak orang pegal-pegal.

"Aduh ... capek banget, nih. Kalau aja ada yang mau mijatin gue...."

Iya, sih. Sayangnya di kantor ini gak punya tukang pijat. Fasilitasnya ternyata masih kurang lengkap.

"Lo mau gue panggilin tukang bekam nggak, Mer? Gue ada kenalan tukang bekam."

Mery ketawa-ketawa kecil waktu memasang kacamatanya kembali.

"Gue mau duduk aja, Do."

Sebelum duduk berdua di meja seberang, sempat-sempatnya dia bikinin secangkir kopi tubruk buat gue. Gue ngelihatin bubuk kopi yang berputar di permukaan. Gue sebenarnya masih mencoba mikir soal kemampuan sihir hijau gue yang akhir-akhir ini mulai terasa aneh.

Pertama, waktu gue mengetahui kalau gue gak bisa menukar posisi dengan Dea gara-gara kami terikat kontrak. Hal itu bisa gue maklumi dan sebenarnya gak jadi malasah juga. Kedua, gue masih heran kenapa waktu gue hampir mati di tempat tambang bitcoin itu, gue bisa menukar posisi pedang gue sama bantal? Setahu gue, kan sihir hijau cuma bisa menukar posisi gue dengan benda atau makhluk lain? Bukan menukar posisi benda di dekat gue dengan benda lain.

Ketiga, kenapa Kak Kila juga gak bisa gue tukar posisinya dengan gue sendiri!? Gue, kan gak ada hubungan apa-apa sama Kak Kila. Lalu, gue menatap Mery yang memandangi gue dengan heran karena masih belum minum kopi bikinin dia. Tiba-tiba aja gue teringat hari di mana gue membawa Mery yang kena serangan Dea ke tempat Kak Kila.

"Mer. Kaki lo pernah tiba-tiba sakit nggak?"

"Kaki? Emm ... sakit, sih enggak ... cuma karena gue banyak berdiri jadinya, ya paling pegal aja. Kenapa, Do? Lo beneran mau manggil tukang bekam buat gue?"

"Ya kalau lo mau, sih gue bisa telpon dia sekarang. Tapi bukan itu sebenarnya maksud gue. Maksud gue kaki lo yang pernah kena serangan Dea waktu itu."

Mery menengok kakinya sebentar, dan kayaknya emang gak kenapa-kenapa.

"Waktu itu, kan udah dibuang Kak Kila duri merahnya. Emang kenapa, sih, Do? Tumben pertanyaan lo agak berat gini."

Itu dia! Kak Kila bukan membuang duri merah dari kaki Mery, tapi memakannya! Apa gara-gara itu Kak Kila punya sedikit asap merah Dea dalam tubuhnya? Tunggu! Waktu itu Vivin, cucu Si Bos juga mengeluarkan asap merah Dea! Iya juga, ya! Waktu Dea ngamuk di sini, kan ... Kak Kila ngambil asap merah Dea dan dia berikan ke Vivin!

"Do? Ada masalah, ya?"

"Gue kayaknya mesti nyari tahu tentang sesuatu, deh, Mer."

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang