BAB 65: Cerita Penangkapan itu

55 8 0
                                    

Tentu aja semua orang menengadah ke langit. Yang diluar dugaan gue adalah: orang-orang malah bersorak! Mungkin mereka pikir itu semacam pertunjukkan kembang api buat nambah meriah suasana pasar. Ketika asap biru di tubuh gue keluar, gue merasakan perasaan yang aneh. Semacam rasa ... diburu sesuatu!

"Mereka datang!" kata gue pada Dea dan Sulay.

Sulay menyingsing lengan kanan bajunya dengan tinju yang berlapis asap hitam andalannya itu. Tubuh Dea mengeluarkan asap merah yang sampai-sampai membuat poninya bergoyang. Sementara itu, dengan berani gue sembunyi di belakang mereka berdua.

"Lo apa-apaan, sih, Do!? Kita harus melawan mereka biar kita bertiga ditangkap! Kita harus kelihatan benar-benar bikin rusuh pasar!" kata Sulay.

"Oke, oke!" sahut gue.

Terdengarlah suara langkah kaki kuda yang kian mendekat. Orang-orang bertopeng aneh itu muncul dengan tunggangannya yang bikin merinding. Entah kenapa gue jadi takut sama kuda. Kalau aja mereka naik sapi, mungkin gue gak akan segemetar ini. Satu dari enam pria berbaju putih itu turun dari kudanya dan menghampiri kami. Di pinggang kirinya terdapat pedang yang panjang.

"Kalian manusia kenapa bisa ada di sini!? Cepat pergi sebelum kami eksekusi!"

"Hah? Emangnya Bapak bukan manusia!? Jadi ini di mana!? Saya siapa!?"

Pria bertopeng itu diam aja mendengar ucapan ngawur gue. Lalu, dia berpaling kepada teman-temannya di belakang.

"Keluarkan mereka dari sini dan hapus ingatan mereka soal tempat ini. Laksanakan!"

Ketika mereka mendekat dan hendak menaikkan kami ke atas kuda-kuda itu, Sulay memulai serangan duluan. Dia meninju kepala kuda di depannya ke tanah! Seketika, kuda itu terjatuh dan gak bergerak lagi! Sulay emang bukan pecinta hewan!

Tentu aja para Heshita itu segera turun dari kuda mereka dan berusaha menyerang kami. Dari enam orang, cuma satu orang yang bersenjata pedang. Sisanya memakai panah yang udah membidik kami bertiga! Berarti, mungkin aja mereka ini bukan orang-orang yang pernah gue lawan bareng Dea.

Pria berpedang tadi menghunuskan pedangnya dan berjalan mendekati Sulay. Sulay melompat tinggi ke udara dan menghantam topengnya! Gue yang berada di dekatnya merasakan gelombang udara yang berbenturan. Gue pikir topeng pria itu akan gampang pecah kalau dihadapin sama tinju Sulay yang gila itu. Ternyata enggak.

Sampai asap hitam di tangan Sulay menipis, pria itu baru mengayunkan pedangnya ke arah Sulay. Sulay yang gak dalam posisi bertahan terkena tebasannya dengan telak! Sulay terlempar ke samping tenda Mbah Kusno dan menabrak bakul berisi makanan ayam di tanah.

Gue berlari ke arah Sulay buat segera menolong. Secara ajaib, gue merasakan sesuatu melesat ke samping kiri kepala gue! Ternyata itu adalah sebilah busur panah dengan ujung berapi! Gue yakin kalau gue berhenti berlari sekarang gue pasti bisa menghindarinya. Dan ternyata, dengan cepat Dea melesat memberikan punggungnya buat melindungi gue.

Dengan tersenyum Dea memuntahkan asap merah dari mulutnya sebelum terjatuh. Busur-busur panah lainnya melesat menuju dada gue. Karena pergerakannya yang bisa gue lihat, gue bisa menghindari semuanya dan segera menggendong Dea berlari menjauh.

Sulay ternyata udah bangkit dan kembali mengamuk menyerang para Heshita itu. Sementara itu, gue merasa khawatir banget sama Dea sekarang. Waktu gue berlari menuju toko makanan ayam yang tadi, gue merasakan tebasan pedang melesat dari belakang gue!

Gue menunduk secepat mungkin dan gelombang kejut itu menebas satu kios penjual ikan hias sampai berantakan banget. Gue berpaling, dan terlihatlah sosok pira tadi yang ternyata menebas gue dari jarak jauh!

Gue bergegas masuk ke dalam toko. Kakek berkaos putih di sana tampak bingung. Dengan sapu masih di tangan, dia kaget begitu ngelihat Dea yang muntah darah!

"Dea! Dea! Di mana yang sakit!?" tanya gue.

Dea tampak kesulitan bernapas.

"Kenapa!? Dia kenapa!?" tanya kakek itu.

"Kong! Tolong, Kong! Dia kena panah!"

"Panah!? Oh My God!"

Setelah meletakkan sapu di dinding dengan panik, kakek itu berlari ke bawah meja.

"D-do...." kata Dea dengan pelan.

"Jangan ngomong dulu! Tenang aja! kamu pasti baik-baik aja! oke!?"

Kakek itu lalu berlari ke arah kami dengan membawa setangkai bulu ayam berwarna putih.

"Ini! oleskan lukanya dengan ini!"

Tanpa pikir panjang gue segera mencari luka di punggung Dea. Di satu bagian robek pada bajunya, terlihat asap merah yang keluar. Ketika gue mengoleskan bulu ayam itu perlahan, Dea tampak kesakitan! Tangannya meremas lengan gue dengan kuat sembari menahan sakit.

"Tenang! Itu bulu ayam ajaib. Dia bisa nyembuhin luka luar dengan cepat,"

"Terima kasih, Kong."

Bola mata Dea berangsur kembali terang setelah tadi sempat sayu. Napasnya mulai membaik dan dia bisa tersenyum lagi. Gue lega banget, sumpah!

"Makasih, Do. Aku udah baikan, kok. Makasih, ya, Kong ... udah mau nolong saya,"

"Ya ... namanya juga pelanggan. Pasti gue layani,"

"P-pelanggan?" tanya gue heran.

"Eh. Lo pikir bulu ayam ajaib itu gratis!? 100 ribu! Cepetan!"

Sialan juga, ya kakek-kakek ini. Untung aja gue punya duit. Setelah dirasa Dea bisa jalan lagi dan kayaknya dia udah gak ada sakit di manapun, kami berdua keluar toko dengan hati-hati. Dan tepat di depan muka gue, sebilah pedang yang tampak tajam berkilauan menahan langkah gue yang baru selangkah keluar toko.

"Berhenti! Kalian ditangkap!" ucap pria berpedang itu.

10 menit kemudian, dengan kedua tangan terikat oleh sebuah tali yang mirip sapu ijuk, kami berdua digiring masuk ke dalam sebuah rumah yang tinggi. Di dalamnya ternyata banyak sel-sel penjara! Sialan! Dari luar orang pasti ngiranya ini cuma rumah tua biasa.

"Kalian ditahan sampai ada keputusan dari atasan kami. Jangan coba macam-macam!"

Kami berdua didorong masuk ke dalam jeruji besi. Di ruangan sempit itu, tengah duduk Sulay dan Mbah Kusno yang sama-sama babak belur. Mbah Kusno, dengan blangkon masih rapi di kepalanya tampak mengalami memar di pipinya. Sedangkan Sulay dengan rambut acak-acakan tersenyum ketika gue menatapnya.

Sulay lebih mirip gelandangan yang baru aja dihakimi massa gara-gara maling sepatu roda. Satu yang sama dari kami berempat adalah: tangan kami yang terikat. Dea segera mendekati Mbah Kusno dengan tatapan iba. Mungkin Dea gak tega ngelihat orang tua yang luka-luka kayak gitu.

"Mbah! Mbah kenapa ada di sini!? Pasti gara-gara Dea waktu itu, ya!? iya, kan!?"

"Ya enggak, lah ... ini gara-gara Mbah nyuri kuda aja, kok. Bukan salah kamu."

Di sudut lain, gue dan Sulay harus mulai mikirin rencana buat kabur.

"Lo nggak apa-apa, Pak?" tanya gue.

"Dea gimana? Tadi gue lihat dia kena panah,"

"Udah gak apa-apa, kok. Tadi gue juga lihat lo kena tebas!"

"Oh, itu. Dia gak nebas gue, kok. Dia pakai punggung pedangnya buat mukul gue doang."

"Terus? Sekarang gimana?"

"Tenang. Gue punya rencana. Lo bisa lari cepat nggak?"

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang