BAB 111: Perjalanan Memukul Alam

20 4 0
                                    

Udara terasa sangat dingin ketika aura itu muncul dengan dahsyat. Bahkan tanpa sihir biru dan merah muda, gue tahu bahwa telah terjadi sesuatu di atas sana.

“Do.”

Dea tiba-tiba aja merangkul tangan kanan gue. Ada apa, nih!? Kok Dea sampai gemetaran begini!?

“Aku … aku takut, Do.”

Asap hitam pekat yang merayap di ujung simpul dari rambut-rambut di atas tampak terpukul jatuh. Para Mizi di sekeliling Torgol segera menghilang seakan ketakutan. Sialan! Apa asap dari Si Monyet dan Si Kuda lagi berantem!?

Terdengar suara retakan di langit, lalu rambut-rambut itu, mulai dari ujung simpulnya hingga ke tanah, semuanya retak tak bersisa! Bukan putus, tapi retak! Retak, bro!

“Aku takut, Do. Aku tahu rasanya kena serangan itu,”

“T-tenang, D-dea! J-jangan panik!”

Asap hitam yang tadi terpukul jatuh juga mengalami hal yang sama kayak rambut-rambut itu. Asap hitam itu retak dan hilang bahkan sebelum sampai di permukaan genteng tempat kami berpijak sekarang! Ini pertama kalinya gue ngelihat hal kayak gini secara langsung.

Di antara kami semua, cuma Dea yang gak ikutan menengadah buat nyari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan kayaknya, cuma gue yang baru sadar kalau di atas sana tampak ada seseorang yang terjun bebas lalu memukul simpul itu hingga retak. Itu Si Bos!

Si Bos jatuh dengan tangan kanan yang masih mengepal kuat. Seperti dasi merahnya yang bergerak-gerak ke atas akibat gravitasi, asap hitam berapi dari tinjunya itu juga tampak masih berkobar. Dia mendarat di depan kami, lalu Sulay, Torgol dan Kak Kila segera membungkuk. Kalau Kak Kila mungkin lebih tepatnya menjantung, karena saat ini dia gak punya badan.

Tanpa sempat bertemu mata, tiba-tiba ada tinju melayang ke arah Dea di sebelah gue! Gue cuma bisa bergerak refleks mengayunkan pedang buat menangkis pukulan itu! Dia … berusaha menyerang Dea! Kenapa!?

Tinjunya yang berapi serta ada perasaan terpojok bikin gue kehilangan tenaga. Dan tiba-tiba aja, Roksi, pedang gue terselimuti oleh asap hijau! Hal itu dengan gila membuat pedang gue menembus tangannya! Lalu, asap hijau itu melesat berputar mengelilingi Dea sampai wujud cewek berbaju putih berdiri di depannya dengan tatapan tajam. Kikuem tampak sangat waspada.

Ada darah menetes dari pergelangan tangan Si Bos. Bukannya kesakitan atau berusaha melepasnya, dia malahan merubah arah tinjunya ke muka gue! Dagu gue terpukul telak yang bikin gue langsung lemas dan kehilangan kesadaran. Kesadaran terakhir yang gue punya hanyalah: gue kena pukul, gue terpental melayang yang rasanya jauh banget, pedang gue terlepas dari genggaman, lalu … gue menabrak sesuatu yang keras, dan udah. Gue gak tahu apa-apa lagi.

Perlahan gue mendengar suara kicau burung. Dari yang awalnya pelan dan jauh, lalu mulai ramai dan terasa dekat. Gue membuka mata ketika gue merasakan hawa kehadiran yang gede banget di belakang gue. Pertanyaan pertamanya adalah: gue di mana!?

Gue berada di sebuah jalan setapak yang dikelilingi pohon-pohon berbatang cokelat yang tinggi banget. Banyak embun yang masih menempel di setiap rerumputan, artinya ini udah pagi hari, kan? Suara kicau burung itu berada di sekeliling gue, seakan mengawasi gue dari ketinggian.

Aha! Gue ingat! Gue pernah bermimpi ngelihat tempat ini dari ketinggian waktu gue SMA dulu! Gue segera menengadah dan mencari-cari sebuah jendela. Kalau ini adalah tempat yang sama, artinya di sebelah kanan gue sekarang merupakan sebuah ruang kelas.

Benar! Masih sedikit rendah daripada pucuk pepohonan, tampak sebuah jendela terbuka lebar! Bentar, bentar. Itu artinya … gue sedang bermimpi!?

“Mardo.”

Dari jendela yang terbuka itu, barusan ada yang manggil nama gue! Suaranya terdengar berat kayak bapak-bapak di pos ronda lagi ngomongin pemilu. Tampak setitik cahaya dari sana sebelum cahaya itu melompat keluar dan menukik ke arah gue!

Terlihat jelas sosok burung elang yang gak cuma punya sayap lebar, tapi juga punya ukuran tubuh yang sebesar singa! Gue pernah ngelihat singa secara langsung di kebun binatang waktu gue kecil, walaupun waktu itu singanya lagi rebahan aja.

Burung elang itu mendarat di depan gue. Kibasan sayapnya menjatuhkan butir-butir embun di dedaunan. Waktu dia berdiri tegak, gue cuma setinggi perutnya doang. Dengan refleks gue segera memegangi pedang gue. Eh!? Pedang gue mana!?

“Mardo. Ulun tidak bermaksud jahat kepada pian,”

“M-mohon maaf, B-bapak s-siapa?”

“Nama ulun Pkakuk. Salam kenal.”

Apa gue harus menengadah terus-terusan kalau ngobrol sama sosok yang jauh lebih tinggi daripada gue!? Kayak setiap kali gue ngobrol sama Torgol. Aha! Iya juga! Mereka, kan sama-sama punya paruh! Siapa tahu dia kenal sama Torgol.

“Mohon izin bertanya. Bapak kenal sama Torgol nggak?”

“Ya. Dia juga tinggal di hutan ini sebelum pergi merantau.”

Tuh, kan kenal. Persaudaraan unggas emang solid.

“Oh iya … ini di mana, sih?”

“Kita ada di hutan Janamana. Karena pian dalam kondisi lucid, artinya pian ke sini karena terkena efek barnum. Apakah pian mau melihat-lihat sekeliling hutan ini?”

“B-boleh.”

Pkakuk, sosok burung elang yang berdiri tegap kayak penguin ini kemudian membungkukkan badannya. Saat itulah gue bisa ngeliat jelas wajahnya yang berwarna ungu kebiruan. Berbeda sendiri dari seluruh badannya yang berwarna cokelat muda kayak singa.

“Silakan naik, Mardo.”

Gue naik ke punggungnya yang berbulu halus kayak sapi. Dia ini sebenarnya makhluk apaan, sih? Dia mengepakkan sayapnya dan kami udah lepas landas setinggi jendela yang terbuka. Dia terbang datar, seakan membiarkan gue memandangi jendela itu.

“Ulun ingat, waktu itu pian cuma melihat hutan ini dari jendela itu, kan?”

“K-kok Bapak tahu?”

“Ulun tahu segalanya tentang hutan ini, Mardo,”

“Tadi Bapak juga dari jendela ini, kan?”

“Ya. Kelas itu tempat yang nyaman untuk tidur. Pegangan, Mardo. Kita akan berkeliling.”

Dari ketinggian, gue bisa ngelihat keadaan hutan di bawah. Gak ada jalan lain selain jalan setapak yang tadi gue pijak. Dan jalan itu, meliuk-liuk di antara pepohonan tinggi berbatang cokelat yang gue gak tahu itu pohon apaan. Dengan kecepatan terbangnya, gue seakan bisa merangkum segala pemandangan itu. Pemandangan sebuah hutan berwarna cokelat yang tampak sepi kecuali suara kicau burung, dan gak ada aliran sungai sama sekali.

“Terus kalau mau minum atau mandi gimana, Pak?”

“Ada sumur, Mardo. Kita sedang menuju ke sana.”

Lalu, di bawah kami, terlihat sebuah lubang hitam yang diameternya pasti bisa menampung banyak sapi kurban. Gede banget anjir! Kami mendarat di pinggiran lubang itu. Sekarang, gue ngelihat pemandangan yang bikin merinding. Gue berasa lagi ada di pinggir kolam pemancingan ikan-ikan raksasa buset!

“Selamat datang di sumur kami, Mardo,”

“I-ini, sih b-bukan sumur, Pak! I-ini tanah bolong berair!”

“Ya. Dan lubang ini, diciptakan dengan sekali pukulan saja oleh seorang manusia seperti pian.”

Gue langsung kaget dan teringat beberapa kejadian sebelum gue berada di hutan ini. Waktu itu … ya! Gue kena pukulan Si Bos!

“Manusia yang sama, yang membuat pian bisa sampai ke hutan ini.”

Gue menelan ludah sekali lagi sambil memperhatikan sekeliling saat Pkakuk menyebut nama itu.

“Marpo.”

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang