BAB 52: Sebuah Patahan

54 6 0
                                    

Gue duduk di teras rumah Rava sendirian. Walau gak jelas, gue bisa mendengar mereka berdua lagi diskusi di ruang tamu. Anto tampak menulis sesuatu di hpnya sambil memperhatikan surat di tangan Rava. Gue mencoba menyibukkan diri dengan membuka Instagram.

Walapun akun Instagram gue gak ada isinya, seenggaknya lewat sana gue bisa melihat foto-foto ikan dan alat pancing. Lagi scroll-scroll, gak sengaja gue ngelihat foto Naya di depan sebuah kafe. Ternyata, walau udah berhari-hari sampai di Australia dia belum juga ngasih gue kabar. Rava dan Anto berjalan mendekati gue. Gue buru-buru memasukkan kembali hp gue ke saku celana.

"Maaf, tadi udah mukul lo," kata Rava sambil menundukkan wajahnya.

"Gimana rumahnya? keren, kan?" tanya Anto.

"Yoi, keren banget. Keyla juga ternyata jago bela diri. Gue dihajar habis-habisan sama dia,"

"Gimana dia sekarang? Dia bilang apa?" Rava tampak penasaran.

"Rambutnya mungkin udah gak sependek waktu kalian ketemu dulu. Dan dia bilang, sih kalian pasti ketemu lagi kalau udah waktunya."

"Emang apa, sih alasan lo sebenarnya jadi mau masuk ke sana sendirian?"

"Gue meminimalisir perkelahian. Cukup gue aja yang kena hajar."

Di bawah bintang-bintang yang membentang, kami bertiga duduk di teras rumah Rava sambil membicarakan pengalaman gue barusan ketika di rumah Keyla. Bukan cerita yang panjang sampai Torgol tiba-tiba muncul di antara kami. Tentu aja semuanya kaget bukan main.

"Maaf, Mardo. Saya sudah menemukannya,"

"Jauh nggak, Pak?"

"Tidak, Mardo. Dia sedang duduk di atas pohon di seberang sana,"

"Oke. Gue ke tempat Dea dulu, ya. Mendingan kalian masuk, deh."

Karena Torgol bilang tempatnya gak jauh, kami berdua cuma mengandalkan kaki menuju pohon tinggi yang ditunjuk Torgol. Mungkin Dea akan marah sama gue. Mungkin juga dia akan ngamuk. Dan mungkin ... gue gak bisa beralasan apapun nantinya.

Kakinya berjuntaian dari atas pohon yang tinggi. Dia menatap langit tanpa memperdulikan gue dan Torgol yang baru aja sampai di bawah pohonnya. Angin malam yang berembus menerpa rambutnya yang panjang. Matanya yang tersingkap memantulkan cahaya bulan dengan perasaan yang kurang mengenakkan.

"Dea! Ngapain!?" teriak gue dari bawah.

Dia menoleh sebentar, menatap gue dengan muka cemberut.

"Dea! Aku minta maaf!"

Dea tampak gak peduli. Gue lalu menatap Torgol.

"Pak, bisa terbang ke samping dia, nggak?"

"Baik, Mardo."

Torgol berubah jadi burung kecil, yang dalam pandangan gue tengah membawa tangkai mawar. Gue merasa semakin mahir menggunakan sihir hijau ini, walau sebenarnya bukan untuk kebutuhan mendesak. Gue menukar posisi Torgol yang hinggap di dahan tempat Dea duduk.

"Buset! Tinggi juga ternyata!"

Dea masih gak menoleh padahal gue telah duduk di sampingnya.

"Dea. Aku minta maaf."

"Kamu, tuh gak tahu rasanya ditinggalin."

"T-tahu, kok...."

"Kamu gak tahu rasanya dianggap gak penting!"

"B-buk...."

"KAMU GAK TAHU GIMANA KHAWATIRNYA AKU WAKTU KAMU PERGI!"

Gue yang terdiam beberapa saat, membiarkan Dea mengepalkan tangannya lalu gue menghunuskan pedang yang udah patah. Dea akhirnya menoleh, menatap pedang gue yang kini menjadi dua bagian.

"Pedang ini berharga buat aku. Aku suka pedang ini sejak hari itu. Si Bos, Sulay dan Mery mempercayakan pedang ini sama aku. Tapi hari ini ... dia udah patah."

Dea menatap gue.

"Aku sedih. Tapi aku masih bersyukur kalau cuma dia yang terluka hari ini. Aku gak mau kalau itu kamu. Kamu lebih penting dari pedang ini."

"Do ... kamu, tuh nyebelin! Disaat aku harusnya marah-marah sama kamu, kamu malah bikin aku ngerasain hal lain! Kamu ... satu-satunya manusia yang...."

Gue menunggu Dea melengkapi kalimatnya.

"Udahlah. Aku kedinginan. Yuk, kita pulang," kata Dea.

Dea menarik lengan kiri gue dan terjun bebas gitu aja! Dia membawa gue bunuh diri atau gimana, sih ini!? Jatuh dari pohon setinggi 40 meter kayaknya gak cukup kalau cuma ke tukang urut, kan!? Gue bisa mati!

Tercium aroma bunga mawar beberapa detik sebelum gue jatuh ke tanah. Gue mendarat dengan kedua lutut yang gue rasa udah berpindah ke telinga gue. Kayaknya tulang gue udah tukar posisi ke sana-ke mari sesuka mereka. Dan ternyata, gue baik-baik aja!

Dea berdiri di depan gue, tersenyum sambil menjulurkan tangannya. Gue menengok kiri-kanan, menyentuh tubuh gue dan mencari tahu bagian mana yang udah patah. Gak ada. Semuanya normal-normal aja.

"Lihat, kan? Kita ini kuat, Do."

Gue meraih tangannya sambil berdiri.

"I-iya. Dan kamu kayaknya gila, deh."

Dea ketawa, membenarkan poninya dan maju selangkah ke depan gue.

"Maaf, ya tadi aku marah-marah. Gimana? Kita pulang ke rumah sekarang atau nginap di rumah Rava lagi?"

"Kita ke rumah Rava dulu. Kita obrolin di sana."

Kembali ke kamar Rava, yang sekarang di tambah Torgol yang berdiri di pojok ruangan bagaikan tiang lampu. Dea, Rava dan Anto menceritakan apa-apa yang terjadi ketika gue gak ada.

"Satu hal menariknya adalah: drone Anto tetap terbang menuju jendela rumah Keyla. Walaupun terjadi tabrakan, kaca itu gak retak sama sekali," kata Rava.

"Nah, itu artinya: frekuensi yang memancar dari jendela itu gak berhenti walau udah ada yang masuk ke sana," sahut Anto.

"Iya. Karena ngelihat gak ada yang cukup kuat buat mecahin kaca jendelanya, aku sempat menabrakkan diri sekuat tenaga ke sana. Dan gak berhasil juga," sambung Dea.

Gue menceritakan sedikit soal Keyla pada mereka. Dea tampak gak nyaman waktu gue bilang Keyla menendang gue, matahin pedang gue, dan bikin gue hampir pingsan. Tapi, bagian ketika gue bilang kalau Keyla itu cantik dan baik, kopi bikinannya enak banget, dan gue sempat nindih dia waktu duel terakhir, membuat Dea segera berdiri dan menatap gue dengan sinis.

"Dasar cowok!" kata Dea sebelum dia memalingkan muka cemberutnya.

Gue dan Rava berpandangan mau ketawa. Anto yang gak tahu mau memandang siapa, terpaksa menatap Torgol yang berdiri kayak tiang baja. Gue minta izin sama Rava buat memakai dapurnya. Gue mau bikinin kopi pemberian Keyla pada mereka.

Kami berdua turun tangga untuk menuju dapur, ninggalin Anto dan Torgol berduaan di kamar. Dea? Dia pergi keluar rumah. Katanya dia mau nyari angin. Rava mengakui kalau dia bukan pecinta kopi. Makanya, di dapurnya cuma ada air panas sama gelas. Gak ada alat penyaring kopi atau semacamnya.

"Emm ... makasih, ya. Udah ngasih gue surat itu,"

"Santai ... gue juga makasih kalau lo mau ngerti keputusan gue,"

"Kalian nginap dulu, kan? Udah malam soalnya,"

"Emm ... gue bicarain sama mereka berdua dulu, ya,"

"Sorry, kalau boleh tahu ... mereka berdua itu ... hantu, ya?"

Gue tersenyum, mengangkat kopi yang udah siap diminum lalu menatap Rava.

"Emang penting, ya?"

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang