BAB 117: Perjalanan Kapal Senja

15 7 0
                                    

Seperti di kuburan ketika gue pertama kali masuk kerja, waktu gue hampir aja dicincang Pak Tsat, sekali lagi Sulay menyelamatkan gue.

“L-lo ngapain di s-sini, Pak!?”

Sulay mengangkat koper berwarna hitam di samping kakinya.

“Gue lagi kerja. Tiket kalian mana?”

Lalu, duduklah kami berjejer di kursi berwarna kuning yang nyaman dan empuk. Ternyata, tempat duduknya mirip-mirip sama bus yang pernah gue naikin waktu liburan sekolah zaman SD dulu.

Posisinya, Dea duduk di paling kanan biar dia bisa ngelihat laut. Gue ada di tengah, dan Sulay di paling kiri. Kapal belum berlayar padahal hari udah semakin sore.

“Sekarang lo kerja di kapal, ya, Pak?”

“Bukan bego! Sama kayak lo, gue juga disuruh ke desa itu sama Si Bos,”

“Hah!? Kok bisa?”

“Ya bisa lah. Dia, kan bosnya. Nah pertanyaannya gue: motor lo mana?”

“Di rumah, Pak. Di teras. Tadi kami diantar Pak Nang pakai mobilnya. Mobil yang pernah kita sewa itu.”

Dea kemudian menepuk-nepuk bahu gue.

“Kita udah jalan, Do! Waaaah serunya.”

Senyum dan kebahagiaannya saat ini, mengingatkan gue kepada tiga hari yang lalu. Iya, waktu di kantin itu. Tepat ketika asap hitam menghilang, semua orang bisa ngelihat gue yang berdiri di depan pintu. Cewek-cewek kantor melambaikan tangan mereka, seakan memanggil gue.

“Pak Mardo, katanya Pak Mardo sedang ada kontrak sama Dea, ya?”

“H-hah? I-iya … k-kenapa?”

“Wah beruntung banget … padahal kami juga pengin.”

Gue menatap Dea dengan bingung. Dea hanya tersenyum seperti biasanya.

“Oh, maaf, Pak. Gini, gini … Pak Mardo duduk dulu.”

Gue kemudian duduk dikelilingi cewek-cewek berpakaian hitam. Kayak mau dihakimi ibu-ibu arisan karena udah ngatain jelek sinetron favorit mereka.

“Dea itu udah jadi urban legend di kantor ini. Bahkan dulu, sempat ada masa di mana semua karyawan dilarang ngomongin soal Dea. Tapi, kami dengar gosip kalau salah satu karyawan lapangan membuktikan bahwa cerita-cerita soal Dea itu banyak yang gak benar,”

“Kami akhirnya percaya itu setelah insiden kemarin. Dea ngelindungin semua orang dari serangan cewek bertopeng itu. Keren banget, deh!”

Gue cuma menganga dengan mata melirik kiri-kanan kayak bunglon, sampai Dea memegang tangan gue.

“Ahhhh …. Sweet banget kalian….”

“Kita udah harus pergi, kan? Mendingan kamu pamit sama Mery dulu, deh,” kata Dea.

Di samping barnya, gue memperhatikan Mery yang sibuk bikin kopi. Dia udah tahu gue berdiri di situ sejak tadi. Dan ketika pelanggan udah sepi, barulah gue mendekat.

“Sulay pingsan, Mer,”

“Hah!? Pingsan kenapa, Do!?”

“Dia mukul meteor! Keren banget,”

“Ada-ada aja, tuh orang. Eh, mau kopi apa?”

“Itu, dong. Yang cangkirnya kecil banget itu, lho,”

“Espresso? Serius mau minum espresso? Itu pahit banget, tahu, Do,”

“Kalau belum dicoba mana tahu,”

“Oke, bentar, ya.”

Sebuah cangkir seukuran buah belimbing yang terisi penuh oleh cairan hitam kental telah berpindah ke tangan gue. Gak ada aromanya sama sekali, yang mungkin aja benar kalau gue sedang pilek.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang