BAB 43: Sebuah Cerita

59 9 0
                                    

Gak tahu kenapa, Torgol merendahkan lengannya. Cowok pemilik drone itu tentu aja segera mengambil kembali dronenya dari tangan Torgol. Dia berjalan cepat kembali ke samping temannya sambil memperhatikan drone di tangannya.

"Untung aja gak rusak," katanya.

Di saat sinar matahari terasa membakar kulit, embusan angin yang membawa dedaunan kering berjatuhan di antara kami yang berdiri hadap-hadapan. Torgol berbalik badan dan memperhatikan rumah di belakang kami sekarang.

"Frekuensi ini sangat aneh," ucapnya.

Dea juga ikut menoleh ke arah rumah itu.

"Gak ada yang bisa masuk kecuali 'dia' emang mau kita masuk."

Gue kembali merapikan pedang dan mengaitkannya ke punggung. Gue melangkah dan menjulurkan tangan pada dua cowok itu.

"Mardo," kata gue.

Cowok yang tadi berusaha menculik Dea, dengan ragu menjabat tangan gue.

"Rava."

Di sebelahnya, cowok pemilik drone tiba-tiba melewati gue dan menjulurkan tangan pada Dea.

"Kakak cantik, kenalan, yuk."

Dea tampak bingung, lalu menatap gue.

"Dea," sahut Dea dengan tampang heran.

Dengan drone di tangan kirinya, dia menarik napas panjang lalu memperkenalkan diri.

"Rahmanto Sulistyo Priyono El Sodaqoh Hataratanako."

Dea menarik tangannya.

"Jadi ... gak ada yang nawarin kami tempat bernaung, nih?" tanya Dea.

Mereka berdua kemudian mengajak kami menuju rumahnya di seberang. Torgol berjalan paling belakang, di depannya ada gue dan Dea kemudian Rava dan Rahmanto Sulistyo Priyono apalah itu namanya panjang banget bikin susah aja.

"Do. Kayaknya mereka tahu sesuatu soal rumah itu," bisik Dea.

"Iya. Kayaknya mereka tukang bersih-bersih rumah itu."

Rava mengajak kami ke rumahnya. Walaupun gue merasa kalau dia masih waspada terhadap kami bertiga, tapi seenggaknya kami gak kepanasan di luar sana. Gue kasihan aja sama Dea. Kalau gue, sih udah biasa panas-panasan kalau lagi mancing.

"To, temenin mereka dulu, ya. Gue mau ke dapur."

Di ruang tamu yang terasa nyaman ini, hanya Torgol yang tampak gelisah.

"Ada apa, Pak?"

"Mardo, izinkan saya berkeliling di sekitar. Saya tidak dilahirkan untuk duduk di kursi seperti ini,"

"Oh gitu. Yaudah, tapi hati-hati, ya. Jangan jauh-jauh."

Dea menatap gue.

"Kamu terlalu baik sama dia, Do,"

"Emang kenapa? Kamu juga terlalu baik sama aku."

Dea memangku kedua tangan di depan dada dan memalingkan mukanya.

"Kalau itu beda! Aku, kan punya alasan jelas!"

Rahmanto Sulistyo Priyono El aduh susahnya namanya itu menatap gue dengan bingung.

"Kenapa?" tanya gue.

"Enggak ... enggak ... gak apa-apa, kok."

Dia kembali mengutak-atik dronenya.

"Rusak, ya?" tanya gue.

"Enggak, kok. Kayaknya baling-balingnya kemasukan debu aja."

Ketika dia berhasil melepas baling-balingnya, yang keluar berhamburan justru berupa asap hitam.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang