BAB 126: Mengantar Kopi Panjang

16 5 0
                                    

Gue adalah orang yang gak punya masalah sama terik matahari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Gue adalah orang yang gak punya masalah sama terik matahari. Tentu aja karena dulunya gue adalah seorang pemancing profesional. Tapi hari ini, gue berjalan di bawah payung hitam, mengikuti langkah Dea dan Husna yang berpayung kuning.

Kalau dilihat lagi, Dea itu mempunyai daya tarik untuk setiap orang yang bahkan baru dia kenal. Dia gampang akrab sama siapa aja. Husna yang gue pikir adalah gadis pendiam, ternyata enggak juga. Dia terlihat aktif ngobrol sama Dea sambil berjalan.

Mulai terdengar desiran air sungai yang mengalihkan perhatian gue dari perbincangan mereka. Seperti yang gue bilang sebelumnya, rumah-rumah warga hanya ada di satu sisi jalan. Di sisi lain adalah aliran sungai. Dan sekarang langkah gue terhenti di depan induk sungai yang cukup luas.

"Kenapa, Kak? Mau mancing?"

Sungai itu tampak misterius. Arusnya mengingatkan gue pada sungai kecil di belakang rumah Mbah Bondo. Dan gue yang terdiam seperti sekarang ini, juga malah mirip sama Radi yang bisa jadi badut serem itu. Benar kata orang, kalau sungai itu menghanyutkan.

"Do?"

"Oh, iya, iya. Let's go!"

Dan ... di sinilah kami sekarang! Di depan sebuah warung kopi yang tampak hanya ada dua bapak-bapak sedang ngobrol di pagi hari. Salah satunya adalah Mbah Ladi yang seketika menengok akan kedatangan kami.

"Warkop H. Darwi. Gokil! Let's go!"

Warung kopi ini hanya sebesar bar kopi Mery di kantin. Kalau disandingkan pasti kelihatan kontras banget antara peralatan modern dan tradisional. Tapi, satu hal yang menjadi nilai tinggi dari tempat ini tentu adalah pemandangannya. Gue bisa ngelihat sungai yang tadi dari belakang meja kayu persegi dan sepasang kursi panjang.

"Aduh ... Dek Husna bawa rombongan apa ini? Mari, mari~"

"Ada kopi apa aja ini, Pak Haji?" tanya gue.

"Ada gayo, kintamani sama toraja, Dek,"

"Selain kopi ada nggak, Pak?" tanya Dea.

"Jus mangga ada, teh es ada. Mie goreng juga ada, Dek."

Emang ada orang yang minum mie goreng? Yaudahlah. Dengan semangat dan jiwa petualang, gue dengan yakin memilih kopi toraja.

"Dek Husna apa?"

"Jus mangga,"

"Saya mau kopi gayo," ucap Dea.

"Oke ... toraja satu, jus mangga satu, gayo satu, satu-satu aku sayang i ....?"

"I ... ikan," sahut gue sedapatnya aja.

"Betul ... mohon ditunggu ya, Dek."

Pak H. Darwi yang sedang menggiling kopi di depan kami ini adalah seorang bapak-bapak bertubuh kurus dengan baju kaos berkerah yang sedikit longgar. Peci putih di kepalanya tampak kontras dengan kumis tipisnya. Dan tampak lebih kontras lagi dengan Mbah Ladi yang berpakaian serba hitam dengan rambut gondrong penuh uban.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang