BAB 41: Sebuah Perjalanan

57 11 0
                                    

Sesampainya di rumah ketika malam sedang larut-larutnya, di depan rumah dengan pintu sedikit terbuka duduklah Dea dengan tangan bersedekap. Dia langsung berdiri ketika gue mendekat.

"Kenapa malam banget, Do?"

"Ya, kan emang selalu begini. Kamu, tuh yang kenapa malam-malam gini di luar?"

"Aku nungguin kamu, tahu! Kalau kamu gak datang 5 menit lagi, tadi aku udah siap-siap nyusul ke sana,"

"Tenang ... semuanya baik-baik aja, kok."

Gue bilang sama Dea kalau gue ngantuk dan butuh istirahat. Nyatanya, gue sama sekali gak bisa tidur. Tubuh gue emang terasa capek, tapi entah kenapa otak gue masih gak mau berhenti berpikir.

Tentang misi kali ini, tentang ucapan Dea, tentang kepergian Naya, dan tentang video-video gue yang mulai beredar. Banyak suara-suara di kepala gue yang membuat gue gak bisa memejamkan mata.

Mendekati subuh, barulah pikiran gue terasa lelah sendiri. Akhirnya gue bisa tidur. Gue bermimpi, kalau gue dan Naya sedang duduk bersebelahan di bangku pesawat. Gue juga bisa mendengar suara mesinnya. Hanya aja terdengar lebih halus dari suara pesawat pada umumnya.

Kemudian, dengan cepat gue mendengar suara pecahan kaca hingga membuat gue terbangun. Gue lihat matahari fajar berwarna merah jingga. Sekali lagi, terdengar suara pecahan kaca! Berarti bukan mimpi!?

Ketika gue membuka pintu kamar, gue lihat Dea lagi berjongkok memunguti sesuatu yang berantakan di lantai.

"Kenapa, Dea?"

Dia berpaling menatap gue.

"Do ... maaf banget, ya ...aku mecahin dua piring kamu."

Benar aja, dua buah piring kaca hadiah pembelian sabun cuci piring udah pecah berantakan.

"Hati-hati, nanti luka. Sini aku aja yang beresin."

Ketika gue udah menyapu bersih semuanya keluar rumah, Dea mendekati gue dengan memegangi kedua tangannya sambil menunduk.

"Maaf, ya, Do ... aku gak sengaja,"

"Gak apa-apa, emang usianya udah habis hari ini."

Dea mengangkat wajahnya.

"Kamu ... gak marah, kan?"

"Ya enggak, lah. Emang kenapa bisa pecah, sih?"

"Waktu aku ambil, ternyata ada cicak. Terus kelepasan, deh,"

"Cicak!? Kamu takut sama cicak!?"

Dea mengangguk.

"Aku juga!"

Dea kemudian ketawa.

"Kamu lucu."

Setelah gue selesai mandi, selesai nyiapin segala hal buat siap-siap berangkat, gue pengin sekali lagi membaca berkas itu tapi gak ada di mana-mana. Di dalam kamar, yang gue temukan hanya pedang gue aja.

"Nih. Kapan kita berangkat?"

Dea tiba-tiba muncul di belakang gue.

"K-kenapa ada sama kamu?"

"Tadi aku baca sebentar. Jadi kita pergi sekarang?"

Gue mengambil berkas dari tangannya.

"Gini ... Dea ... emm ... kayaknya kamu mendingan...."

Dea cuma tersenyum lalu mengangkat pedang gue.

"Kamu butuh tali pengait biar gak capek megangin pedang ini terus, Do,"

"Tali pengait? Biar bisa ditaruh di punggung, ya?"

Asap merah Dea menyelimuti pedang gue, dan secara ajaib tali berwarna merah telah terpasang di sarungnya. Keren banget.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang