BAB 55: Sebuah Perkumpulan

55 6 0
                                    

Dari arah pintu kantin, tampak Sulay yang berjalan masuk. Matanya melirik, mencari keberadaan gue tentunya. Dia langsung duduk, memejamkan mata dan mengembuskan napas panjang. Gue sama Mery bahkan gak diberi kesempatan buat nanya.

"Lo, sih enak, Do. Si Bos muji-muji lo dari tadi."

Gue sama Mery berpandangan dengan perasaan bingung.

"Gue mau kopi, dong. Bikin yang paling pahit," kata Sulay.

"Espresso?" tanya Mery.

"Apa aja. Semen basah campur daki-pun gue minum kalau gue mau."

Mery melirik gue, mukanya bingung lalu pergi menuju barnya.

Sulay kembali memejamkan matanya. Kayaknya dia punya masalah tapi terlalu gengsi buat curhat. Orang yang suka Naruto emang beda. Gue yang gak begitu ngerti caranya ngobrol sama orang bermasalah jadinya cuma bisa diam aja.

"Mana pedang lo? Kata Si Bos pedang lo rusak,"

"I-iya, Pak. Patah dua, Pak."

Gue menunjukkan pedang itu. Sulay memegang dan memperhatikan kerusakannya.

"Lo pake nebas apaan, sih sampai patah gini?"

"Itu ... p-pohon. Pohon mangga,"

"Pohon mangga? Bego lo. Emangnya lo gak punya gergaji?"

Gue diam aja.

"Terus sekarang lo mau apa? Lo punya pedang lain nggak?"

"Emangnya ini gak bisa dibenerin, ya, Pak?"

"Kayaknya, sih bisa. Tapi palingan cuma bisa lo pake ngupas bawang."

Mery datang, menaruh cangkir kopi kecil di depan Sulay.

"Lo kenapa, sih? Pantesan lo jomblo terus. Muka lo kayak preman tahu ngggak," kata Mery.

"Lo juga jomblo seumur hidup. Ini kenapa lagi, nih kopi gue dikit banget,"

"Katanya lo mau espresso? Ya itu dia."

Gue ketawa. Entah kenapa suasana dan pemandangan kayak gini bikin gue merasa nyaman ada di sini. Ngelihat Mery dan Sulay saling hina benar-benar menjadi pemandangan yang bikin kangen. Gue gak tahu rasanya punya sahabat. Mungkin ... perasaannya kayak gini.

"Eh jangan ketawa lo, Do. Gue masih kesal, nih," kata Sulay.

"I-iya, iya. Sorry, Pak. Emang ada apa, sih?"

"Gak kayak lo yang pulang dengan misi sukses, gue sebaliknya. Gak dimarahin Si Bos aja udah syukur,"

"Emangnya lo dapat misi apaan, Pak? Kenapa lo gak ngajak gue?"

Sulay meminum kopinya, lalu mukanya tampak kepahitan.

"Do! kok bisa-bisanya, sih lo suka sama minuman kayak beginian!? Mana yang bikin nyebelin lagi,"

"Eh sembarangan lo! Lidah lo, tuh yang gak ngerti," sahut Mery.

"Lo minumnya sambil ngebayangin Torgol kali, Pak ... makanya pahit."

Mery ketawa. Sulay yang mukanya serius juga tiba-tiba senyum.

"Iya, sih. Itu jin tua emang gak ada manis-manisnya. Jadi, waktu itu gue disuruh gabung sama tim lapangan yang lain buat nyari spirit di gunung,"

"Tunggu ... tunggu ... jadi kita berdua ini bukan satu-satunya tim lapangan, ya?"

"Ya bukanlah. Emang lo sanggup ngusir-ngusirin hantu setiap jam di macam-macam lokasi? Nah kebetulan, tim lapangan di gunung itu kesulitan buat nyari spirit di sana. Makanya Si Bos menyuruh gue buat nyusul mereka,"

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang