BAB 93: Tentang Tombak Menyebalkan

54 7 0
                                    

Mengingat sensitifitas kantor terhadap Dea yang sejak dulu dijuluki Ratu Merah, gue rasa bukan keputusan bijak kalau Dea ikut gue ke kantor pagi ini. Mendingan Dea datang waktu sore atau malam hari aja ketika wahananya udah buka. Selain nanti dia bisa datang ngikut orang banyak sebagai pengunjung, dia juga gak perlu ikut sibuk pagi ini. Iya, kan?

"Terus nanti aku ke sana sama siapa kalau kamu pergi sekarang?"

"Lha? Bukannya kamu bisa terbang?"

"Bisa, sih ... tapi, kan gak seru, Do,"

"Dea ... hampir semua manusia justru pengin banget ngerasain serunya bisa terbang, tahu,"

"Iya, iya, deh. Eh, Do ... kenapa kamu gak pernah pakai pengait pedang lagi? Hilang, ya?"

"A-ada, kok ... aku simpan di kamar. Soalnya karena pedang baru ini lebih ramping dan panjang dari yang sebelumnya, makanya aku agak susah kalau harus dibawa di belakang,"

"Oh, gitu. Tapi tangan kamu, kan nanti pegal megangin pedang itu terus,"

"Enggak, kok. Gini, ya ... aku ini udah terlatih megangin joran pancing. Hal kayak gini biasa aja."

Di setengah perjalanan, gue emang ngerasa kalau tanpa pengait, membawa pedang sambil bawa motor itu susah! Tapi mau gimana lagi? Kalau gue tetap pakai pengait dari Dea, terus Mery gimana? Dia, kan juga ngasih gue pengait pedang buat di pinggang. Daripada gue harus memilih salah satu, mendingan gue golput aja kayak pemilu caleg biasanya.

Di depan kantor rame banget! Di sebelahnya apalagi! Udah jadi semacam pasar malam, sih ini nanti. Torgol bersama Mizi mondar-mandir ke segala penjuru buat ngusir-ngusirin hantu yang penasaran sama wahana kami. Wajar mereka tertarik. Gue aja tertarik banget pengin masuk rumah hantu.

Karena takjub dengan kesibukan orang lain, gue sampai gak sadar sama Sulay yang lari-lari ke arah gue. Dia membawa berkas di tangannya. Tugas apa lagi, nih sekarang?

"Lama banget lo! Waktu kita gak banyak, tahu!"

"Waktu apaan, Pak?"

"Tadi malam orang-orang IT lapor kalau salah satu tombak prototype Mizi hilang. Kita ditugasin buat nyari secepat mungkin,"

"Kalau itu cuma protototottoype berarti belum sempurna, dong? Ngapain dicari?"

"Justru karena belum sempurna itu bahaya, Do! Lo bayangin aja tombak itu dipake orang sembarangan terus kantor kita yang kena masalah!"

Sulay membuka berkasnya.

"Gue langsung interogasi satu orang tim IT, dan akhirnya dia ngaku kalau tombak itu dicuri Burhan tadi malam,"

"Wah! Sialan, tuh orang! Ayo, Pak! Kita cari di mana?"

"Lo pernah mancing belut nggak?"

"Pernah, Pak. Bahkan gue pernah hampir dapat ular karena salah nyari lubang,"

"Hah!? Kenapa lo bisa salah?"

"Karena gue pikir lubang yang tersembunyi berarti dihuni belut langka. Emang kenapa, sih?"

"Menurut lo Burhan ini belut atau ular?"

"Hah!? Lo bego, ya, Pak? Burhan, kan manusia berkumis."

Sulay memukul berkas ke pundak gue.

"Gue udah tahu dia di mana. Ayo, Do."

Gue ngikut aja waktu Sulay berjalan masuk kantor dan menuju kantin. Pagi-pagi gini kayaknya Sulay pengin sarapan nasi bakar lagi. Di kedua bahu gue keluar asap biru tipis waktu gue dan Sulay masuk ke kantin. Lalu, dengan cepat dari sebelah kanan terdengar suara teriakan cewek!

Seorang cewek yang lagi makan bakso tiba-tiba teriak waktu kancing bajunya lepas secara misterius. Gak berselang lama, belum lagi orang-orang selesai heran sama cewek itu, secara aneh pakaian cewek-cewek di seluruh kantin tersingkap bahkan sampai ada yang kebuka! Ini ada apaan, sih!?

"Tangkap dia, Do! Gue jaga di pintu ini!"

"T-tangkap apa siapa, Pak!?"

"Burhan! Tangkap Burhan sebelum dia tambah macam-macam lagi!"

Ini ulahnya Burhan kampret itu!? Sialan! Kalau aja cewek-cewek itu gak teriak-teriak dengan pakaian yang hampir melorot, udah pasti akan gampang bagi gue menangkap Burhan! Kalau situasinya kayak gini, kan gue jadi harus banyak nunduk biar gak ngelihat mereka!

"Mery, Do! Jagain Mery!" teriak Sulay di belakang.

Di tengah keributan, akhirnya gue mendengar teriakan yang gak pengin gue dengar. Mery ikut jadi korban karena gue kelamaan jalan! Dari belakang, Sulay yang baru aja berhasil nutup paksa pintu kantin yang terbuat dari kaca tebal itu berlari melesat melewati gue. Dengan asap hitam di tangan kanannya dia menghantam sesuatu tepat di depan Mery berdiri.

Sulay terlempar kembali ke arah gue walau kayaknya dia berhasil mukul Burhan yang gak kelihatan. Sulay menyepak kaki gue dengan keras sebelum berlari lagi. Gue baru berhenti berjalan nunduk waktu mendengar Mery yang menyebut nama gue.

"Do...."

Di depan gue, Mery berdiri dengan muka memerah, sedikit menangis sambil memegangi celemek beserta bajunya yang rusak! Kalau dia gak memeganginya, baju itu pasti jatuh! Ternyata, cewek-cewek yang lain juga bernasib sama!

"I-ini ada apa, Do!?" tanya Mery.

Di pojok, gue ngelihat Sulay yang lagi baku hantam dengan sesuatu yang transparan sebelum Sulay terpental dan jatuh!

"Tangkap dia, Do!" teriak Sulay sambil mencoba berdiri.

Tiba-tiba, di antara gue dan Mery, sosok transparan itu akhirnya menjelma menjadi Burhan yang udah mengaitkan ujung tombaknya ke ikat rambut sebelah kiri Mery! Dia menatap gue dengan tatapan yang bikin gue emosi! Dengan satu gerakan pelan, ujung tombak itu mengiris ikat rambut Mery sampai putus diikuti beberapa helai rambutnya yang berjatuhan.

Karena kedua tangannya sedang berusaha memegangi baju biar gak jatuh, Mery tampak gak berdaya waktu sebelah rambutnya terurai. Mery menatap gue dengan air mata. Gue ... gue ngeblank.

"Tinggal satu ikat rambut lagi, maka akhirnya gue bisa ngelihat Mery dengan rambut terurai. Hmm ... gimana kalau celananya aja yang jatuh duluan, ya? Hahahaha."

Lima detik gue ngeblank yang artinya gue gak bisa mikir apa-apa, sebelum gue akhirnya hanya punya satu pikiran: menebas Burhan.

"Lho? Anjing kantor kita yang penurut ini mau ikut ngelihat juga, ya?"

Burhan kembali hilang dan tahu-tahu ikat rambut Mery yang satunya udah putus juga. Mery nutup mata, dia udah pasrah aja. Asap biru di pundak gue bergerak memutar ke kiri, seakan nunjukin posisi Burhan. Kalung gue menyala seiring tebasan cepat gue ke arah Burhan.

Karena menangkis tebasan gue, entah kenapa Burhan kembali bisa gue lihat. Apa jangan-jangan itu kekuatan tombaknya? Dari belakang, Sulay melompat menghantam Burhan yang sayangnya masih bisa dia tahan dengan tombak. Asap merah menyelimuti Roksi yang siap menyayat Burhan dalam tebasan beruntun.

Dulu, gue sempat gagal melakukan tebasan beruntun karena faktor pedang dan pengalaman. Kali ini beda cerita. Kali ini ... gue bersama rasa marah di pedang gue. Cincin perak dan kalung gue menyala terang seakan ngasih gue kecepatan cahaya. Gue menebas Burhan 10 kali dalam waktu 10 detik. Tombak besi itu jatuh dalam bentuk potongan-potongan kecil. Termasuk kedua tangannya.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang