BAB 97: Tentang Misi di Rumah Hantu

50 5 0
                                    

Di papan tulis, muncul sebuah tulisan menyala dengan cahaya merah misterius. Kami berlima langsung terfokuskan dan mulai membacanya.

"Pergilah ke laboratorium dan temukan cairan berwarna merah!"

Lampu berkedip beberapa kali hanya untuk nunjukin jalan kami selanjutnya. Rava menarik tangan Anto yang ketakutan, Dea menarik tangan gue yang mulai gemetaran, Kali udah di depan buat nyariin jalan. Buset!

"Gak usah takut, Do. Kalau hantunya muncul, kan tinggal ditebas aja,"

"Eh! Mana boleh, Dea! Hantunya, kan cuma pura-pura!"

"Gue takut, nih! Pak guru tadi tiba-tiba hilang! Kalau gue tiba-tiba hilang juga gimana!?" kata Anto.

"Buruan, guys! Gue pusing kalau lama-lama di kelas!" sahut Kali.

Sekarang kami memasuki lorong panjang dan sempit yang pastinya gak bisa jalan bersebelahan. Jadi, di posisi paling depan adalah Kali diikuti gue, Dea, Anto dan Rava di paling belakang. Kami sampai di ruangan baru yang masih remang-remang. Banyak asap putih keluar dari pojok lantai.

"Jadi kita sekarang di lab-nya, ya?" tanya Rava.

Dengan kipas satenya, Kali mengipasi asap-asap itu sampai kami semua melihat banyak botol berisi cairan warna-warni.

"Tadi kita disuruh nyari cairan warna merah, kan?" tanya gue.

"Ayo kita cari," sahut Dea.

Kami berjalan perlahan karena takut nabrak meja-meja di sana. Kali yang punya kipas buat membuka jalan dari asap yang mengepul masih berada di posisi terdepan. Di antara kami, yang paling teliti nyari barang hanyalah Rava seorang. Sedangkan Anto, jangankan nyari barang, nyari jalan dia sendiri aja dia gak mau.

"Lo kenapa megangin baju gue terus, sih!? Bisa molor ini lama-lama!" kata Kali yang risih dengan Anto.

"Maaf, Bang ... gue takut soalnya!"

Gue sama Rava mencari botol-botol lain yang pasti disembunyiin. Karena dari sekian banyak warna, cuma warna merah doang yang gak ada. Ya ... kecuali baju Dea, sih. Karena ketelitiannya, Rava akhirnya nemu sebuah petunjuk.

"Gue nemu petunjuk, nih!"

Kami semua ikut memperhatikan secarik kertas di tangannya, membaca bersama-sama petunjuk yang ada, lalu saling berpandangan tanpa suara.

"Maksudnya apaan!?" tanya Anto.

"Coba baca sekali lagi, deh," sahut gue yang kemudian membaca ulang dengan perlahan.

"Tersembunyi di tempat yang dekat dan tidak pernah tumpah kecuali terbuka."

Keadaan mulai terasa hening karena masing-masing dari kami mencoba memahami kata-kata itu. Dea memainkan ujung rambutnya, Rava komat-kamit sendiri sambil menatap ke atas, Kali menoleh kiri-kanan, gue dan Anto cuma memandangi Dea yang kelihatan imut dengan maskernya.

"Gini, gini ... gue punya guru yang selalu bilang kalau kita bingung sama suatu kalimat, maka kita harus jawab kata-demi-kata," kata gue.

"Oke. Kalimat pertamanya adalah: 'tersembunyi di tempat yang dekat', artinya kita gak boleh jauh-jauh dari tempat sembunyi. Gitu, kan?" kata gue.

"Tempat sembunyi? T-tunggu! Kalau ada tempat sembunyi ... artinya bakalan ada yang nyari kita, dong!?" sahut Anto.

"Mungkin maksud kalimat itu adalah: yang kita cari sebenarnya sudah kita dapat. Iya nggak, sih?" kata Rava.

Gue lanjut membaca kalimat kedua.

"Tidak pernah tumpah ... kecuali terbuka?"

Kali tiba-tiba aja memukulkan kipas satenya ke tangan.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang