BAB 22: Berkas dan Nasi Gorengnya

70 10 1
                                    

Di depan sebuah meja berwarna cokelat yang diduduki seorang cewek berbaju hitam dan dua orang cewek pucat berbaju putih di samping kiri dan kanannya, gue dan Sulay menceritakan semua hal yang terjadi terkait kejadian jin ikan gabus di pemancingan.

Satu hal yang baru gue ketahui dengan jelas adalah: Sulay meminta informasi soal gue kepada tim ini diam-diam sebelum kejadian itu terjadi. Itulah alasan kenapa Naya bisa terlibat di sana. Anehnya, tim informasi bisa memprediksi kalau Naya akan ke tempat itu hari ini.

"Jadi, jin itu sebenarnya memang penunggu sungai, ya, Pak?" tanya cewek itu.

"Iya. Beberapa laporan dari pemancing kalau dia emang sering meresahkan," sahut Sulay.

"Dan apakah Bapak yakin dia sudah hilang dari sana?"

"Saya yakin. Karena eksekusinya langsung ditangani oleh spirit."

Cewek itu kemudian menatap pipi kiri gue yang terluka.

"Apa luka Bapak sudah ditangani serius?"

"I-iya ... gak apa-apa, kok."

Kami udah bangun dari kursi dan siap-siap pergi ketika salah satu cewek pucat di sana menyerahkan sebuah berkas bersampul merah.

"Apa, nih?" tanya Sulay.

"Data dan informasi terkait 'dia' yang ada baiknya Bapak pelajari dari sekarang."

Sulay menyerahkan berkas itu ke gue. Sampul merahnya membuat asumsi yang gak jauh dari Dea. Hari udah semakin malam, dan perut gue semakin lapar.

"Udah jam segini, Pak. Gue udah boleh pulang belum, ya?" tanya gue

"Pulang apaan. Bukan cuma lo yang sibuk seharian ini, gue juga! Kita harus pelajari berkas ini dulu, baru boleh pulang,"

"Tapi gue lapar, Pak. Gue gak bisa mikir kalau lapar."

Sulay menyepak kaki gue.

"Mie goreng atau nasi goreng?" tanya Sulay dengan cepat.

"Campur!" sahut gue lebih cepat.

"Nah! Itu lo masih bisa mikir. Udah, gak ada alasan lagi. Kita beresin berkas ini malam ini juga."

Duduklah gue bersama orang penggemar Naruto ini hingga jam 11 malam di rooftop kantor. Udah udaranya dingin, capek, lapar, gak ada kopi, gak ada ... Mery lagi. Gak enak banget duduk berdua bareng Sulay ini.

"Lo kenapa, sih? Lo gak pernah lembur di kantor, ya?"

"Gue lapar, Pak. Gue mau pulang ke rumah,"

"Emang lo punya makanan apa di rumah lo?"

"Y-ya ... enggak tahu juga, sih. Tapi, k-kan di rumah gue bisa mikir mau makan atau tidur."

Sulay cuma menatap gue lalu kembali membolak-balik berkas bersampul merah itu. Sebuah pesan WhatsApp dari Mery masuk ke hp gue saat Sulay sibuk dan gue yang mulai ngantuk.

"Udah makan belum, Do?"

"Belum. Gue disandera Pak Sulay di rooftop."

Sulay menatap gue yang main hp lalu menghentakkan tangannya ke meja.

"Jadi ... Setelah gue baca secara cepat, kesimpulan yang gue ambil ada beberapa hal. Pertama: percaya atau enggak, Dea udah ada dan udah jadi salah satu masalah kantor kita dari generasi Pak Tsat. Kedua: untuk pertama kalinya dia membuat kontrak dengan pegawai kantor kita. Jadi, hal ini membuat pihak kantor bertanya-tanya. Ketiga: Dea bukanlah nama aslinya."

Gue memperhatikan sampul merah itu ketika Sulay menjelaskan. Kalau diingat lagi, Dea emang identik banget sama warna merah.

"Jadi ... sekarang kita harus apa dulu, Pak? Kita, kan juga udah janji buat bantuin Dea ketemu sama pelukisnya,"

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang