BAB 81: Tentang Vivin dan Nita

57 9 0
                                    

Takut kejadian membelah spion akan terulang, maka kali ini gue mencoba menebas tanaman-tanaman itu dengan pedang yang tidak terhunus. Gue emang bisa membuat gelombang kejut dengan sekali ayunan. Dan untungnya, pagar berhasil kebuka dengan cara itu.

"Aman, kan!? Gak ada yang minta ganti rugi, kan!?"

"Aman. Ayo, Do! Kita cek ke dalam."

Keberadaan Vivin terasa semakin dekat. Ketika gue mendobrak pintu, tampaklah Vivin yang sedang terpejam di mulut seekor kucing besar! Ukurannya hampir sama kayak monyet-monyet yang ngejar gue di penjara Heshita waktu itu! Dan kali ini gue mengakui Alip Topak ... kalau videonya gak sekadar hiburan.

Nita terdiam, lututnya gemetaran dan matanya gak berkedip. Mungkin ini pertama kalinya dia ngelihat makhluk gaib. Seandainya aja makhluk pertama yang dia lihat adalah Dea, mungkin dia gak akan sekaget sekarang ini. Kucing hitam besar itu menengok ke arah gue ketika gue mencabut pedang dari sarungnya.

Ketujuh bola matanya berkedip serempak saat menatap gue yang berusaha mencari cara buat nyelamatin Vivin. Gue yakin bisa menukar posisi Vivin dengan diri gue sendiri menggunakan sihir hijau. Tapi, gue gak yakin gue bisa buru-buru lepas dari gigitannya. Karena waktu SD, gue pernah menyaksikan langsung ayam peliharaan gue yang diterkam kucing! Dan itu gak berakhir menyenangkan.

"Nit. Nit! Tenang, Nit!"

Nita malah mau nangis anjir!

"Nit! Tenang! Itu cuma kucing!"

Kucing itu menggeram. Geraman kucing seukuran dua kali gerobak bakso itu bikin seluruh isi rumah kosong ini terguncang! Gue yang takut Vivin kenapa-kenapa, nekat berlari sambil mengayunkan pedang ke arah kucing sialan itu. Dia menahan tebasan gue dengan cakarnya! Gue lupa kalau ini kucing! bukan sapi yang cuma bisa nendang sama nyeruduk!

"Nita! Bantu gue nyelamatin Vivin dulu! Jangan diam aja!"

Gue tahu, bukan hal gampang buat seseorang yang gak percaya hantu tiba-tiba ketemu hantu dengan wujud dan ukuran kayak sekarang. Emang, sesuatu yang baru di hidup ini terkadang bikin kaget. Tapi sebagai manusia, belajar dan beradaptasi adalah kemampuan terhebat kita. Iya, kan? Anjir! Gue, kan lagi berantem! Kenapa gue malah seminar!

Sebilah pedang melawan sepuluh cakar tajam. Kalau tanpa sihir biru yang membuat insting gue meningkat, udah pasti gue akan gampang tercabik-cabik. Gue sama sekali gak bisa menebas dia, walau dia juga gak bisa mencakar gue. Kita imbang dari segi serangan. Secara tiba-tiba, ekor panjang kucing itu berusaha menghantam Nita!

"Awas, Nita!"

Gue melempar pedang gue sendiri untuk memakai sihir hijau. Nita yang hampir aja kena geprek untungnya bisa gue selamatkan. Dan sekarang, pedang gue tertancap dengan jarak yang gak bisa dibilang dekat.

"M-makasih, Do,"

"Nit! Begitu dia ngelepasin Vivin dari gigitannya, tolong langsung bawa dia kabur dari sini, ya!"

"I-iya, Do. Tapi gimana c-caranya!?"

"Gue punya ide."

Gue emang suka sama kucing. Karena itu, gue tahu kalau semua kucing gak suka kalau ekornya dimainin. Terkhusus hari ini, gue pengin tahu ... apa reaksi kucing kalau ekornya gue tebas. Gue ngambil pot bunga kosong dan melemparnya ke arah pedang gue yang tertancap di lantai.

Begitu gue udah mendapatkan pedang gue lagi, dengan asap merah Dea yang menyelimuti pedang, gue menebas ke arah mata-mata kucing itu. Dia yang berkedip sejenak, teralihkan ketika gue udah meloncat buat menusuk ekornya. Bukannya menghindar, ekornya malah mencoba menghantam gue! Dan ... dengan satu gerakan menusuk, gue menembus ujung ekor kucing raksasa itu! Dia menggeram keras dan akhirnya melepaskan Vivin!

"Sekarang, Nit! Bawa Vivin kabur dari sini!"

Nita baru aja mau menggendong Vivin, dan secara misterius gue merasakan asap merah Dea yang melayang di belakang gue. Apa jangan-jangan Dea datang!? Gue menoleh, menatap ke arah hawa asap merah itu yang ternyata memancar dari tubuh Vivin. Apaan, nih!? Vivin yang tadinya gue kira pingsan, sekarang berdiri tegap menatap kucing besar di depannya sambil ketawa.

Gue juga ngelihat asap ungu yang melayang di antara pundaknya. Ini pertama kalinya gue ngelihat asap ungu! Tunggu! Gue mencoba mengingat apa kemampuan dari sihir ungu itu! Apaan, ya!? Gue lupa! Vivin melangkah mendekati kucing hitam besar bermata tujuh yang ekornya baru aja gue potong itu.

"Mbah ... Pujan?"

Gue sama Nita tatap-tatapan. Apakah Vivin juga penonton video Alip Topak!?

"Iya, iya aku maafin, kok. Pergi sana sebelum kamu dicincang Om itu."

Kucing itu menatap gue, menggeram keras sebelum melebur menjadi asap hitam dan menghilang. Asap ungu di tubuh Vivin juga udah menguap ke udara. Gue buru-buru berlari ke arahnya, buat mastiin kalau dia baik-baik aja. Semoga.

"Vin! Di mana yang sakti!?" tanya gue.

Nita ikut memperhatikan seluruh tubuh Vivin yang beberapa saat lalu hampir dikunyah kucing raksasa.

"Tenang, Om. Gak ada yang sakit, kok. Maaf, ya ... gara-gara aku Om hampir kena masalah,"

"Vin! Kamu beneran gak apa-apa!? Baju kamu aja sampai sobek begini, lho!" kata Nita.

"Beneran, Kak ... gak apa-apa, kok. Itu cuma baju."

Dari bekas sobekan baju itu, gue ngelihat asap merah. Ini persis sama apa yang sering terjadi sama gue waktu gue kena serangan. Gue gak berdarah karena asap merah Dea. Tapi ... kenapa Vivin juga!? Apa Dea sama Vivin juga terikat kontrak yang sama kayak gue!? Gue gak bisa mikir di rumah kosong gak terawat kayak gini. Gue butuh Nasi.

Setiap orang punya cara masing-masing buat nenangin diri. Berbeda sama gue yang cuma minum kopi sambil melamun, Nita ternyata punya caranya sendiri. Dia menyumpal kedua telinganya dengan earphone sambil memejamkan mata. Dari kakinya yang begoyang-goyang, gue rasa dia lagi dengerin musik.

Vivin juga tampak baik-baik aja. Syukurlah dari kejadian tadi gak ada yang celaka. Karena gue udah lapar dan gak enak sama Nita ... akhirnya dengan tegas gue bilang sama Vivin kalau kita harus segera balik ke kantor. Untungnya Vivin ngerti.

"Makasih, ya, Nit udah ngebolehin kami main di sini seharian. Gue juga minta maaf soal yang tadi,"

"Apaan, sih, Do. Biasa aja kali. Vivin emang udah sering main ke sini. Lagian kayaknya emang udah saatnya kita ketemu. Biar nanti lo udah tahu ke mana kalau mau ketemu sama Mery,"

"H-hah!? M-maksud l-lo ... i-ini rumah ... ini r-rumah Mery!?"

Nita terseyum melepas kepulangan kami. Hari udah jam 8 malam, pantesan perut gue udah dangdutan dari tadi. Gue pengin cepat-cepat ke kantin, pesan nasi goreng dengan tambahan lauk berupa hati ayam terus ketemu Mery dan ceritain semua kejadian tadi. Dari belakang, Vivin mencolek perut gue.

"Kenapa, Vin? Kedinginan, ya?"

"Om ... sebenarnya ... aku ini manusia atau bukan?"

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang