BAB 38: Bambu dan Suaranya

69 9 0
                                    

"Ngopi dulu, Mardo,"

"What!? I-itu tadi apaan!?"

Pandangan gue udah gak kemerahan lagi. Mungkin asap merah Dea udah pergi.

"Aku membantu memperkuat visual kamu, Do. Biar kamu ngelihat langsung soal titik waktu yang sebelumnya aku bilang."

Gue menerima cangkir kopinya dan menghirup aroma itu sejenak.

"A-aku masih belum begitu ngerti, sih. Tapi makasih, ya ... kalian berdua udah mau ngajarin aku,"

"Nanti kamu pasti bisa, kok, Do. Sekarang ngopi dulu, terus kita lanjut ke buku berikutnya,"

"Hah!? Baru satu buku aja aku udah gila, tahu!"

Dea dan Kikuem ketawa.

"Makasih, ya, Kikeum udah mau ngajarin Mardoku ini. Kamu bisa kembali sekarang,"

"Baik, Ratu. Saya pamit dulu."

Ketika Kikuem pergi, gue menganga lebar saat menatap Dea sampai-sampai cangkir kopi gue nyaris kebalik. Dan seperti Dea biasanya, dia cuma senyum ke arah gue terus masuk ke dalam rumah. Tentu ada hal yang pengin gue tanyain sama dia. Tapi kayaknya mendingan nanti aja. Gue mau ngopi dulu, terus lanjut latihan sendiri.

Sambil memegangi pedang dan menatap bilah bambu yang pernah gue pakai sebagai target latihan, gue teringat perkataan Kikuem waktu tadi di kamar gue. Ketika gue semangat banget ngelihat dia ngembaliin lilin meleleh ke bentuk semula dan berkhayal gue bisa makan nasi bungkus sepuasnya dengan cara yang sama.

Dia bilang, ngembaliin sebuah objek ke waktu sebelumnya bukan hal yang gratis. Hal itu dibayar dengan usia waktu oang yang menggunakannya. Artinya, setiap kali gue ngembaliin usia waktu sebuah objek, maka gue mengurangi usia waktu gue sendiri. Dengan bahasa sederhana: nyawa gue akan berkurang.

Berbeda dengan titik waktu yang dijelasin Dea, di mana penggunanya menandai sebuah titik waktu dan meninggalkan jejak di sana, lalu kembali ke sana sambil mengendalikan ruang pengguna sendiri. Maka dengan cara pemikiran yang lebih mudah gue pahami kalau ilmu hijau ini lebih mirip teleportasi.

Dan selalu aja, kemampuan daya pikir gue datangnya agak telat dari semestinya. Oke, gue akan coba menggunakan ilmu sihir hijau ini dengan cara bertarung gue sendiri. Pertama, gue mencoba hal dasar terlebih dahulu, yaitu: ngeluarin asap hijau dari tubuh gue. Dan gue gak tahu caranya gimana.

Dua kata kunci yang gue ingat adalah: panca indera dan imajinasi. Sebanding lurus sama kalimat di akhir buku itu, ketika gue bisa menajamkan satu panca indera gue yang berupa penciuman, maka itu adalah saat di mana gue bisa menandai sebuah titik waktu.

Berikutnya meningkatkan panca indera lain yang berupa suara, merasakannya dengan imajinasi gue bahwa gue telah membuat sebuah titik waktu dan kembali ke sana, lalu menajamkannya dengan visual sehingga gue benar-benar bisa kembali ke titik itu.

Gue memejamkan mata untuk meningkatkan indera pendengaran gue. Gue bisa mendengar suara kicau burung, gemerisik dedaunan, serta sayup suara kendaraan yang jauh. Saat gue membuka mata, gue mendapati tubuh gue mengeluarkan asap hijau!

Tapi, untuk menandai titik waktu gue perlu indera penciuman. Nah, gue itu orang yang gak begitu peduli sama bau-bauan. Makanya gue selalu dipercaya buat bersih-bersih sisa kotoran sapi kurban. Hal ini membuat gue kesulitan. Setelah beberapa kali mencoba, berusaha membedakan dari setiap bau-bauan di udara, gue menemukan satu bau yang sama yang selalu ada di dekat gue. Bau bunga mawar.

Aroma bunga mawar Dea ini akan membekas beberapa saat setiap kali keluar dari pedang gue. Gue bisa memanfaatkan itu! Nah, hal menyebalkannya adalah: asap merah ini gak bisa gue kontrol sepenuhnya layaknya asap hitam. Kadang dia muncul, kadang juga enggak.

Ketika beberapa kali usaha buat mengeluarkan asap merah, dan akhirnya berhasil, gue buru-buru menandai bau itu dan memvisualkannya menjadi sebuah tangkai mawar berwarna hijau yang menancap di tanah. Lalu gue berlari ke arah bilah bambu di depan dan melemparnya ke arah tangkai mawar itu.

Gue mendengarkan suara benturan antara bambu dan tanah, memvisualkan dengan nyata kalau gue melompat ke sana secepat mungkin. Kemudian, gue terpeleset! Terbaring dengan sebilah bambu di samping gue. Gue menoleh ke belakang, tersenyum lebar saat menyadari kalau gue baru aja teleportasi sejauh 15 meter. Uhuy!

Gue masuk ke dalam rumah dengan senyum lebar. Mau ngasih tahu Dea kalau gue udah ada kemajuan. Gue dapati Dea lagi bercermin sambil memutar-mutar badan.

"Dea! Aku udah bisa!"

"Do. Aku gendut, ya?"

"Hah?"

"Aku gendutan, gak, sih?"

"E-enggak, kok. Masih sama aja waktu pertama kita ketemu,"

"Emangnya kamu ingat kapan pertama kita ketemu?"

"I-itu ... d-di kuburan, kan?"

Dea menatap gue.

"Bukan, Mardo ... tuh, kan kamu lupa,"

"Lha? Bukannya cewek baju putih lusuh yang bau pupup kambing di kuburan itu kamu, ya?"

Dea mencubit perut gue sambil cemberut.

"Kok lusuh, sih!? Bau pupup kambing lagi! Kapan, sih aku pernah jorok kayak gitu! Sebel, deh!"

"T-terus itu s-siapa!?"

"Ya mana aku tahu!"

"Terus kenapa ada foto kamu di sana? dan di sana juga aku ketempelan sama kontrak di kaki aku ini."

Dea menggigit bibirnya, seperti memikirkan sesuatu.

"Waktu itu kamu ngapain ke kuburan? Dan sama siapa?"

"Itu hari pertama aku kerja dan pertama kali ketemu Sulay."

Dea memukul dinding sampai-sampai cermin gue goyang.

"Sulay! Kantor! mereka pasti ngerencanain sesuatu!"

Gue menyentuh pipi Dea yang ternyata gak sedingin yang gue kira selama ini.

"Tapi ... sekarang aku lega kalau ternyata itu bukan kamu."

Di langit yang udah gelap, ketika Dea akhirnya ngembaliin hp gue yang udah seharian ini dia sita, berbaringlah gue di kamar menghadap jendela yang kebuka. Dea pergi entah ke mana sejak tadi sore. Ketika cahaya bulan berpendar masuk melalui jendela, gue teringat saat di mana gue dan Mery duduk di rooftop kantor dan makan nasi goreng bikinan dia.

Lalu dengan cepat gue teringat sebuah fakta yang keluar dari mulutnya sendiri, kalau dia udah ada pacarnya. Gue menepuk-nepuk pipi gue sendiri, merasa kalau selama ini ada hal aneh yang terjadi. Pertama, perasaan menyesal dari berakhirnya hubungan gue sama Naya yang udah bertahun-tahun dijalani membawa gue kepada pekerjaan ini. Dengan satu tujuan: gue pengin balikan sama dia.

Dan setelah gue kenal Mery, tujuan utama itu semakin memudar. Berganti menjadi sebuah perasaan di mana gue pengin lebih lama dengan pekerjaan ini. Lebih mengetahui banyak hal, lebih punya waktu untuk mengenal hal-hal baru, dan gue menikmati proses itu.

Lantas, setelah mengetahui kalau Mery ada pacarnya, gue merasa kalau gue udah gak punya semangat itu lagi di kantor. Dan gilanya, di saat itu juga Naya mengatakan kalau dia akan pergi jauh dan gak mau mengingat gue lagi. Itu sakit, bro. Di ujung keputusasaan itu, Dea menguatkan gue. Sekarang, apa arti Dea muncul di kehidupan gue ini?

Sebuah WhatsApp tiba-tiba memecahkan lamunan.

"Do, pacar baru kamu cantik dan baik, ya. Jaga dia, ya. Dan btw aku udah mau berangkat ke Australia."

Hah!? Kenapa Naya ngomong begitu!?

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang