"B-bukan, ini Pak Sulay ngasih tahu soal tugas,"
"Oh. Kirain Mery. Yaudah, mendingan kamu langsung ke tempat dia,"
"Es krimnya?"
"Nanti aja kalau kamu udah gak sibuk."
Gue sebenarnya mau ngajakin Dea buat pencarian hari ini, tapi dia bilang dia mau di rumah aja. Katanya dia mau belajar resep masakan baru. Hanya ada dua hal di kepala gue: pertama, sebuah makanan enak, dan kedua kebakaran rumah. Begitu udah sampai di rumah, Dea berdiri di samping motor dan menatap gue.
"Kenapa, Dea?"
Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil menunjuk kepalanya sendiri.
"Pusing? K-kamu pusing?"
Dia masih menunjuk kepalanya.
"Oh, astaga! K-kamu gak bisa lepasin helm!? Bilang, dong dari tadi."
Dia menyipitkan matanya sambil mengembuskan napas.
"Gak kayak Alan,"
"Hah!?"
Masa iya gue dibanding-bandingin sama cowok ABG kayak gitu!? Ya ... dia emang ganteng, sih. Dea emang gampang tepengaruh! Untung aja di rumah gue gak ada TV. Bisa gawat kalau dia nonton sinetron-sinetron zaman sekarang. Bisa-bisa setiap hari gue jadi taget dramanya.
Gue udah pernah bilang kalau perjalanan sama Sulay ini emang gak pernah waras. Udah hampir dua jam kami masuk daerah terpencil tapi lokasinya belum ketemu juga. Dia bilang kalau barang terakhir yang kami cari ada di sebuah pertambangan. Dari hasil browsing gue, cara mencari sebuah tambang adalah dengan melihat kepulan asap. Tapi Sulay gak percaya.
"Lo bego atau gimana, sih, Do? Gue, kan udah bilang kalau bitcoin itu beda sama batu bara!"
"Lha? 'kan sama-sama ditambang juga, Pak ... kenapa lo beda-bedain?"
"Terserah lo, deh. Yang penting sekarang kita harus nemu tempatnya dulu, nih. Lo kenapa gak ngajak Dea aja, sih? Kalau ada dia, kan bisa kita suruh terbang buat bantu nyari,"
"Katanya dia mau belajar masak aja, Pak. Lo juga kenapa nggak ngajak Torgol? Soal terbang-terbang dia, kan jagonya,"
"Spirit kayak dia mana mau disuruh-suruh sembarangan kalau bukan urusan tugas. Lagian dia juga lagi sibuk diminta Si Bos buat ngelatih pasukan baru,"
"Pasukan baru!? Cowok-cowok kayak model majalah itu, ya, Pak!?"
"Lo udah pernah ngelihat mereka!? Sialan! Berarti gue doang yang belum ketemu. Gue dengar mereka itu petarung tombak yang kuat."
Udah gue bilangin dari tadi, kalau mau nyari pertambangan, pandanga kita harus selalu ke langit. Dan terbukti! Karena gue ngelihat dan ngikutin kepulan asap hitam di udara, akhirnya kami sampai juga. Sulay cuma gengsi mengakui kejeniusan gue ini. Makanya dia cuma bengong ngelihatin pagar.
Di depan kami sekarang adalah sebuah rumah yang kayaknya enggak lebih besar dari rumah Keyla. Pagar setinggi dada menghalangi kami untuk masuk. Di sebelah kiri, ada pos satpam yang lagi kosong. Gue menggedor pagar rumah itu, berharap ada yang segera bukain. Gak lama, datanglah seorang bapak-bapak botak dengan seragam satpamnya.
"Iya, Pak, ada apa, ya, Pak?" tanyanya.
Gue langsung salah fokus ketika berhadapan.
"I-itu ... itu ada a-apa di muka Bapak!?"
"Oh, ini tato, Pak. Emang ganteng saya ini, Pak."
Sulay menyepak kaki gue.
"Bosnya ada?" tanya Sulay.
"Bos lagi di luar, Pak. Katanya mau lihat-lihat gedung buat nikahan,"
"Saya ada urusan soal mesin. Bisa bicara sama siapa, ya?"
"Oh, kalau gitu masuk aja, Pak. Di dalam ada orangnya, kok."
Satpam itu membukakan pagar dan gue masih takjub dengan tato di mukanya.
"Kalau boleh tahu ... itu tato apa, ya, Pak?" tanya gue.
"Oh ... kalau di kampung saya ini namanya tiwadak, Pak. Iya, Pak. Emang tambah ganteng saya, Pak."
Gue yang semakin takjub segera menyalaminya.
"Saya Mardo, Pak,"
"Iya, Pak ... saya Jamalabun. Biasa di panggil Pak Jamal."
Sulay menyepak kaki gue lagi. Sulay emang gak ngerti tato. Kami di persilakan masuk ke dalam rumah itu oleh Pak Jamal, tapi dia malah berjalan ke samping rumah. Karena enggak enak mau masuk duluan, kami otomatis ngikutin dia. Dan ternyata ... dia lagi bakar sampah.
"Lihat. Jadi ini yang lo cari, kan?"
"Ya ... kayaknya, sih iya."
Pak Jamal kembali dengan tugas menyalakan 'asap tambang' nya ketika gue sama Sulay masuk ke dalam rumah. Sejauh mata memandang, yang gue lihat hanyalah alat yang sama dengan yang kami dapat di kantor Alip Topak. Untungnya seisi rumah dicat putih bersih jadinya gak kelihatan berantakan. Dan emang bersih, sih.
Suara kipas AC dan suara kipas alat-alat itu sendiri bikin telinga gue sakit! Tahu gini, harusnya gue bawa speaker bluetooth gue buat menangkal serangan bising. Di sudut yang kayaknya gak berisik, terdapat sofa, TV dan meja-meja kerja. Seorang cowok yang menyadari kedatangan kami langsung menengok dari kursinya.
"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanyanya.
"Kami mau ngambil alat penambang yang kalian dapat dari orang bernama Burhan," kata Sulay tanpa basa-basi.
"Maaf, Pak. Kalau soal pembelian alat, itu bos kami sendiri yang ngurusinnya. Saya cuma operator,"
"Kapan bos kalian datang?"
"Tunggu, Pak. Saya coba WhatsApp dulu, ya. Silakan duduk dulu."
Sementara nunggu, gue yang masih gak percaya kalau batu bara bisa didapat dengan alat-alat kayak gini mulai berjalan-jalan. Di layar TV, gue ngelihat sebuah grafik yang terus bergerak naik-turun. Apa cowok itu lagi terhubung sama alat deteksi jantung, ya? Kerja kantoran ternyata bisa bahaya juga.
"Wah, mohon maaf, Pak ... kata bos dia baru ke sini dua hari lagi. Maklum, Pak ... sibuk nyiapin pernikahan,"
"Kalau gitu boleh kami cari sendiri alatnya?"
"Mohon maaf, Pak ... biar enak mendingan bapak datang lagi waktu bos ada di sini."
Namanya juga Sulay. Tentu aja dia gak mau pergi dan nunggu dua hari lagi buat beresin misi ini. Dia mengepalkan tangan kanannya di atas meja, dan secara misterius komputer di sana seketika mati. Dengan tatapan tajam, dia mencoba mengintimidasi cowok itu.
"Bisa, kan?" tanya Sulay.
Gak seperti kejadian karyawan Alip Topak yang ketakutan dan langsung nyerahin alat yang kami minta, cowok itu berdiri menghadapi Sulay tanpa rasa takut. Dia meraih sebuah pensil berwarna hijau, mencoret sesuatu di kertas yang gak bisa gue lihat.
"Cari kode ini di blok F22. Tapi sedikit aja ada yang berantakan, saya gak bisa jamin kalian bisa pergi dari sini."
Sulay mengambil kertas berisi kode nomor alat itu. Mungkin karena saking banyaknya alat yang sama, jadinya harus diberi kode buat gampang waktu perawatannya. Kalau menurut dugaan gue, sih di sini ada ratusan alat. Dan dengan ukuran rumah sebesar ini, kayaknya ini bisa menampung tujuh pasang sapi remaja.
"Cepat cari Do. Gue lagi males berurusan sama cewek,"
"Hah? C-cewek yang mana, Pak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...