BAB 70: Cerita Bubur itu

53 8 0
                                    

Hah!? Kok bisa seorang Sulay yang kelihatan kayak preman pembubar hajatan patah hati!? Kok bisa seorang Sulay yang pernah tanpa ragu mukul Dea sekarang kelihatan galau!? Ini ada apa, sih!? Di tengah kebingungan itu, asap biru gue tiba-tiba muncul semakin banyak sampai akhirnya mereka semua ngelihatin gue.

"Do! tenang, Do!" ucap Dea.

Nirana bingung melihat gue. Sementara itu gue dan Sulay hanya terdiam saling menatap.

"T-tenang ... tenang ... i-ini biasa terjadi kalau habis m-makan bubur," kata gue.

"Lo udah makan duluan!? Tanpa ngajak gue!? parah lo!" kata Sulay.

Sulay lalu berdiri dan langsung menarik gue menuju kantin.

"Lho!? Lho!? Kenapa, Pak!? Gue udah kenyang!"

"Temenin gue makan!"

Sekali lagi, gue dan Sulay ninggalin Nirana sama Dea. Waktu Sulay lagi hadap-hadapan sama penjaga kantin, gue yang duduk sendirian mencium aroma mawar Dea yang diiringi sebuah suara di kepala gue.

"Soal Nirana biar aku yang urus," ucap Dea di dalam kepala gue.

Gue pernah ngalamain hal kayak gini sebelumnya waktu gue ditangkap Heshita di pasar gaib untuk pertama kali. Waktu itu Dea juga tiba-tiba ngomong di kepala gue ketika gue mencium aroma mawarnya. Dan beberapa waktu yang lalu, sihir kuning Mery juga bekerja dengan cara yang hampir sama.

Kalau aja gue bisa ngelakuin yang sama, hal pertama yang pengin gue lakuin dengan kemampuan ini adalah: ngomong sama ibu kantin buat nambahin porsi bubur. Gue emang jenius. Waktu lagi senyum-senyum ngebayangin banyak hal yang pengin gue coba kalau bisa telepati, Sulay tiba-tiba duduk di depan gue sambil membawa semangkok bubur ayam. Tanpa kerupuk. Tanpa diaduk.

"Lo kenapa, sih, Pak? Makan bubur kok gak diaduk?"

"Lo kenapa nanya kalau lo tahu jawabannya bertentangan sama hati lo?"

"Hah?"

Mukanya kelihatan galau lagi sambil makan bubur. Aneh banget.

"Lo habis ngomongin apaan, sih sama Nirana?"

Sulay meminum teh panas sebelum menatap gue.

"Do. Lo pernah nggak ... ada satu momen di mana lo ngelihatin cewek terus lo merasa kalau dia selama ini jatuh hati sama lo?"

"Emm ... kayaknya gak pernah, deh,"

"Itu! Itu kalimat pertama yang gue bilang sama Nirana tadi!"

"L-lo bilang kalau l-lo suka ngelihatin c-cewek!?"

Sulay langsung mau mengguyur gue dengan teh panas.

"Lo, tuh bego banget kenapa, sih!? Gue bilang sama Nirana kalau gue tahu ... kalau dia itu jatuh hati sama gue sejak dulu,"

"T-terus?"

Muka Sulay kembali lemas lagi. Dia gak menjawab dan ngelanjutin makan bubur.

"J-jawaban Nirana ... bertentangan sama hati lo, ya?"

Sulay terdiam walau masih mengunyah. Dia menatap gue, lalu mengangguk.

"Yaudah, makan yang banyak, Pak. Gue traktir."

Dengan alasan mau ngisi bensin, Sulay kembali ke mobil yang terparkir di depan SD waktu gue berjalan menuju Dea sama Nirana yang lagi ngobrol sambil ketawa-ketawa. Cewek emang gitu. Walaupun baru kenal, pasti ada aja obrolan yang bisa dibikin seru sambil ketawa-ketawa. Cowok itu beda. Kalau baru kenal, paling obrolannya soal: kerja di mana? Orang mana? terus secara ajaib ada aja orang yang sama-sama kita kenal.

"Nah ... jadi gitu, Na ceritanya. Kalau diingat-ingat lagi ... Mardo udah banyak berubah dari pertama kami ketemu,"

"Oh, ya? Cowok emang gitu, sih. Baru kelihatan sisi bocahnya kalau udah semakin dekat."

Gue yang baru datang dan dengar obrolan kayak begitu cuma bisa menganga bingung.

"I-ini lagi ngobrolin partai, kan? B-bukan gue, kan?"

Mereka menatap gue, lalu mereka berpandangan sambil ketawa. Cewek.

"Oke, deh kalau gitu. Aku harus kerja lagi. Kapan-kapan nongkrong bareng, ya. Dah, Dea ... dah, Mardo...."

Nirana kembali ke kerjaannya sebagai perawat. Gue masih menatap Dea dengan bingung yang berharap dapat pencerahan. Dea yang tahu gue penasaran malah senyum doang dan berjalan ninggalin gue. Beberapa belas meter menuju mobil, gue merasakan perasaan sedih seseorang!

Dengan menutup mata kiri sambil melihat ke sumber perasaan itu, terlihatlah Sulay yang ... lagi nangis di dalam mobil sendirian. Anjir! Sulay nangis!? Gue menahan lengan Dea untuk memperlambat langkahnya.

"Kenapa, Do?"

Gue menarik Dea menuju jalan lain menjauhi mobil.

"Kenapa, Do? Sulay udah nungguin, tuh."

Gue yang gak mau ngasih tahu Dea kebingungan sendiri nyari alasan.

"A-aku ... a-aku mau ... jalan berdua s-sama k-kamu bentar."

Dea yang senyum-senyum bikin gue salah tingkah anjir! Kenapa, nih!?

"Iya ... aku tahu, kok,"

"T-tahu!? tahu apaan!?"

"Aku tahu kalau kamu ... kalau kamu ... hihi."

Dea malah ketawa terus berjalan cepat ninggalin gue.

"Dea! Dea, woy! tahu apaan!? tungguin!"

Dea ini udah kayak bayangan. Makin diikutin malah makin ngejauh. Satu-satunya tempat di mana langkahnya berhenti adalah sebuah jalan dengan tembok di sisinya. Gue sama Dea kaget bukan main waktu ngelihat sesuatu di tembok itu. Suatu ... gambar?

"Apaan, tuh!? Serem banget!"

Beda sama gue yang ketakutan sambil nutupin muka, Dea malah mendekati tembok itu.

"Benar kata Nirana, Do. Semua keanehan itu datang dari dinding ini,"

"Hah!?"

"Kamu tadi cuma sempat dengar cara dia balik ke masa lalu, kan? Cara dia balik ke masa sekarang kamu gak tahu, kan?"

Gue memberanikan diri menatap mural di tembok itu.

"I-ini ... gambar ... b-badut, kan?"

"Ini aneh, Do. Nirana bilang kalau dia ngelihat gambar gelombang di sini. Tapi ... ini jelas bukan gelombang, kan?"

Kami berdua tertegun menatap sosok di depan kami sekarang. Sebuah mural bergambar badut yang mengerikan lagi tersenyum lebar. Yang lebih nakutin selain mukanya adalah, adanya gambar batu meteor yang persis sama dengan yang ada di ransel gue sekarang! Badut itu lagi menggenggam batu sambil tersenyum!

"Eh! L-lihat, deh!"

Gue sama Dea maju selangkah waktu menyadari ada sebuah huruf di sana.

"O? huruf O?"

Udara tiba-tiba terasa dingin. Langit pagi yang tadinya cuma berkabut tiba-tiba menjatuhkan rintik-rintik hujan. Suara desiran angin terasa semakin nyata di telinga gue waktu gue menatap dua bola mata badut itu. Gue sama Dea masih gak bergerak walau udah basah kuyup.

"J-jangan-jangan ... k-kita...."

Dea menggenggam tangan gue.

"Iya, Do. Kemungkinan kita akan kembali ke tempat dan masa di mana pandai besi yang dimaksud Mbah Kusno masih hidup,"

"Jangan bilang ... b-badut i-ini o-orangnya!?"

Dea menggenggam tangan gue lebih erat. Dengan senyuman di bawah hujan itu, dia menenangkan gue yang ketakutan.

"Ada aku, kok."

Waktu gue udah bersiap dan merasa kalau gue sama Dea akan benar-benar berpindah, hujan di atas kepala kami terhenti tiba-tiba. Waktu gue nengok, ternyata Sulay lagi bikin payung dengan asap hitam di tangannya.

"Ke mana kita?" tanyanya.

Kami bertiga menatap tembok itu dengan yakin.

"Berangkat!"

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang