BAB 12: Racun Kerja

79 13 0
                                    

Kepala itu terbang cepat banget! Gue buru-buru lari mengejarnya sampai ke ruangan Si Bos. Pintu udah kebuka, ketika gue masuk, kepala dengan rambut panjang itu sedang terbang memutari Sulay yang terbaring di lantai. Si Bos duduk di meja sambil meminum kopinya.

"B-bos ... tim medis."

Si Bos cuma mengangguk. Gue berdiri agak dekat dengan Sulay yang terbaring.

Kepala itu kemudian melayang tepat di atas wajah Sulay. Organ dalamnya yang berdenyut membuat gue pengin muntah. Walaupun nilai biologi gue gak pernah bagus di sekolah, seenggaknya gue tahu kalau yang sedang mengembang sekarang adalah paru-parunya. Kepala itu menarik napas panjang.

Sebuah asap hitam keluar dari mulut Sulay, yang kemudian masuk ke dalam paru-paru kepala itu. Sampai sekiranya paru-paru itu berubah menjadi hitam, barulah Sulay tersedak hebat dan terbangun. Kepala itu memuntahkan semua asap hitam yang tadi dihirupnya ke dalam sebuah gelas di atas meja Si Bos.

"Pak! Gimana, Pak!? Lo gak apa-apa!?"

Sulay mengatur napasnya, keringat bercucuran di wajahnya.

"Aman."

Si Bos mereguk kopinya, lalu mengangkat gelas yang berisi cairan hitam. Kepala itu melayang di samping Si Bos, menatap gue dan Sulay. Beberapa saat kemudian, setelah Sulay bisa berdiri, pintu diketuk. Dua orang cewek berbaju putih masuk ke dalam ruangan. Gue pikir, mereka inilah tim medis yang sesungguhnya, cuma telat datang aja.

"Badannya sudah kami siapin, Sus," kata salah satu dari mereka.

Gak lama, kepala itu terbang keluar dan mereka semua pergi.

"Gimana keadaan kamu, Sulay?" tanya Si Bos.

Sulay mengusap keringatnya.

"Aman, Bos,"

"Maaf, Bos ... dia kenapa, ya?"

"Dia keracunan ilmu yang baru dicabutnya."

Alan!? Iya juga, ya! Waktu itu keluar asap hitam dari kepala Alan dan masuk ke tangan kanan Sulay!

"Kamu istirahat saja. Sementara kalian berdua libur tugas dulu,"

"Siap, Bos."

Hari udah semakin malam. Karena Sulay bilang kalau dia udah gak apa-apa, akhirnya gue pulang aja. Gue masuk rumah dan normal-normal aja. Gak ada bunyi keran air, gak ada lampu mati-nyala sendiri, gak ada taburan bunga mawar di lantai. Gue rasa semuanya udah kembali normal. Gue masuk ke kamar, mengganti pakaian dan menaruh pedang di atas meja laptop.

Sambil rebahan, gue mengecek hp. Gue ingat, ada WhatsApp yang harus gue jawab. Seseorang yang menunggu gue, entah dengan tujuan apa. Anjir! Gue teringat dengan Torgol! Gue ninggalin dia di pemancingan! Aduh! Gue harus ngapain sekarang!? Gue buru-buru ganti baju lagi, ngambil pedang dan pergi buat jemput Torgol. Lagi-lagi, gue menunda percakapan dengan Naya.

Pemancingan sepi banget. Gak ada orang satupun, bahkan warung langganan gue beli roti aja udah tutup. Gue segera menuju kursi tempat gue ninggalin Torgol. Gue lega banget setelah melihat dia lagi duduk menghadap sungai. Gue berlari menghampirinya.

"Pak! Mohon maaf nungguin lama, ya."

Dia berbalik menghadap gue dengan ekspresi datar.

"Mardo,"

"Sekarang gimana, Pak? Mau kembali ke kantor, gak?"

Dia langsung berdiri. Mengangkat kursi kayu panjang dan melemparnya ke sungai.

"Waduh! Kenapa dibuang, Pak!?"

Dia berdiri sambil menatap gue. Sama seperti ketika Si Bos menatap gue, kali ini gue juga merasakan aura intimidasi yang membuat gue merasa terpojok.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang