BAB 75: Cerita Luka itu

58 7 0
                                    

Katanya, kesadaran pertama dari seseorang yang baru aja pingsan adalah cahaya. Gue ngelihat cahaya putih yang berpendar di depan gue. Lalu, indera gue yang lainnya berangsur aktif kembali. Gue mulai mendengar suara 'beep ... beep ... beep' serta gue merasakan sentuhan di lengan gue.

Tapi ... gue masih gak bisa ngelihat apa-apa. Apa jangan-jangan gue jadi buta!? Wah kacau! Kalau gue buta, terus gimana caranya gue bedain gagang pintu kamar sama gagang pintu wc!? Enggak, enggak! Gue gak mau!

Dengan kepanikan itu, gue ngeluarin sihir biru buat nyari tahu keadaan sekitar. Gue ngelihat kasur ... kasur rumah sakit! Gue juga ngelihat bayangan orang-orang berbaring di atasnya. Dan tepat di samping gue, seseorang yang lagi menatap dan megangin tangan gue, tentu aja adalah Dea.

"D-dea...."

"Do! Akhirnya kamu bangun juga!"

"Aku ... a-aku buta, ya?"

"Siapa bilang!? Ya enggak, lah! Coba buka mata kamu, Mardo...."

Iya juga, ya. Caranya biar bisa ngelihat pakai mata, kan emang harus buka mata dulu. Gue ngelihat lampu putih di langit-langit, wajah Dea di samping kiri gue, dan tirai hijau di kanan gue. Ternyata, gue bukan buta. Gue cuma bego.

"Gimana!? Bisa ngelihat aku, kan?"

"Iya. Kirain aku gak bisa ngelihat kamu lagi. Kita di mana?"

"Di rumah sakit yang tadi. Nirana bilang kamu gak boleh pulang dulu karena kamu banyak kehilangan darah,"

"Terus, cara kita sampai di sini gimana?"

Dea malah ketawa sendiri.

"Kayaknya kamu harus bilang makasih sama Sulay, deh, Do,"

"Hah!? K-kenapa?"

"Dia yang gendong kamu sampai ke sini. Ekspresi mukanya lucu banget tadi. Kayak terpaksa gitu.

Beberapa lama setelah obrolan itu, Sulay dan Nirana datang. Agak aneh ngelihat mereka datang berdua setelah sebelumnya gue ngelihat Sulay galau di mobil. Sulay naruh gelas plastik berisi kopi susu di meja di dekat kepala gue.

"Enak banget lo, ya bisa tidur. Nih, ngopi dulu," katanya.

"Gimana perasaannya, Do? Ada yang masih sakit atau pusing, gak?" tanya Nirana.

"Kayaknya aman, deh. Cuma agak lapar aja,"

"Kamu mau makan apa, Do? Biar aku beliin," ucap Dea.

"Manja banget lo. Nih, ngopi aja dulu terus kita langsung balik ke kantor."

Dea dan Sulay langsung berhadapan siap-siap mau ribut lagi.

"K-kayaknya aku udah gak apa-apa, deh. Kami mau langsung pulang aja boleh, kan?"

Sebenarnya terasa ada yang aneh dari tubuh gue. Gue merasa lebih ringan. Apa ini gara-gara darah gue berkurang? Atau gue jadi tambah kurus gara-gara gak makan mie instan dalam beberapa waktu terakhir? Sambil memeriksa bekas luka di kaki kanan gue, Dea dan Nirana yang lagi berbincang sebelum kami pergi tampak udah selesai ngobrol.

Di perjalanan pulang kali ini, gue memutuskan buat duduk di depan. Walau Dea sempat cemberut karena duduk sendirian di belakang, tapi kayaknya dia ngerti alasan gue. Perjalanan kembali ke masa lalu untuk bertemu Mbah Bondo ternyata gak memakan waktu banyak. Walaupun kami merasa cukup lama di sana, nyatanya kami cuma ngabisin waktu satu jam di dunia nyata.

"Makasih, ya, Pak udah nolongin bawa gue ke rumah sakit,"

"Ya,"

"Sekarang kita punya misi apa lagi?"

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang