BAB 121: Mengantar Hati Kodok

16 5 1
                                    

Sesosok kodok berpedang yang melompati gue menghabiskan tiga detik waktu yang udah kembali normal. Dia menebas secara langsung rantai di bawah laut, dua detik sebelum kapal terguncang ketika tangan asap hitam Sulay menahan kapal ini.

Kodok itu menendang kapal Sulay buat melompat kembali ke kapal gue, sekaligus mendorongnya karena jangkarnya udah putus! Gokil! Tapi tetap aja, sesuai dugaan gue diawal, kapal ini terdorong ke depan! Meja dan kursi tempat makanan orang-orang bule semuanya bergerak ke depan dan mendorong bule-bule yang gak sempat menghindar!

Mereka berjatuhan ke laut! Kasian banget. Kalau aja gue bisa berenang dan gue berani, gue gak akan diam aja. Untungnya peran itu udah diambil oleh orang-orang lain yang langsung lompat juga. Gue menatap Sulay yang mukanya kencang banget saat menahan berat kapal.

“Pak! Pak! Belokin, Pak! Kapalnya udah bisa jalan!”

Sulay melirik gue sebentar dengan tampang mau berak itu. Kedua tangan asap hitamnya membelokkan kapal ini ke kiri, dan perlahan tampak berhasil! Terjadi guncangan di mana-mana ketika dua kapal ini berpapasan.

Tangan besar itu hilang, Sulay berlutut dan mengangkat jempolnya. Gue bersorak gembira sambil loncat-loncat.

“Yes! Yeeeeees! I know yuhuuuuu! Merdekaaaaa”!

Orang-orang bule juga bersorak dan berpelukan. Apakah ini kesempatan gue buat ngambil telor dadar di lantai? Tentu jangan. Kotor. Jauh di belakang, sosok kodok berpedang itu memegangi topi fedora di kepalanya. Dia seakan menatap gue.

Waktu gue mengejarnya, dia malah melompat masuk ke dalam kapal melalui pintu yang sebelumnya digunakan petugas pria tadi. Tentu aja gue kejar sampai gue ngelihat dia berjalan menuju ruangan yang kayaknya tempat menyopir kapal ini.

Gue ngelihat suatu pemandangan aneh lainnya. Tampak tujuh orang pria yang dililit tali dengan mulut dilakban sedang tak sadarkan diri di lantai! Ini apaan buset!? Gue bingung. Sumpah gue bingung mau bertindak apa. Lalu, kodok itu menghunuskan pedangnya.

“E-eh! Eh! M-mau n-ngapain!?”

Dia memutus tali itu dengan sekali sayatan. Dia menatap gue. Dua bola matanya yang berwarna kuning dengan garis hitam itu berkedip sekali, lalu tiba-tiba dia udah melompat dan menyerang gue dengan pedangnya!

Untungnya gue sempat menarik pedang juga dan menahan tebasannya. Tebasannya kuat banget! Gue terpukul mundur dan dada gue tersayat horizontal! Baju gue robek, asap merah meluap keluar dari luka itu. Sakit, tapi gak berdarah.

Dia menyarungi kembali pedangnya. Muka kodoknya yang gak berekspresi itu nyebelin banget. Tapi kalau dilihat-lihat, dia ini emang kodok. Sesosok kodok yang memakai jubah dan topi fedora hitam dengan pedang yang gak begitu panjang.

Gue udah biasa ngelihat kodok di pemancingan. Tapi biasanya itu jenis kodok sawah yang berwarna cokelat. Bentuknya emang mirip, sih. Bedanya, dia berwarna hijau dan badannya setinggi gue.

“L-lo s-siapa, sih!?”

Tenggorokannya membesar. Dia mengeluarkan suara kodok. Dia gak bisa ngomong, ya? Lalu, orang-orang yang masih tergeletak di lantai itu tampak bergerak dan mulai kembali sadar. Kodok itu segera melompat keluar. Daripada nanti gue dituduh bajak laut, mendingan gue ikutan kabur.

Kodok itu terjun ke bawah ruangan mesin yang sebelumnya gue benerin. Gue mengikutinya menggunakan tangga putih. Waktu gue udah kembali ke tempat mesin yang berisik, gue gak bisa nemuin kodok itu lagi. Dia menghilang. Sisi baiknya, gue nemuin HP gue di lantai dengan layar mati. Semoga aja gak rusak.

Gue berjalan-jalan sampai gue nemuin tangga berwarna oranye. Gue menaikinya, lalu gue sampai di dek kapal. Gue ngelihat Sulay yang duduk bersila sambil makan bakwan. Suasana benar-benar sepi. Eh tunggu! Kok gue di sini lagi!?

“Pak! Buset, Pak! Hampir aja kita mati, Pak!”

Gue langsung ikutan duduk di samping Sulay, berharap dikasih bakwan.

“Gimana spiritnya? Dia ngapain aja sampai-sampai kapal ini gak bisa gerak?”

“Dia kelelawar, Pak tapi rambutnya gondrong.”

Buset gue gak ditawarin bakwan.

“Gue gak peduli bentuknya. Yang penting kita bisa lanjutin pelayaran dan sampai ke desa itu.”

Sulay kemudian berdiri. Dia menatap gue sebentar, lalu menyerahkan kantong plastik putih berisi satu bakwan.

“Nih, sekalian buang sampah,”

“Nah, gitu, dong! Tengkyu, Pak!”

Kebetulan banget, waktu Sulay mau pergi, datanglah seorang pria yang sebelumnya ngarahin kami buat pakai pelampung. Dia menyalami Sulay dan gue langsung bangkit berdiri. Siap-siap mau disalamin juga.

“Aduh, Mas … Mas. Hampir aja kita semua meninggal,” ucapnya sambil menyalami dan menepuk bahu Sulay.

“Apa ada kerusakan fatal, Pak?” tanya Sulay.

“Banyak kerusakan di fisik luar, tapi yang paling fatal kita kehilangan jangkar. Kami harus mikirin gimana cara berlabuh yang paling aman nantinya.”

Gue langsung pura-pura buang sampah dan pergi menjauh. Ketika plastik putih itu ditelan bak sampah, asap biru kembali muncul seakan ngasih tahu kalau Dea datang mendekat. Gue menengadah, menatap langit malam bertabur bintang dan bulan sabit yang memantulkan cahayanya ke permukaan laut.

Dea dan spirit kelelawar itu masih kejar-kejaran sampai akhirnya asap merah Dea membentuk sepasang sayap! Dengan begitu, dia seakan punya tambahan kecepatan terbang yang dengan mudah menendang jatuh spirit itu! Gokil!

Dia jatuh ke laut. Ketika gue berlari ke pinggiran kapal, gue ngelihat spirit itu ditarik oleh pusaran air! Dia berusaha kembali terbang, tapi tiba-tiba aja sebuah benda panjang yang tampak lengket melilit kaki kecilnya! Dia ditarik paksa hingga tenggelam, meninggalkan gelombang dan riak air tanpa suara di bawah sinar bulan.

Dea mendarat di depan gue, kemudian tanduk dan sayap merahnya yang seperti sayap ngengat itu menghilang. Dia merapikan poninya sambil mengatur napas.

“Makasih ya, Dea. Karena kamu, kita semua selamat.”

Pupil matanya yang berwarna merah itu membesar saat ngelihat dada gue yang robek.

“Ini kenapa, Do!?”

“I-itu … anu … biasa … kena tebas kodok,”

“Kodok!? Kodok apa!?”

“A-ada lah … kodok pakai pedang. Aku juga gak tahu dia dari mana. Intinya dia bantu kita tapi dia juga sempat nyerang aku,”

“Sekarang dia di mana!? Berani-beraninya, tuh reptil!”

“K-kodok amfibi, Dea. Lagian juga gak parah, kok. Robek baju aja.”

Satu jam kemudian, di atas kapal yang tenang dan sepi dengan baju baru, tiba-tiba terdengar sebuah musik. Gue yang bersandar di tepian kapal sambil memandangi langit, sontak mencari sumber suara itu. Di belakang gue, Dea sedang berjalan menghampiri sambil membawa speaker bluetooth.

“Perasaan aku gak putar musik, deh. Bluetooth HP juga gak nyala,”

“Hihi … aku minta musik dari orang yang tadi, Do.”

Dea ikutan bersandar. Rambut hitamnya dibelai angin malam. Dan senyum itu, tidak memudar sedetikpun.

“Petugas yang tadi nyuruh kita pakai pelampung, ya?”

Dea mengangguk seiring dengan lagu ‘Cinta Dalam Hati’ dari Ungu yang bermain di antara deru ombak dan kerlip bintang. Gue yang emang suka musik terutama dari lagu-lagu band zaman gue SD dulu, tentu tahu lagu itu. Lalu, Pasha mulai bernyanyi….

“Mungkin ini memang jalan takdirku … mengagumi tanpa dicintai. Tak mengapa bagiku … asal kau pun bahagia dalam hidupmu … dalam hidupmu….”

Gue melirik wajah Dea yang berdiri di sebelah gue. Anting-anting itu masih ada di telinganya yang tampak malu-malu tersingkap dari rambutnya yang diterpa angin.

“Telah lama kupendam perasaan itu … menunggu hatimu menyambut diriku. Tak mengapa bagiku … mencintaimu pun adalah bahagia untukku … bahagia untukku….”

Di kelopak matanya yang sayu, kilauan cahaya mulai berceceran. Memang tidak sederas itu. Tapi kalau setetes aja jatuh ke laut, mungkin seisi lautan di dunia ini akan memahami perasaannya.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang