BAB 61: Cerita Material itu

61 11 0
                                    

"Pak! Sabar, Pak!"

Cowok pembawa batu itu kaget, mungkin juga ketakutan waktu ngelihat Sulay mendekat.

"Ini orangnya, Do yang gagalin misi gue itu!"

Gue mencoba menengahi mereka. Dea? Dea hilang entah ke mana.

"Minggir, Do!"

"Sabar, Pak! Kita omongin sambil ngopi aja, ya."

Sulay berhasil meremas kerah bajunya yang untungnya tanpa asap hitam di tangannya.

"Mana teman lo itu!?"

"Sabar, Bang ... saya ke sini cuma disuruh nganterin batu ini doang, kok," sahut cowok itu.

"Batu!?"

Sulay menatap batu di atas meja, melepaskan kerah baju cowok itu dan emosinya mulai tampak mereda.

"Mana kopinya, Do?" tanya Sulay.

Gue meninggalkan mereka berdua duduk berhadapan di meja makan. Waktu baru selesai menyeduh kopi, Dea keluar dari kamar mandi perlahan dan menatap mereka tanpa mereka sadari. Bajunya udah waras sekarang. Dia udah punya tangan lagi.

"Ini ada apa, sih, Do?"

"Dea!? Kamu dari mana?"

"Kabur, lah. Males banget ngurusin cowok-cowok ribut gak jelas,"

"Tahu gitu harusnya ajak aku, dong. Biarin mereka ribut. Eh, tunggu ... kalau Sulay ngamuk di sini berarti ... rumah ini bisa hancur nanti!"

Dea ketawa kecil.

"Udah bikin kopinya? Sini aku aja yang nganterin."

Kami berempat duduk di meja makan dengan kursi pas-pasan. Kalau aja datang satu orang lagi, udah dipastikan dia akan duduk di lantai. Di tengah meja, sebuah batu misterius itu seakan menatap kami.

"Jadi ... siapa yang mau mulai cerita?" tanya gue.

Sulay mengangkat tangan.

"Gini, ya ... gara-gara bocah ini nutup-nutupin keberadaan spirit yang gue kejar sama tim lapangan di gunung, hampir aja reputasi gue jadi buruk di kantor. Udah gitu gue jadi punya catatan kriminal di kepolisian dengan tuduhan meresahkan masyarakat setempat. Sialan banget, kan!?"

"Begini, Bang ... izinkan saya memperkenalkan diri dulu. Nama saya Martamat Mualamat Peter Karomat Moramoratat. Dan saya sama teman saya gak berbuat kejahatan apapun,"

"Nama lo bikin ribet, tahu nggak. Lo kalau dipanggil apa, sih?"

"Nengok."

Gue, Dea dan Sulay berpandangan. Menyepakati kalau orang ini mungkin sedikit sinting.

"Mamat. Panggil aja Mamat. Kecuali Kakak Dea, manggil sayang boleh, kok,"

"Eh, Mat. Umur lo berapa, sih?" tanya gue.

"16."

Sulay menyentak meja. Hampir aja cangkir kopi gue menari.

"Sekarang kasih tahu gue ke mana cewek itu pergi!"

"Gak tahu. Kami aja belum dapat nomor WhatsAppnya. Sorry, nih, ya ... tugas saya udah selesai. Jadi sekarang saya mau pulang."

Dia menyisakan kopi hingga setengah cangkir sebelum pergi ninggalin kami bertiga yang masih keheranan. Sementara gue dan Dea memandangi batu aneh itu, Sulay tampak sibuk dengan hpnya. Seperti biasa.

"Ini batu apaan, ya? buat apa orang itu ngasih aku batu?"

Dea meniup batu itu dengan asap merahnya.

"Eh! Eh, Do! Lihat, deh! Batunya kayak kebakar!"

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang