Gue mendengar suara embusan angin dan mencium aroma hutan yang basah sebelum mata gue berkedip. Dan seketika, kami bertiga berada di sebuah hutan dengan hujan gerimis. Setelah agak panik dan bingung, sebuah cahaya lampu dari rumah 50 meter di depan kami seakan memanggil untuk kami datangi.
"Ada rumah, tuh. Kita coba ke sana dulu," kata Sulay.
"Eh, Pak! Pak! T-tunggu dulu! Lo yakin mau ke sana?"
"Emang kenapa? Lo takut, ya?"
"E-enggak, kok!"
Gue berjalan paling belakang sambil mengawasi sekitar. Pagi hari yang cukup sepi buat sebuah hutan hujan. Berdirilah di hadapan kami satu-satunya rumah yang bisa kami lihat. Lampu bohlamnya yang berwana kuning bikin gue teringat sama anak ayam yang gue pelihara waktu SMP dulu.
Rumah kayu ini tampak memprihatinkan. Bentuknya agak miring dengan atap yang kayaknya mau ambruk. Tapi tetap aja, Sulay mengetuk pintu lebih keras walau gue tahu sebenarnya dia juga ragu ada yang menghuni rumah ini.
"Permisi...." ucap Sulay sambil mengetuk pintu.
Gak ada jawaban.
"Pakeeeeeet...." lanjut gue.
Senyap. Sulay menyepak kaki gue.
"Permisi...." ucap Dea.
Gagang pintu berputar! Anjir! Giliran cewek, baru ada jawaban! Gue langsung mundur ke belakang Sulay. Jaga-jaga aja, siapa tahu ada yang nyerang dari belakang. Iya, kan? Pintu terbuka tapi kami malah teriak karena gak ada siapa-siapa di sana. Gue yang ada untungnya mempelajari sihir biru sebelum memulai perjalanan ini, merasakan adanya hawa seseorang tepat di depan kami.
"H-halo ... p-permisi...." kata gue.
"Di bawah!" kata Dea.
Kami serempak melihat ke bawah, dan tentu aja gue yang paling kencang teriaknya.
"T-tuyul!"
"Ini, sih bukan tuyul! Ini jenglot!" sahut Sulay.
"Spirit!?" ucap Dea.
"Manusia gak ada otak! Jelas-jelas saya ini ganteng memposona."
Gue berjongkok dan menatap sesosok makhluk yang lebih kecil daripada tuyul yang kemarin gue tangkap. Walaupun lebih kecil, dari mukanya jelas kalau sosok ini lebih tua. Mukanya kayak kakek-kakek pemarah tapi kocak. Lalu, sedikit lebih lama gue memperhatikan, gue langsung menyadari bahwa mungkin sosok inilah yang dimaksud sama Mbah Kusno!
"K-kakek ... b-batu!?"
Dea dan Sulay kaget, lalu tersenyum lega.
"Kakek teman Mbah Kusno, ya? Kami ke sini atas saran beliau," kata Dea.
Dia menatap kami bertiga bergantian.
"Yo ... Mbah Bondo ini the house, yo...."
Kami dipersilakan masuk ke dalam rumah kecilnya. Banyak peralatan tukang di atas meja serta alat-alat pembuat gerabah. Mbah Bondo yang berukuran kecil serta kulitnya yang mirip batu jadi penanda kalau dia bukan manusia.
"Ngopi?" tanya beliau.
Mendengar kopi, tentu aja gue langsung antusias.
"Kopi apa, Mbah!? Ayo, ayo, Mbah!"
"Nah ... gitu, dong ... biar enak ngobrolnya kita."
Mbah Bondo dengan sekejap menghilang dari pandangan mata. Sulay yang sejak pertama masuk ke dalam rumah sibuk dengan hpnya dengan wajah bingung. Sementara itu, Dea berulang kali menoleh ke luar seakan dia mengkhawatirkan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...