BAB 51: Sebuah Informasi

50 6 0
                                    

Titik-titik bintang mulai bermunculan membentang langit malam yang cerah. Keyla menunjukkan sisi baik hatinya pada kami berdua. Dia menyuguhkan kami secangkir kopi di tangan masing-masing. Rasa kopi ini ... benar-benar ajaib!

"Ini kopi apa, sih!? Enak banget!"

"Serius? Emang biasanya rasa kopi kayak gini, kan?"

Sepanjang hidup gue, kopi-kopi enak selalu datang dari rekomendasi Naya. Kemudian, ada kopi bikinan Mery yang juga sedap luar biasa. Tapi ini ... terasa beda!

"Serius! Ini beda banget. Gue harus ngelihat buahnya, proses penjemuran, roasting sampai metode penyeduhan beserta alat-alat yang lo pakai!"

Keyla menaikkan kedua alisnya, tertawa kecil sambil menghirup kopi di tangannya.

"Oke, oke. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf udah nyerang kamu sampai bikin pedang kamu patah segala, nanti aku kasih, deh,"

"Yeeeeeees! Indonesia! Yuhuuuuuu!"

Keyla dan Torgol ketawa melihat gue yang sangat bahagia hari ini.

"Tapi ... aku ada satu permintaan, sih. Tolong kasih tahu Rava kalau aku baik-baik aja, dan kita akan ketemu lagi kalau udah waktunya. Bilangin ke dia, ya."

Gue dan Keyla menghabiskan kopi bersamaan. Torgol yang sejak tadi gak kelihatan minum tiba-tiba ikutan naruh cangkir di lantai. Dan ternyata udah kosong! Kapan dia minumnya!?

"Oh, iya. Kemarin gue bisa lihat lewat teropong Rava kalau Torgol kayak kejepit di jendela gitu. Itu kenapa, ya?"

"Kamu tanya sendiri aja sama dia. Aku juga heran kenapa dia bisa masuk."

Gue dan Keyla menatap Torgol sampai dia mau cerita.

"Saya menggunakan wujud burung untuk terbang secepat mungkin mengitari rumah ini. Entah pada putaran keberapa saya melihat ada celah di pojok jendela. Saya masuk dengan wujud asap, lalu berjalan-jalan di dalam rumah. Tiba-tiba saya ditiup dan terurai beberapa saat,"

"Pantesan, aku pikir ada kabel kebakar jadi ada asap hitam di dalam rumah. Ternyata penyusup,"

"Nah, terus kenapa Bapak bisa keluar dan bisikin saya waktu itu?"

"Saya melebur, Mardo. Dan sedikit diri saya masih ada di luar waktu itu,"

"Oke, oke. Tapi kenapa kami cuma bisa ngelihat dia lewat teropong?"

"Aku rasa karena itu teropong bintang. Aku butuh 18 tahun buat mempelajari hal-hal rumit soal mereka, yang pasti gak akan bisa aku jelasin semuanya ke kamu saat ini."

Iya juga, sih. Waktu SMA aja gue butuh 3 tahun buat mempelajari pola hidup ikan cupang. Apalagi soal alien yang literaturnya kebanyakan soal mitos dan karangan doang. Kalau dipaksain, kepala gue bisa kebakar jadi arang.

"Gini ... emm, nanti waktu lo udah bisa keluar dari rumah ini, lo mau ngapain?"

"Ya ... aku mau hidup bebas. Aku mau hidup kayak cewek 19 tahun pada umumnya. Bikin video TikTok, foto baju-baju lucu di Instagram, cinta-cintaan sama cowok, terus ... ngelupain semuanya tentang rumah ini,"

"No, no, no....! Gini, ya ... Keyla ... mungkin di dunia ini lo satu-satunya manusia yang punya interaksi terlama, terjelas, dan tervalidasi sama alien. Gak bisa dilupain gitu aja, dong. Paling enggak lo harus ceritain pengalaman lo,"

"Do, mana ada orang yang percaya cerita alien dari cewek 19 tahun? Gak ada bukti foto apalagi video. Aku pasti cuma dikatain halu."

Gue melirik ke arah Torgol yang tampaknya juga menyadari sesuatu. Gue memberanikan diri menatap bola mata Keyla, lalu bertanya:

"Lo tahu dari mana soal TikTok dan kata 'halu' itu?"

Dia diam sebentar.

"Oke, tampaknya bapak wartawan satu ini cukup cerdas. Aku emang lepas dari dunia di luar rumah ini. Tapi aku bisa terima dan kirim pesan sama seseorang di luar sana,"

"Rava?"

Keyla menggeleng.

"Bukan. Tapi seseorang yang tahu siapa aku, kondisi aku, dan kayaknya salah satu dari mereka."

Buset! Gue dibikin pusing lagi! Kepala gue ini gak bisa memahami hal-hal rumit. Jangankan kepikiran metode kirim-kirim pesan sama seseorang yang Keyla maksud, gue aja masih gak tahu caranya ngikat tali di hidung sapi.

"Oke, oke ... tapi gue mau tanya satu hal lagi," kata gue sambil memegangi kepala.

"Boleh," sahut Keyla.

"Mereka itu punya kekuatan kayak gimana, sih?"

Keyla mengangkat dagunya, seakan mengingat sesuatu.

"Gaya bertarung mereka luar biasa. Walaupun juga bisa terluka dan berdarah, tapi tubuh mereka bisa pulih dengan cepat bahkan tanpa obat-obatan. Beberapa selalu membawa pistol dan beberapa lainnya membawa pedang."

Keyla mengambil gagang pedang gue.

"Pedang mereka unik. Gak berkilauan tapi tajam dan keras. Materialnya pasti dari sesuatu yang gak bisa didapat di sini. Dan pistol mereka, hanya berisi peluru angin. Mirip sama tiupan aku tadi,"

"Tunggu ... tunggu ... buat apa mereka ribet bawa pistol kalau mereka bisa ngandalin mulut?"

"Tentu beda, dong akurasi dan kecepatannya. Kalau tiupan mungkin cuma bisa nerbangin kamu kayak tadi, sedangkan kalau pakai pistol, dada kamu pasti udang bolong."

Setelah merapikan dua potongan pedang gue, kami bertiga berjalan menuju jendela depan. Udah tiba saatnya gue dan Torgol buat pamit. Di tangan kiri gue tergenggam sebuah kopi bubuk yang terbungkus kemasan unik berwarna kuning. Gue memasukkan sepucuk surat buat Rava ke saku celana gue setelah kami berjabat tangan.

"Kami pergi dulu, ya. Makasih kopinya,"

"Iya. Sampai jumpa lagi."

Gue dan Torgol menatap kaca jendela yang hitam pekat itu. Beberapa saat kemudian, gue mulai bisa ngelihat rumah Rava. Seluruh kacanya tiba-tiba pecah dan runtuh berantakan! Keyla tersenyum, dan kami segera keluar melompati jendela itu. Torgol, sih enak gak perlu lompat. Soalnya dia tinggi.

Ketika gue menoleh ke belakang, jendela itu kembali normal. Seakan gak pernah tergores sedikitpun. Rava dan Anto berlarian menghampiri kami. Dari matanya, gue bisa merasakan kalau Rava sangat marah dan kesal sama gue. Dan itu wajar.

Torgol kayaknya juga menyadari kalau Rava berniat memukul muka gue. Ketika dia udah semakin dekat, gue mengeluarkan surat dari saku celana gue. Tentu, dia tetap memukul muka gue dengan keras. Dan tentu, dia juga segera mengambil surat itu.

"Dea mana?" tanya gue.

Rava gak memperdulikan gue. Dia berjalan menjauh membawa surat itu.

"Kak Dea baru aja pergi. Dia kelihatan kesal banget dari tadi," sahut Anto.

Gue sedikit menengadah saat berpaling ke arah Torgol.

"Pak, mohon maaf ... bisa tolong cariin dia ada di mana? Kasih tahu lokasinya aja, gak usah ganggu dia."

"Baik, Mardo."

Torgol berubah menjadi burung kecil dan terbang sangat cepat. Gue dan Anto berjalan menyusul Rava yang udah jauh di depan. Tentu gue akan terima semua kekesalan dan kemarahan Dea nantinya. Karena seorang pemancing ikan gak pernah menyesali umpan yang telah dilontarkan. Itu.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang