Gue bermimpi, sedang saling berpandangan sama Dea. Senyum di bibirnya yang selalu gue lihat, gak gue temukan saat ini. Hanya ada titik-titik air mata yang mengalir pelan dari kelopak matanya. Lalu, ketika perlahan dirinya menjadi kepingan-kepingan kelopak mawar, di situlah terakhir kalinya gue melihat senyum itu.
Gue terbangun dalam keadaan gelap. Gue ketiduran sampai malam, dan semua lampu belum dinyalain. Jendela yang masih kebuka membawa angin dingin. Memaksa gue untuk segera berdiri dan menutupnya.
Gue membuka pintu kamar, memperhatikan dapur yang juga gelap. Terasa kecewa ketika melihat gak ada Dea yang suka ngomel-ngomel di sana. Selesai nyalain semua lampu, gue menatap ke dalam kamar mandi yang kosong. Sekarang, gue beneran berharap keran itu kebuka sendiri.
Gue terduduk di depan pintu, memandangi bulan dengan cahaya pucat. Mencoba bertanya padanya: apa gue salah? apa gue udah bikin sedih seorang cewek? Tentu aja dia cuma diam menatap gue. Seakan mengiyakan.
Sambil mengaduk kopi di lantai, gue teringat ucapan bapak-bapak yang sering mancing bareng gue. Dia bilang: bersikap sama cewek harus hati-hati. Salah-salah, semuanya bisa jadi masalah.
Deru hujan gerimis membelai bersama angin. Benar-benar malam yang sempurna untuk perenungan, sembari berbesar hati mengakui kalau diri ini terlalu banyak menyimpan kebodohan. Sekaligus, menyamarkan suara dari tangis yang terisak tanpa sengaja.
Setiap emosi yang mengalir malam ini, entah kenapa justru perasaan serta bayang-bayang yang bermunculan selalu aja tentang Naya. Gue merasa berjuta kali sering bikin dia kecewa. Walaupun berulang kali juga dia berusaha menerima semua hal bodoh yang gue pelihara. Mencoba menerima kembali gue apa adanya, namun gue yang bodoh ini masih aja menjadi orang yang sama.
7 tahun? enggak ... bahkan ditambah 3 tahun sebelumnya, gue-lah orang yang gak berubah. Gak berkembang, justru bertambah payah. Lalu dengan sintingnya gue malah bilang kalau hubungan ini adalah salahnya karena mau menerima gue yang banyak kurangnya.
Ternyata benar kata orang-orang. Ketika orangnya udah pergi, baru kita menyadari bahwa setiap hal kecilnya selalu berarti. Dan semua rindu itu, meluap menjadi kenangan malam ini. Sialan. Gue nangis.
Daripada gue jadi melankolis sepanjang malam, gue memutuskan buat hujan-hujanan menuju kantor ketika mereguk kopi terakhir. Gue mau ngambil pedang gue kembali, nyari info sebanyak mungkin soal Dea, terus mau minta maaf.
Setelah mengantongi kado buat Mery, gue ninggalin kado satu lagi buat Dea di atas meja makan. Siapa tahu dia pulang waktu gue lagi gak ada di rumah. Gerimis udah semakin tipis tapi tentu dinginnya malam masih bikin laju motor gue ragu-ragu. Mau ngebut takut masuk angin, mau pelan takut keanginan. Serba salah.
Kantor kelihatan sepi waktu gue datang. Mbak-mbak resepsionis tanpa alis diam aja waktu gue melewatinya. Gue langsung menuju ruang informasi. Seperti waktu pertama gue ke sini, pandangan gue kembali teralihkan sama ruangan kaca tempat Torgol berada.
Langkah gue terhenti, pandangan gue gak beralih waktu melihat Torgol berada dalam akuarium, dan gak bergerak! Banyak selang-selang menancap di akuarium itu dan terhubung dengan akuarium yang lainnya.
Dari ruang informasi yang gak jauh dari ruangan Torgol ini, seorang cewek keluar dari sana sambil terburu-buru. Gue segera berlari kecil menghampirinya.
"Mery!"
Mery kaget melihat gue.
"Mardo!? Kenapa lo di sini!?"
"Gue mau ngambil pedang gue. Lo sendiri ngapain?"
Mery membenarkan kacamatanya, lalu menarik lengan gue.
"M-mer? Kita mau k-ke mana?"
Mery diam aja sambil menarik lengan gue hingga kami tiba di kantin. Gue disuruh duduk dan Mery menuju barnya. Kayaknya lagi bikin kopi. Benar aja, secangkir kopi dia suguhkan pada gue yang lagi megangin kado buat dia.
"Apaan, tuh?" tanyanya.
Gue menyerahkannya.
"Buat lo."
Mery tersenyum dan duduk di depan gue.
"Boleh gue buka, nih?"
"Eh ... mending nanti aja. Lo belum jawab pertanyaan gue tadi."
Mery melirik kiri-kanan sebelum mendekatkan wajahnya.
"Gue nyari info soal Kak Kila,"
"Buat apa?"
Mery diam aja. Tapi dari tatapannya, gue yakin itu berarti dia gak bisa ngomong di sini sekarang.
"Sekarang gue buka, ya."
Mery membuka kado itu. Tangan kirinya menutupi mulut waktu mengangkat sebuah kacamata yang gue beli di pasar gaib waktu itu.
"Do ... lo baik banget, deh ... tahu aja lo gue suka kacamata kayak gini,"
"Syukur, deh kalau lo suka."
Mery mengganti kacamatanya dengan yang baru.
"Jernih banget! Gue berasa punya mati batin."
Gue ketawa aja sambil minum kopi.
"Bagus nggak, Do?"
"Bagus, kok. Walau gak sebagus cincin ini, sih."
Mery tersenyum lebar waktu melihat cincin pemberiannya yang udah gue pake.
"Eh, itu kalung baru, ya?" tanyanya.
"I-iya, bonus waktu beli kacamata itu."
Dari balik kacamata barunya, dia menatap tajam kalung gue.
"Lo ... yakin mau pakai kalung itu, Do?"
"I-iya, emang kenapa? Gak cocok ya sama muka gue?"
"Enggak ... cocok-cocok aja, sih. Bagus, kok."
Ketika beberapa orang mendatangi bar Mery buat beli kopi, dia ninggalin gue. Gue memperhatikan kakinya yang sebelumnya sempat luka oleh serangan Dea. Dari cara jalannya, sih kayaknya dia udah gak apa-apa. Tapi ... kenapa dia pengin nyari tahu soal Kak Kila yang udah nyembuhin dia, ya?
Cowok-cowok terus aja berdatangan buat pesan kopi. Padahal malam semakin larut. Apa Mery gak capek, ya? Apa dia gak ngantuk? Terus gue juga teringat kalau Sulay pernah bilang kalau bar Mery ini buka 24 jam!
Inilah yang selalu bapak-bapak teman mancing gue ingatkan sama gue. Soal bahaya menganggur. Iya. Coba aja gue dapat pedang gue kembali, terus gue sama Sulay lagi ada kerjaan, pasti pikiran-pikiran dan pertanyaan-pertanyaan kayak gini gak bakalan ada.
Iya juga, ya! Kenapa gue malah duduk di sini!? Gue, kan mau ke ruang informasi! Lagi-lagi, inilah bahaya kedua yang selalu diingatkan bapak-bapak itu. Soal bahaya berteman sama cewek berambut panjang kepang dua berwarna cokelat, berkacamata bulat dan bertahi lalat di dagu sebelah kiri. Bikin lupa waktu.
Kami bertukar senyum ketika gue meninggalkan kantin dan kembali menuju ruang informasi. Di depan pintunya, gue mengatur napas terlebih dahulu sebelum masuk. Biar gue gak salah-salah lagi. Cewek-cewek bermuka pucat dengan pakaian putih itu serempak menoleh ke arah gue. Semua pandangan mereka tertuju pada kalung yang gue pakai.
"Ada yang bisa kami bantu, Pak Mardo?" tanya seorang cewek dengan muka gak pucat.
"Ini ... anu ... saya mau tahu soal kenapa pedang saya disita,"
"Oh ... tunggu sebentar, ya, Pak."
Dia berjalan ke sebuah meja yang terdapat komputer menyala di atasnya. Karena dipandangi oleh cewek-cewek berbaju putih ini, waktu 5 menit menunggu aja terasa begitu lama sampai terdengar suara printer ngeluarin beberapa lembar kertas.
"Ini, Pak. Ada lagi yang bisa kami bantu?"
"Saya ... saya mau tahu soal Dea."
Semua lampu di ruangan berkedip seketika. Komputer yang tadi tiba-tiba mati. Dan, semua cewek bermuka pucat tadi menghilang entah ke mana. Cewek di depan gue sekarang tampak ketakutan karena alasan yang gak jelas. Dia kayak buru-buru mengemasi berkas dan gak jelas mau ngapain. Yaudah, gue pergi aja. Daripada gue disuruh benerin lampu.
Gue berniat membawa 4 lembar kertas yang masih belum gue baca ini ke kantin. Sayangnya, niat gue terpaksa dibatalin setelah melihat Torgol berdiri di depan ruangannya. Menghadang gue, dengan pedang terhunus. Apaan, nih!?
"Mardo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...