BAB 60: Sebuah Batu

51 7 0
                                    

Melamun sebentar ternyata gak ada ruginya. Gue ini, kan seorang pemancing berpengalaman!? Kenapa gak gue pancing aja tuyulnya? Siapa tahu bisa dipelihara dalam akuarium kayak ikan cupang. Gue segera membuka dompet, mencari-cari apakah ada umpan yang paling cocok.

Sepi. Di dalamnya cuma KTP sama kartu ATM dan beberapa plastik sedotan yang gue pungut kalau ketemu di jalan. Bukan karena gue suka nyimpan sampah, ya! Gue cuma lupa buang aja. Gitu.

Uang di dompet gue udah habis malam ini. Artinya gue gak punya umpan. Dan artinya lagi, gue gak bisa mancing. Dea juga gak tahu lagi ada di mana. Emang sebegitu penting, ya nyari tuyul ini? sambil malas-malasan, gue kembali berjalan-jalan buat nyari makhluk kecil itu.

"Do!"

Dea tiba-tiba muncul dari belakang gue!

"Ini dia, Do! Akhirnya ketemu juga."

Dea memegangi satu tangan tuyul itu dan menggantungnya. Tuyul itu tampak ketakutan dan berusaha melepaskan diri. Kalau diperhatiin lagi, tuyul ini emang bertubuh kecil, botak kayak anak-anak. Tapi ... beberapa keriput di bawah matanya menyadarkan gue kalau bisa aja dia ini udah tua! Badannya aja yang kecil.

"Kita apain, nih, Do?"

Gue berjongkok di depan tuyul itu.

"Jangan lagi, ya ngambil-ngambilin duit orang. Kalau enggak, kami berdua bisa aja bikin kamu jadi makanan ayam. Paham?"

Dia teriak-teriak sambil mengangguk.

"Udahlah, Dea. Lepasin aja. Kalau dia berulah lagi ... baru, deh kita cincang."

Dea menatap gue tajam, lalu menatap tuyul yang dijinjingnya itu.

"Oke, deh. Kalau itu mau kamu aku gak bisa protes lagi."

Dea melepaskan cengkaramnnya. Tuyul itu terduduk di tanah.

"Pergi, lo! Hanya karena lo mirip anak-anak bukan berarti gue gak bisa kasar sama lo, ya!"

Tuyul itu langsung berlari pergi. Gue meraih tangan Dea, menggandengnya sampai keluar area pemakaman. Karena gue tahu, mungkin cuma cara ini yang bisa bikin Dea berhenti marah-marah. Karena gue juga takut kalau dia ngamuk.

Di hari Minggu pagi ketika gue dan Dea beradu tinju di halaman rumah. Bukan berantem, cuma berupa saran dari Dea kalau gue juga harus melatih diri walau tanpa pedang. Cukup masuk akal. Harusnya, orang yang ngelatih gue bertinju adalah Sulay. Tapi sejak tadi malam WhatsApp gue gak dibalas.

"Gimana, Do? masih mau lanjut?"

Gue memegangi lutut, menatap tanah sambil mengatur napas.

"Udah, udah ... cukup dulu."

Dea mengelap keringat yang membasahi muka dan lehernya dengan handuk kecil berwarna putih. Walau keringatan begitu, gue masih gak paham kenapa Dea tetap wangi bunga mawar. Dan sampai sekarang gue masih gak tahu, sebenarnya apa hubungan bunga mawar sama Dea ini.

"Do, aku mandi dulu, ya. Ada roti di meja makan buat kamu."

Sambil makan roti, tentu akan asyik kalau ditemani kegiatan scrolling Instagram. Udah lama gue gak tahu info dunia luar. Udah lama gue gak tahu kabar Naya di Australia sana. Ketika gue membuka profilnya, tampaklah beberapa foto terbaru dari Naya. Ada foto dia bersama teman-teman bulenya, ada foto dia lagi di tempat wisata, dan ada foto dia lagi bersama seorang cowok bule yang tinggi dan tampan.

Gue menaruh roti dan hp bersebelahan di atas meja lalu berjalan menghadap cermin di dinding di samping pintu kamar gue. Terlihatlah sosok cowok kurus, pendek, berambut ikal dengan wajah gak glowing sedang menggaruk kepala. Gue emang gak ada menangnya kalau dibandingin cowok bule itu.

Inilah alasan kenapa gue sebenarnya gak suka membuka sosial media. Sadar gak sadar, membuat gue membanding-bandingin diri dengan apa yang gue lihat. Soal orang-orang yang udah sukses dan mapan di usia yang sama kayak gue, soal mereka yang udah nikah, soal mereka yang kelihatan bahagia terus, dan segalanya yang gue rasa gak gue miliki saat ini.

Dan itu gak baik buat jiwa gue. Tunggu ... tunggu ... mungkin dengan uang 119 juta rupiah yang gue miliki sekarang, gue bisa mulai berbahagia! Tapi gimana caranya? Apa gue harus jualan alat pancing biar jadi pengusaha? Atau gue harus menikah? Enggak ... enggak.

Menurut gue bisa makan teratur tanpa takut kehabisan uang aja udah bahagia banget. Dan mungkin untuk saat ini itu udah cukup asalkan gue gak buka-buka Instagaram lagi. Tepat waktu roti udah habis, pintu diketuk. Akhirnya Sulay datang juga buat bantu gue latihan tinju.

"Permisi ... Kak Mardo, ya?"

Hah!? Ternyata bukan Sulay! Terdapat anak cowok berkulit gelap dengan jenggot tipis berdiri di hadapan gue. Dia membawa tas ransel yang kelihatan berat di punggungnya.

"I-iya ... siapa, ya?"

Dia tersenyum lebar lalu menjulurkan tangan.

"Martamat Mualamat Peter Karomat Moramoratat."

Ini nama apaan lagi, sih!?

"O-oke ... ada perlu apa, ya?"

"Boleh masuk dulu?"

Gue mempersilakan dia masuk dan duduk di meja makan gue.

"Boleh minta minum?"

Gue menyuguhkan air putih untuknya.

"Ini ada apa, ya?"

Dia membuka ranselnya, mengeluarkan sebuah batu seukuran kepala orang.

"Begini, Kak ... gue sama teman gue dapat wasiat ngasih batu ini buat Kakak. Tapi tiba-tiba gebetan teman gue kecelakaan, makanya gue sendirian aja ke sini,"

"Dapat wasiat? Dari siapa? Dan kenapa lo tahu rumah gue?"

"Ceritanya panjang, Kak kalau gue ceritain sekarang. Intinya, ada cewek yang mau ngasih batu ini ke Kakak. Tapi dia ada urusan lain."

Hah!? Cewek!? Rasanya gue gak punya banyak teman cewek, deh. Tunggu ... ibu kantin termasuk gak, ya? Tiba-tiba, suara keran air di kamar mandi berhenti. Datanglah Dea dengan segala keharumannya itu.

"Eh, ada tamu. Siapa, Do?"

Orang pembawa batu di depan gue langsung berdiri dan menjulurkan tangan.

"Martamat Mualamat Peter Karomat Moramoratat."

Sambil tersenyum Dea menyalaminya.

"Dea. Dipanggil apa, ya nama sepanjang itu?"

"Sayang."

Dea langsung menoleh menatap gue, sama-sama kaget dengan ucapan cowok itu.

"O-oke ... teman Mardo, ya?"

"Bukan, bukan. Ini ... tadinya cuma mau nganterin batu ini. Tapi sekarang mau kenalan sama Kak Dea. Hehehe."

Dea duduk di sebelah gue dan memperhatikan batu itu.

"Ini batu apa?"

"Gak tahu juga. Mungkin hadiah dari cewek itu buat Kak Mardo."

Dea langsung menatap gue. Ngeri banget!

"Hadiah!? Dari cewek!?"

"Gini ... gini ... bentar dulu ... pertama aku gak tahu apa-apa, kedua, k-kedua kenapa kamu pake baju gak pake t-tangan gitu ... ketiga a-aku gak kenal dia siapa,"

"Beneran kamu gak tahu apa-apa!?"

"Iya beneran!"

Tiba-tiba, pintu terbuka kencang! Gawat, nih! Pasti Dea ngamuk!

"Berarti cuma gue yang tahu siapa bocah sialan ini!"

Sulay tiba-tiba ada di depan pintu! Tangannya mengepal kuat, asap hitam itu udah lama gak gue lihat. Kacau, nih!

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang