BAB 108: Perjalanan Sepasang Tanduk

21 5 0
                                    

“Awas, Do!”

Mery yang tadinya gue pikir gak ngelihat gue, malahan berteriak dari bawah sana. Lalu, separuh tubuh gue mulai dari kepala hingga kaki tiba-tiba mati rasa! Enggak tahu apa yang terjadi, gue udah terpental ke langit malam yang bertabur bintang.

Gue masih bisa membuka mata, mencari-cari apa yang telah menghantam gue barusan sembari melayang di udara. Saat itulah gue ngelihat monyet hijau raksasa yang sedang memutar-mutar jenggot panjangnya. Buset! Apa gue kena cambuk!?

Ketika gue mulai jatuh, barulah separuh tubuh kiri gue terasa sakit dan panas. Gue akan jatuh di atas mobil ambulans di parkiran sekitar beberapa meter lagi! Pandangan terdekat yang bisa gue jangkau hanyalah bak sampah di samping gerobak sate Levina. Gue menukar posisi dengan sihir hijau, yang membuat mobil ambulans Nirana terguyur sampah. Maaf.

Kali teriak kaget karena tiba-tiba aja gue rebahan di tanah sambil mengerang kesakitan. Rava dan Anto yang entah dari mana langsung membantu gue berdiri.

“Ini sebenarnya wahana apaan, sih!?” tanya Anto.

“Do!”

Mery berlari menembus kerumunan dan langsung memeluk gue yang cuma bisa duduk.

“Gue harus balik ke atap lagi Mer, biar dia gak ngamuk ke sini.”

Gue kemudian menatap Kali, Rava dan Anto.

“Tolong jagain Mery bentar, ya.”

Gue menggunakan pedang gue untuk bertumpu agar bisa bangkit berdiri. Mery gak berkata apapun, dia cuma menatap gue dengan cemas. Gue udah menandai kepingan genteng dan bersiap bertukar posisi, tapi tangan gue ditahan Mery.

“Lo gak harus melawan dia sendirian, Do!”

Terciumlah aroma bunga mawar beberapa saat sebelum terdengar suara teriakan wanita. Kami semua menoleh ke arah suara, terlihat Sulay yang sedang merapikan blazer hitamnya yang berdebu. Di sebelahnya baru aja terbaring seorang Heshita cewek dengan topeng yang penuh retakan.

Dengan susah payah, Heshita cewek itu bangkit berdiri lalu menengadah ke langit. Sulay berjalan menjauh, seakan dia ngelihat sesuatu di atas sana. Gue ikutan menengadah, dan ternyata gue ngelihat hujan berwarna merah. Sebuah hujan duri dari asap merah Dea!

Hujan duri itu menghantam Heshita cewek yang gak sempat menghindar hingga pakaian putihnya semakin compang-camping. Duri-duri yang menancap di tanah kemudian berubah menjadi cairan lengket seperti sebelumnya, sebuah jurus yang diberi nama “Ivy” oleh Dea.

Heshita cewek itu tampak sangat marah. Dia teriak-teriak lalu membentuk tanduk kambing dengan asap hitam di kepalanya. Apa dia juga mau berubah kayak kuda hijau di atap sana!? Gawat, nih!

“Lo kenapa, Do? Kayak gembel.”

Sulay berdiri di samping gue, masih merapikan blazer-nya.

“Gue mau ke atap, Do. Lo ikut nggak?”

“B-bentar, Pak. Gue mau lihat ini dulu.”

Sepasang tanduk kambing Heshita itu semakin memadat dan berdiri tegak ke langit, seakan bersiap akan sesuatu. Dua detik kemudian, tanduk itu telah dibentur dengan kepala Dea yang … juga bertanduk!

Ya! Dea tiba-tiba aja jatuh dengan cepat dan langsung menanduk kepala Heshita cewek itu. Entah apa yang terjadi, Dea memiliki sepasang tanduk merah berbentuk tangkai mawar berduri di kepalanya. Dan tanduk itu, menghancurkan tanduk kambing Heshita sekaligus topeng beserta kepalanya. Sadis!

Dia melebur menjadi asap putih sebelum semua bajunya robek karena hujan duri yang baru aja berhenti. Dea kemudian berpaling, menatap tanpa ekspresi ke arah kami semua. Karena ini di lapangan di dekat tempat parkir, semua orang bisa ngelihat apa yang terjadi. Dan hampir semuanya ketakutan ngelihat Dea.

Dea kemudian menatap gue. Gue tahu dia akan segera menghampiri, tapi sebuah suara dengung lagi-lagi mengacaukan pendengaran kami semua. Monyet hijau raksasa bertanduk kambing yang setengah badannya adalah kuda dan berjanggut panjang yang baru aja mencambuk gue yang bikin gue terpental ke langit dan bikin separuh badan gue mati rasa aduh sakit banget sialan itu … tampaknya mulai mau ngamuk lagi.

Dea melesat cepat ke atas sana dengan asap merahnya. Gue yang gak mau diam aja segera bertukar posisi dengan genteng yang udah sejak tadi gue tandai. Dan Sulay, berlari cepat lalu menghantam tanah dengan asap hitam, membuat dia bisa melompat tinggi lalu berdiri di samping gue.

Gue menoleh menatap Dea di samping kanan gue. Dia membalas tatapan gue sambil tersenyum seperti biasanya.

“Kasih tahu gue, Do, dia bisa apa aja?” tanya Sulay.

“Dia bisa mukul dengan keras, dia suka teriak-teriak yang bikin sakit telinga, terus baru aja dia mencambuk gue pakai jenggot.”

Monyet hijau raksasa itu kemudian berhenti teriak dan langsung menatap kami. Torgol ikutan melompat dari bawah sambil membawa tombak berambut, lalu berdiri di sebelah Sulay. Di samping Dea, Kak Kila yang cuma kepala doang itu sedang melayang-layang. Ngeri banget.

“Kapan kita serang dia, Mardo?” tanya Torgol.

“Sikat!”

Gue menebaskan gelombang kejut berasap hitam ke arah dagunya.

“Lempar!” teriak Torgol.

Para Mizi melompat tinggi dari belakang kami dan langsung melemparkan tombak mereka ke bagian kaki kudanya. Serangan gue tentu aja bisa ditangkis dengan mudah dengan tinjunya. Namun saat itulah, Sulay memukul genteng dan muncullah sebuah tinju dari asap hitam yang memukul kepalan tangan monyet itu. Dua tangan yang sama besarnya, saling berbenturan.

Dea menciptakan cairan lengket yang membuat monyet hijau raksasa itu kehilangan keseimbangan. Tinju asap hitam Sulay berhasil bikin dia oleng dan jatuh! Dia terjerat dan gak bisa bergerak banyak.

“Ayo kita selesaikan ini, Mardo!” ucap Torgol.

Torgol kemudian menaiki tombaknya dan melesat cepat ke arah tanduk monyet hijau itu. Dengan kecepatan dan kekuatannya, Torgol memotong separuh tanduk sebelah kiri! Gokil!

Dia teriak kesakitan, diiringi suara dengungan yang semakin parah. Kak Kila segera melesat dalam bentuk bola rambut dan menyumpal mulut monyet hijau raksasa itu. Sinting!

Karena ngelihat dia yang terduduk gak berdaya, para Mizi segera berlari ke sana. Asap biru gue muncul dan gue merasakan adanya bahaya. Gue menukar posisi dengan salah satu Mizi yang mau menombak kaki kuda raksasa itu. Asap biru gue benar, ternyata kakinya bisa melepaskan diri dari serangan Dea dan langsung menghantam siapa aja yang mendekat.

Sepatu kuda dan pedang gue berbenturan walaupun tetap aja gue terpental karena tendangannya gila banget. Kali ini, tubuh bagian kanan gue yang terasa sakit.

“Do!”

Dea melesat menangkap gue yang sekali lagi terlempar menjauhi atap rumah hantu.

“Dea, aku udah tahu cara ngalahin dia!”

“Iya, iya. Tapi sekarang kamu harus pulih dulu! Kamu diam di sini!”

Dea membawa gue ke samping Sulay kemudian dia melebur jadi asap merah dan masuk ke dalam tubuh gue yang mulai terasa sakit semuanya.

“Pak! Gue rasa dia itu dua orang!”

“Gue akan serang bagian monyetnya. Lo urus bagian kudanya. Ayo, Do!”

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang