BAB 48: Sebuah Persiapan

47 7 0
                                    

Kedua bapak-bapak itu sedang duduk di warung Pak Timan. Pak Nang yang lagi ngemil kacang rebus melambaikan tangan ketika ngelihat gue menghampiri.

"Kacang, Do. Masih anget,"

"Iya, makasih, Pak. Nih, saya bawain kopi bikinan teman saya."

Dua botol kopi pemberian Mery gue bagikan ke mereka."

"Waduh, terima kasih banyak, Do," sahut Pak Nang.

Tiba-tiba, Pak Timan kembali menunjukkan hpnya pada gue dengan wajah bersemangat.

"Do! kamu rame lagi, lho di TikTok!"

Gue udah ngelihat video itu dari hp Mery. Video gue menghilang di lampu merah.

"Bukan saya itu, Pak ... salah orang kali."

Setelah ngobrol dikit, gue pamit pulang. Gue mau lihat keadaan Dea di rumah. Kalau dia udah mendingan, gue berencana segera berangkat ke rumah Keyla. Tapi kalau dia masih lemas, maka gue putuskan buat gak jadi pergi.

Di meja makan, Dea sedang duduk bersama Kikuem. Untungnya gue gak begitu kaget lagi ngelihat dia. Di hadapannya, terdapat mangkuk besar berwarna keemasan yang penuh dengan bunga mawar merah.

"Gimana, Dea? Udah mendingan?"

"Iya, Do. Untung aja Kikuem datang bawain aku bunga-bunga ini,"

"Kamu ... makan bunga, ya?"

Dea menggelang sambil tersenyum.

"Ya enggak, Mardo ... aku suka aromanya. Itu bikin aku tenang."

Kikuem lalu berdiri dari kursi.

"Kalau begitu, saya izin pamit pergi dulu, Ratu,"

"Iya, makasih, ya."

Kikuem menghilang bersamaan dengan angin berembus. Gue tahu Dea mungkin sedang kurang sehat, tapi gue juga harus ngomongin soal apa yang tadi Mery katakan.

"Dea. Apa pandangan kamu soal kantor aku?"

"Kadang baik, kadang enggak. Apa ... ini udah saatnya, ya buat kita ngomongin semuanya, Do?"

Gue mengangguk.

"Awalnya, pria itu cuma tukang sate yang hobi berantem. Sampai di usia 30 tahun, seorang pria berbadan kecil datang ke tempat jualannya, memesan banyak sate tapi gak mau bayar,"

"Maksud kamu, itu cerita Pak Tsat sama Si Bos!?"

"Iya. Ketika mereka masih muda, dan belum bikin onar."

Gue menggeser kursi mendekati Dea.

"Aku mau tahu ceritanya."

Dea tersenyum lalu mengangguk.

"Mereka kemudian berantem habis-habisan. Dan uniknya, bukannya menjadi musuh, mereka malah menikmati setiap pertarungan mereka. Di tahun berikutnya, Marpotak yang kamu kenal dengan sebutan Si Bos itu, menemukan sebuah buku sihir hitam,"

"Marpotak!? Nama Si Bos sebenarnya sekocak itu!? Hahaha!"

"Dengan keterampilannya, dia bisa menggunakan sihir hitam dengan sempurna. Sementara itu, Tsatmoko lebih giat melatih keterampilan bertarungnya. Cuma butuh beberapa tahun mereka berdua mulai mencari masalah dengan makhluk gaib. Mereka menjarah pusaka, mengumpulkan semua buku-buku sihir, bahkan Tsatmoko membantai mereka."

Apakah ... buku warna-warni di kamar gue sekarang itu yang dimaksud Dea!?

"Dengan banyaknya penaklukan itu, Marpotak mulai mencari tempat untuk markas mereka. Dengan uang Tsatmoko yang didapat setelah menjual semua aset usaha satenya, Marpotak membeli bangunan yang kamu kenal sekarang."

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang