BAB 72: Cerita Sungai itu

56 6 0
                                    

Mbah Bondo dan Dea berdiri hadap-hadapan sesuai panjang dinding yang pengin dia bikin. Gue yang lagi memikul karung pasir di rumah Mbah Bondo ngelihat semacam riak air di antara mereka. Bukan, bukan ada air yang tiba-tiba muncul. Tapi semacam ada yang bergelombang di udara.

Waktu gue sama Sulay meletakkan karung-karung itu, tubuh Mbah Bondo mengeluarkan asap jingga! Baru kali ini gue ngelihat asap kayak gitu. Asap itu melayang menuju karung dan secara ajaib mengangkat semen dan pasir setinggi Sulay. Asap jingga itu seakan mencampur dua bubuk itu dengan cara yang aneh!

Gue pikir Mbah Bondo akan membuat batu bata atau semacamnya, ternyata ... Mbah Bondo membuat sesosok makhluk kera dari semen! Ngeri banget anjir! Belum selesai rasa takut gue, sosok itu ternyata bisa bergerak! Gue otomatis lari ke belakang Sulay, dong!

"Jangan takut. Itu, kan cuma semen bergerak," kata Mbah Bondo dengan santai.

"C-cuma semen bergerak!?"

Mbah Bondo kemudian mengisyaratkan Dea untuk berhenti menahan gelombang portal ketika kera semen itu mulai membuat dinding. Dia jauh lebih cepat dari tukang-tukang yang pernah gue lihat. Kalau gini, jangankan bikin dinding. Bikin benteng juga pasti bisa! Kami bertiga cuma ngelihatin dia kerja sambil terkagum-kagum.

"Dea. Kamu tahu sihir itu nggak?"

"Aku juga baru ini ngelihatnya, Do. Kenapa? Kamu mau belajar, ya?"

"Emm ... kayaknya seru, deh kalau bisa dipake buat bikin tahu krispi yang nyemplung sendiri ke dalam minyak goreng. Iya, kan?"

Dea ketawa. Sulay geleng-geleng kepala.

"Sebentar lagi teriknya matahari akan buat dia hancur sendiri. Saya juga kurang suka berjemur. Hari ini, cukup sampai di sini. Saya mau balik ngopi di rumah."

Mbah Bondo kembali ke rumahnya. Gue memperhatikan langit yang emang udah gak mendung berkabut lagi. Gerimisnya juga udah mereda. Dan beberapa menit kemudian, benar aja. Kera semen itu tiba-tiba kaku sesaat sebelum dia hancur kembali jadi bubuk.

"Padahal tinggal beberapa meter lagi selesai, tuh dinding. Lo, sih kelamaan ngopi di rumah," kata Sulay.

"Ya, maaf, Pak. Mana gue tahu bakal kayak begini. Terus gimana? Nunggu malam?"

Sulay berjalan ke arah dinding yang separuh selesai itu.

"Gimana kalau kita pindah alam dulu? Gue mau cari tahu sekarang tahun berapa,"

"Ide bagus, tuh! Gimana, Dea?"

Dari wajahnya, Dea kayaknya kurang yakin sama pendapat Sulay.

"Gini, gini ... Nirana bilang, kalau kita ngerubah apapun di masa lalu, artinya kita juga ngerubah hal itu di masa depan. Nah ... kita, kan cuma mau ketemu Mbah Bondo buat minta tolong. Apa gak berbahaya kalau kita diluar rencana?"

"Emangnya gitu cara kerjanya? Kalau gitu ... banyak yang mau gue rubah! Ayo, Do! Di sini gak seru."

Kalau emang gitu ... apa itu artinya ... gue bisa ... mengubah hubungan gue sama Naya? Apa yang terjadi kalau gue sama Naya gak putus? Tunggu. Kalau gue sama Naya gak putus, maka gue gak akan galau. Dan kalau gue gak galau, gue gak akan mancing menyendiri waktu gue ngelihat iklan kantor di dinding WC umum. Dan kalau gue gak melamar kerja, gue gak akan pergi ke kuburan malam hari. Itu berarti....

"Benar, Pak. Dea benar. Kita cuma mau ketemu Mbah Bondo. Itu doang,"

"Gak asik, lo. Yaudah, gue pergi sendirian aja."

Dea tiba-tiba mengeluarkan asap merahnya saat menatap Sulay.

"Iya, iya. Gue gak akan ganggu apapun soal kalian,"

"Eh, t-tunggu, Pak! Emang lo mau ngerubah apaan, sih?"

"Gue pernah kalah judi bola. Dah, gue pergi dulu."

Sulay kayaknya gak pernah dengerin lagu Rhoma Irama. Sulay menghilang sedetik waktu dia menyentuh dinding itu. Yaudahlah. Kayaknya Sulay juga gak bego-bego amat kalau sendirian.

"Sekarang kita ngapain, Do?"

"Apa lagi? Kamu dengar sendiri, kan kalau ada sungai di dekat sini?"

"Kamu mau mancing?"

"Enggak,"

"Terus? Mau mandi?"

"Ya enggak, lah, Dea. Aku mau ketemu sama manusia yang dibilang Mbah Bondo tadi,"

"Oh ... itu. Kirain kamu mau ... mandiin aku. Hihi,"

"Hah!? Mandiin kamu di sungai!? K-kamu, kan bukan singkong!"

Berbeloklah langkah kami mengitari rumah kecil Mbah Bondo menuju suara desiran arus sungai. Gue mau tahu, manusia dengan kekuatan apa yang mampu bikin sesosok spirit semacam Mbah Bondo sampai mau menuruti perintahnya membuat dinding.

Di antara kerikil dan air sungai yang menjilat, berdiri seseorang dengan pakaian hitam. Kepalanya tertutupi jubah, menyembunyikan rambut kemerahan yang bisa gue lihat dari jarak beberapa meter ini. Dea menahan lengan gue, mengajak gue memperlambat langkah ketika kami melihat tubuhnya mengeluarkan asap biru!

"Sihir biru, Do! Dia pasti bukan orang sembarangan. Hati-hati,"

"Iya. Artinya dia tahu kita datang, kan?"

Apa dia orangnya!? Kalau dia orang, itu artinya dia manusia kayak gue yang sedang santai di alam gaib. Dan orang-orang yang bisa santai walau di alam yang penuh ancaman, udah pasti bukan orang lemah. Gue melangkah ke sebelahnya, mencoba nyari tahu apa yang sedang dia pandang di sungai itu.

"Tenang. Konsisten. Disiplin. Dan dibutuhkan semua orang."

Gue menoleh, tentu aja gak ngerti dia ngomong apa.

"Sungai."

Dia menatap gue dengan senyuman.

"M-mardo."

Aneh banget, ada orang namanya Sungai!? Masih dengan senyuman, dia menoleh menatap Dea di belakang gue. Gak lama, dia kembali menatap arus sungai yang gak terlalu deras itu.

"Sudah banyak orang yang putus asa karena tidak bisa kembali ke alam manusia dan akhirnya memutuskan untuk masuk ke arus sungai ini. Kalian juga mau?"

"Hah!? E-enggak ... k-kami tahu c-caranya kembali, kok."

Dia menatap gue sekali lagi.

"Kalian karyawan Alip Topak, ya?"

Gue dan Dea berpandangan sebentar. Bingung.

"Alip Topak? S-siapa, ya?"

"Jadi, kenapa kalian bisa sampai di sini?"

"Kami mau ketemu Mbah Bondo."

Senyum itu seketika memudar dari bibirnya. Sambil terus menatap mata gue, dia melepaskan tudung kepalanya. Gue seketika merasa pernah melihat orang ini! Rambut merah, wajah putih pucat, dan senyuman itu. Gambar di dinding!?

Gue melangkah mundur dengan perasaan takut. Untung aja Dea menahan gue. Kalau enggak, bisa-bisa gue masuk ke arus sungai! Matanya yang masih menatap tajam membuat gue merinding. Tanpa gue sadari, asap biru menjalar keluar dari tubuh gue. Semakin banyak, dan semakin gue merasa takut!

Tatapan matanya baru teralihkan ketika Dea mengeluarkan asap merahnya. Sama kayak di pasar malam itu, banyaknya asap merah yang menyelimuti tubuhnya, membuat rambut poninya seakan tertiup angin dari bawah.

"Kalian pasti bukan orang sembarangan kalau sampai punya keperluan dengan Mbah Bondo. Saya bukan orang jahat kalau kalian mau berkata jujur."

Dea berbisik di telinga gue, mengatakan kalau gue gak boleh takut.

"T-tapi gimana caranya!? A-aku takut b-badut!"

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang