BAB 124: Mengantar Dua Rumah

20 5 1
                                    

Sarang laba-laba yang bergelantungan menyambut kepala Dea yang baru membuka pintu. Debu-debu beterbangan ketika gue membantu menepuk kepalanya. Gak kayak rumah yang akan gue tempati, rumah ini jauh lebih besar dengan segala furniturnya. Kalau udah bersih, gue yakin Dea akan betah tinggal di sini.

“Jadi, di hari pertama ini kita cuma bisa bersih-bersih, ya, Pak?”

Sulay membuka jendela sambil batuk-batuk.

“Emang lo mau tinggal bareng debu? Buruan ambil sapu, sana!”

Dan sampai malam tiba, ketika gue menyalakan lampu, barulah kami sadar bahwa debu di rumah ini sudah pada minggat semua. Ini semua tentu aja berkat kemampuan gue menggunakan sapu dengan berbagai teknik.

“Capek banget, Do. Gak ada cara lain, ya?” ucap Dea yang tersandar di kursi goyang.

“Ya namanya juga bersih-bersih rumah, Dea. Ada, sih cara lain, tapi ribet,”

“Gimana caranya, Do?”

“Jual rumahnya.”

Dea seketika ketawa sambil menggoyangkan kursinya lebih cepat. Sulay kembali mengangkat sapu dan berjalan ke depan pintu.

“Mau ngapain lagi, Pak?”

“Pinjam sapu. Gue mau beresin rumah yang di sana,”

“Wah gila lo, Pak. Udah malam begini. Lo gak capek, ya?”

“Justru karena gue capek gue harus bersihin rumah itu biar gue bisa istirahat. Buruan, Do!”

Gue menoleh ke arah Dea yang berayun di kursi goyang.

“Aku ke sana dulu, ya. Ingat! Kunci pintu kalau mau tidur, dan … pakai baju. Oke, Dea?”

“Oke, Do. Sampai ketemu besok pagi~”

Sulay benar-benar sinting. Bahkan sampai ketika suara jangkrik lebih kedengaran daripada suara orang, dia masih aja maksa gue buat bersih-bersih kaca jendela.

“Kita, kan cuma mau tidur, Pak … ngapain sampai bersihin jendela segala?”

Sulay masih sibuk mencabut rumput liar di halaman. Walaupun tangannya bekerja, pandangan matanya seakan kosong mikirin hal lain.”

“Itu lo ngapain lagi nyabut rumput? Lo mau tidur di tanah, Pak?”

Tiba-tiba dia memperlambat gerakan tangannya, bertepatan dengan asap biru yang keluar dari kedua pundak gue. Ada seseorang yang datang mendekat dari sebelah kiri rumah. Sulay menatap gue sebentar seakan ngasih tahu kedatangan orang itu.

“Waduuuuh … rajin sekali anak-anak muda ini. Kalian gak capek, ya?”

Pak Kepala Desa berjalan menghampiri kami dengan senyum lebar. Peci hitamnya yang sedikit miring tidak mengalihkan perhatian gue pada seseorang yang berjalan di sebelahnya.

“Iya, Pak. Ini sudah mau selesai, kok. Dilanjutin besok pagi aja,” sahut Sulay yang segera berdiri.

“Iya, iya … istirahat saja dulu. Saya permisi masuk, ya … ada yang mau saya ambil,”

“Silakan, Pak,” jawab Sulay.

Pak Kepala Desa berhenti sejenak untuk tersenyum kepada gue yang sedang mengelap kaca.

“Permisi, ya, Mas~”

“Silakan, Pak … silakan.”

Sementara Pak Kepala Desa ada di dalam rumah, seseorang yang tadi bersamanya hanya berdiri di dekat Sulay. Dia tampak memperhatikan sekeliling rumah.

“Gak ikut masuk, Mbah?” tanya Sulay.

“Oh, enggak, enggak … di sini saja.”

Seseorang yang dipanggil ‘Mbah’ oleh Sulay itu adalah seorang kakek-kakek yang sebelumnya berselisihan dengan kami di kantor kepala desa. Gue yang sedang berusaha membasmi kerak noda di kaca jadi gak punya kesempatan buat ngobrol sama dia.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang