BAB 62: Cerita Buku itu

59 9 0
                                    

Setelah pulang dari rumah Rava, dengan rencana pengin mengubah batu meteor menjadi pedang, maka gue dan Dea sekarang kembali berada di rumah gue. Dea emang bilang kalau dia mungkin kenal seseorang yang punya informasi soal pandai besi. Tapi, dia juga bilang kalau mungkin itu akan jadi pencarian yang berisiko.

"Kamu ingat Mbah Kusno, kan, Do? Nah, beliau pasti punya kenalan pedagang pedang, kan? Beliau itu, kan makelar macam-macam barang antik. Jadi, menurut aku mending kita ke tempat beliau dulu,"

"Aku setuju aja, sih. Tapi kamu juga gak lupa, kan soal orang-orang bertopeng yang nyerang kita di sana? Sekarang aku lagi gak punya pedang. Pasti repot banget kalau berurusan sama mereka lagi,"

"Itu dia, Do yang aku khawatirin juga."

Menjelang malam, kami berdua masih gak nemu solusi dari permasalahan ini. Lalu, lagu Indonesia Raya tiba-tiba berbunyi dari hp gue.

"Siapa, Do?"

Gue menatap Dea. Agak ragu mau nunjukin layar hp.

"Mery,"

"Oh, Mery. Kenapa gak diangkat?"

Gue masih ragu-ragu waktu menjawab telpon.

"Ada apa, Mer?"

"Lo gak ke kantor, ya?"

"Iya, tadi habis dari rumah teman. Ada yang diurus,"

"Oh, gitu. Udah makan belum?"

Gue menatap Dea yang duduk diam di depan gue.

"M-makan? U-udah, udah, kok."

Dea berdiri dan membuka kulkas, mengambil beberapa roti tawar dan botol selai sambil terus menatap gue. Serem!

"Emangnya lo sekarang masih sibuk, ya? Gak bisa ke sini?"

"K-ke sana?"

Dea mengolesi roti dengan selai stroberi dari pisau kecil. Tatapannya itu bikin gue mules.

"K-kayaknya gak bisa, deh, Mer. Sorry, ya,"

"Yaudah, deh. Matiin telponnya,"

"Hah? 'kan lo bisa matiin sendiri? Kenapa harus gue?"

"Ya ... yang nelpon lo, kan gue. Berarti tugas lo, dong yang matiinnya."

Dea mengambil hp gue dan menyudahi panggilan WhatsApp Mery tanpa bicara apa-apa. Lalu, dia ketawa sendiri.

"Mardo, Mardo. Seru tahu nggak lihat ekspresi kamu kayak gitu,"

"Seru apaan. Kamu bikin aku takut, tahu!"

"Takut kenapa? 'kan kamu pernah bilang kalau aku udah gak ada seram-seramnya lagi?"

"Ya gitulah. Sini rotinya, aku lapar,"

"Enak aja! Bikin sendiri sana! Lagian kamu, kan sukanya selai nanas, bukan stroberi,"

"Eh, Dea. Kamu, kan sukanya makan mie, bukan roti. Dasar."

Dea udah kayak manusia pada umumnya. Dan gue bahkan juga hampir menganggap gak penting soal siapa Dea sebenarnya. Kami semakin dekat. Gak tahu ini hal baik atau sebaliknya. Yang pasti, Dea punya aura yang nyaman untuk berbagi banyak hal di hidup gue yang sekarang.

"Yaudah gini aja, deh. Gimana kalau kita ngajak Sulay ke tempat Mbah Kusno?"

"Gak mau! Dia itu nyebelin, Do,"

"Tapi dia bisa bantu kita, kan? Lagian dia juga satu tim sama aku. Dan urusan pencarian pedang aku yang baru juga otomatis jadi kewajiban dia."

5 menit berdebat soal Sulay, akhirnya Dea setuju walau cemberut belum hilang dari bibir merahnya. Gue udah menelpon Sulay, dan sepertinya dia juga gak ada masalah kalaupun perjalanan ini bisa aja berbahaya.

"Gini, deh, Do. Aku punya saran. Selagi kamu gak punya pedang, gimana kalau kamu mulai pelajari warna sihir lainnya?"

"Yang kemarin aja aku masih gak ada apa-apanya sama Kikuem. Nanti aja, lah,"

"Do ... gak ada salahnya, kan mulai belajar? Lagian itu semua pasti berguna, kok. Kamu tahu kenapa tadi kamu gak bisa ngejar tuyul di kuburan?"

"Ya ... dia, kan cepat banget larinya. Cebol, lagi. Botak juga,"

"Bukan, Do. Kamu gak bisa nyari dia karena insting kamu kurang tajam. Kamu, tuh susah fokus. Penglihatan kamu juga jelek kalau di tempat gelap,"

"Ya ... iya, sih ... yaudah, deh. Jadi buku yang mana lagi, nih yang mesti aku baca?"

"Nah! Gitu, dong. Aku, kan jadi tambah sayang kalau kamu pintar,"

"Hah!? A-apa!? K-kamu bilang a-apa!?"

Dea cuma senyum-senyum lalu masuk ke kamar gue. Setelah memakan satu roti tawar, gue mengikuti langkah Dea. Benar juga, sih. Udah saatnya gue bertumbuh. Kalau dipikir lagi, seandainya gue belum mengenal sihir hijau, mungkin gue udah mati di tangan Keyla.

"Kalau kamu berhasil menguasai sihir biru dari buku ini, nanti kamu aku masakin nasi goreng paling enak. Oke, Mardo?"

"Curang. Bawa-bawa nasi goreng. Yaudah sini mana bukunya?"

Dea meletakkan buku bersampul biru di lantai, di antara duduknya gue dan Dea. Prosesnya sama kayak waktu gue mempelajari buku hijau, di mana Dea akan mematikan lampu kamar dan menyalakan sebuah lilin. Lalu, gue mulai membuka buku itu dan membacanya perlahan.

Seperti buku hijau kemarin, gue juga disuguhkan sebuah cerita dari seseorang entah siapa yang mempunyai hasrat kuat untuk balas dendam dan menjatuhkan musuhnya. Gue pikir dengan sampulnya yang berwarna biru cerah gue akan menemukan bacaan yang menenangkan. Sebaliknya, gue malah diajak untuk mencari-cari cara agar bisa menang dengan cara apapun.

Gue gak menemukan kata-kata aneh ataupun tiba-tiba mencium aroma misterius selain aroma mawar Dea sekarang ini. Tapi ... secara ajaib gue bisa merasakan banyak hal di sekitar ruang kamar gue! Gerakan perlahan api lilin yang sesekali karena embusan napas Dea bisa gue rasakan dengan aneh.

Suara ketukan-ketukan kecil dari pergerakan cicak di atas terdengar pelan namun nyata! Aneh banget! Baru kali ini gue merasa jauh lebih peka dengan keadaan sekitar! Dan ... bukan kali pertama ketika gue seakan bisa membaca gerakan seseorang. Kali ini, gue bisa membaca gerakan tangan Dea yang hendak menyisir rambut poninya.

Buku bersampul biru di tangan gue terbakar ketika gue menyelesaikan semua halamannya yang berjumlah 36. Asap biru dari api itu memaksa masuk lewat hidung gue sama seperti asap hijau kemarin. Dengan sigap Dea menyelimuti gue dengan asap merahnya ketika menyadari gue yang sesak napas.

"Do! Do! kamu gak apa-apa, kan!?"

Gue mengusap keringat di dahi dan menatap Dea.

"Nasi goreng."

Dea tersenyum puas, lalu tiba-tiba memeluk gue. Terasa ... hangat. Dea berdiri dan hendak menyalakan lampu. Gue menahan lengannya, dan menariknya agar kembali duduk.

"Kenapa, Do?"

"Nasi goreng+ikan bakar kalau aku bisa selesaikan satu buku lagi. Gimana?"

"Terlalu berbahaya, Do kalau kamu menyerap lebih dari satu warna sekaligus. Besok aja, ya,"

"Dea ... aku udah tahu caranya. Dan aku gak selemah itu."

Dea kembali duduk di depan gue. Gue bisa meraskan kegelisahannya.

"Oke. Kamu mau sihir yang mana lagi?"

Gue menoleh kiri-kanan.

"Aku bisa ngerasain banyak hal tapi gak bisa ngelihat. Aku mau penglihatan aku meningkat."

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang