BAB 127: Mengantar Tanaman Kembar

17 5 0
                                    

Asap merah yang menyelimutinya telah tiada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Asap merah yang menyelimutinya telah tiada. Yang ada hanyalah sebuah pertanyaan tiba-tiba. Gue meleburkan Roksi lalu membenarkan posisi jaket Dea yang sempat miring.

“Kalau kamu jadi ikan, ya? Emm … mungkin hiu martil, deh,”

“Hiu martil? Gimana rasanya?”

“I-ini bukan soal rasanya, Dea. Tadi, kan kamu yang minta peribaratan … nah, menurut aku kamu itu kayak hiu martil,”

“Kenapa?”

“Y-ya … ya artinya aku bahkan gak pernah terpikir buat ketemu ikan kayak gitu. Aku, kan biasanya mancing di sungai, hiu martil adanya di laut.”

Dan akhirnya gue kembali ngelihat Dea tersenyum. Semoga aja dia gak nyari tahu bentuk hiu martil kayak gimana.

“Oke, deh. Kita bantu beresin ini dulu, habis itu kita pulang aja, ya, Do,”

“Tapi, kan aku belum sempat ngopi, Dea. Gimana, dong?”

Gue mendirikan meja ke posisinya semula sementara Dea dan Husna mengangkat gelas yang untungnya gak pecah. Daya tahan perabotan milik H. Darwi ini emang gokil. Ketika kami mendekat, mata H. Darwi tampak berbinar. Dengan senyuman lebar dia menyalami Dea.

“Dek! Dek! Terima kasih banyak, Dek! Terima kasih sudah mengusir hantu itu dari sini! Saya sudah capek digangguin terus! Terima kasih, Dek!”

“Digangguin gimana Pak?” tanya Dea.

“Ya seperti tadi, Dek! Ganggu pelanggan, nakutin saya, bahkan kadang numpahin biji kopi juga!”

Mbah Ladi menyalakan korek untuk membakar rokok di mulutnya. Dia tersenyum dan menepuk-nepuk bahu gue

“Ya … namanya juga di desa yang pernah ada kasus bunuh dirinya, Mas. Wajar kalau ada hantu, kan?”

“Kasus bunuh diri?”

“Lho? Dek Husna belum cerita apa-apa, ya?” sahut Mbah Ladi sebelum mengisap rokoknya.

Husna hanya diam lalu melangkah pergi duluan.

“Pak Haji, kopinya bisa dibungkus nggak?”

Dea dan Husna udah menghilang dari pandangan ketika gue masih duduk di sebelah Mbah Ladi seraya menunggu kopi dan jus mangga yang dibuat ulang.

“Mas, kita saling jujur saja, ya. Mas ini paranormal, kan?”

Asap rokok Mbah Ladi yang melayang di antara kami ditepis oleh asap merah yang keluar dari telapak tangan kanan gue.

“Saya cuma karyawan biasa, Mbah. Ya emang kebetulan saya bisa ngelihat hantu aja,”

“Kalau sekadar melihat hantu namanya indigo, Mas. Tapi kalau sudah bisa memegang pusaka ya bukan karyawan biasa namanya,”

“P-pusaka? Pusaka apa, Mbah?”

Suara blender H. Darwi yang berisik itu menahan Mbah Ladi untuk bicara. Memberikan gue kesempatan untuk memverifikasi apakah Mbah Ladi seperti yang dikatakan Dea di dalam kepala gue ketika kekacauan terjadi sebelumnya.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang