BAB 104: Perjalanan Sebuah Tim

122 12 4
                                    

"Jangan bertindak sembarangan. Kita ke sini hanya untuk menangkap Mardo. Paham?"

"Paham, Komandan!

Heshita dengan motif topeng bermata satu, dengan pedang dagger di masing-masing pinggang kiri dan kanannya, muncul paling terakhir sambil menunggangi kuda berwana hijau! Baru kali ini gue ngelihat kuda berwarna mirip kodok rawa! Heshita yang pertama muncul, yang membawa tombak panjang mulai berjalan-jalan menghampiri aktor-aktor yang masih pingsan.

Anehnya, sampai detik ini gak ada yang ngelihat ke arah kami berdua. Kami berdua emang gak gerak atau ngomong apa-apa juga, sih. Tapi masa mereka gak ngelihat kami? Dea cuma mendekap gue dengan erat dengan tampang waspada.

"Ah! Di sana!" kata seorang Heshita yang langsung turun dari kudanya.

Dia berjalan cepat ke arah kami! Dea mengepalkan tangannya, seakan udah siap baku hantam lagi. Bukannya menyerang atau menangkap, dia malah menuju ke sisi lain. Ternyata, dia menghampiri Pak Guru yang berlumuran darah!

"Komandan! Ada manusia yang sekarat!" katanya.

Komandan mereka diam memperhatikan Pak Guru.

"Seberapa parah?" tanyanya.

"Sangat parah, Komandan."

Komandan Heshita itupun memalingkan wajah.

"Bantu dia," katanya dengan wajah berpaling.

Heshita yang berjongkok di samping Pak Guru menarik busur panahnya lalu tanpa basa-basi memanah kepala Pak Guru dari jarak 30cm! Gila! Jangankan bisa menolong, gue sama Dea aja gak menyangka dia akan ngelakuin hal itu! Setelah anak panah abu-abu itu dia tarik kembali, Pak Guru menggelepar dan melebur jadi asap putih!

Dari matanya yang sayu, gue ngelihat Dea menitikkan air mata. Mereka kembali mengecek keadaan aktor-aktor berbaju SMA itu sambil sesekali menendang pelan tubuhnya. Gue juga gak tahu kenapa sampai sekarang mereka masih pingsan. Gue juga masih gak tahu kenapa mereka gak ke arah kami. Yang gue tahu, Dea pasti merasa sakit waktu ngelihat Pak Guru dibunuh di depannya dan dia gak sempat menolongnya.

Gue baru menyadari kalau gue udah bisa gerak waktu tangan gue mengusap air mata di pipi Dea. Dan saat itulah, semua kepala dengan topeng itu menoleh ke arah kami! Samar-samar, tampak asap hitam yang memudar di sekeliling kami. Oh! Pantesan mereka nggak ngelihat kami! Ternyata tanpa sadar gue membuat asap hitam yang bikin gue sama Dea menghilang dari pandangan!

Kemampuan asap hitam ini emang sering aktif dengan sendirinya. Kalau aja gue tahu gimana caranya, pasti itu bisa ningkatin peluang gue buat kabur kalau ketemu musuh berbahaya. Tapi namanya juga hidup, kalau kabur terus setiap ada tantangan, kapan berkembangnya? Buset gue bijak banget. Sampai lupa kalau para Heshita sedang menatap kami!

"I-itu! Di sana, Komandan!"

Dea berdiri melindungi gue. Asap merahnya udah siap berubah jadi duri-duri tajam. Gue yang untungnya udah bisa bergerak, segera berdiri dan bersiaga dengan pedang berasap merah. Para Heshita penunggang kuda, yang membawa panah di punggung mereka, bergerak cepat mengepung kami. Di belakangnya, Heshita yang mereka panggil Komandan berdiri bersebelahan dengan Heshita yang membawa tombak panjang.

"Benar! Tidak salah lagi!" kata seorang Heshita yang semakin mendekat perlahan.

Gue sama Dea gak mau memulai serangan terlebih dahulu. Selain karena kami udah dikepung, kami juga menunggu celah buat pergi ke tempat yang lebih luas dan terang dibandingkan ruang UKS palsu rumah hantu ini. Kalau gue hitung, yang mengepung kami sekarang ada 8 orang. Berarti total ada 10 Heshita di ruangan ini.

Jujur aja, seumur hidup gue gak pernah dikepung orang. Kalau mengepung kambing kurban yang mau kabur dari lapangan gue pernah. Yang membuat gue heran selain motif topeng mereka yang aneh sebenarnya adalah cara mereka mengepung kami ini. Gak kayak di pasar gaib waktu itu, di mana mereka semua menodongkan panah, kali ini mereka malah berbisik-bisik doang tanpa memegang senjata.

"Dea. Kayaknya ada yang aneh, deh,"

"Tenang, Do. Aku pasti ngelindungin kamu, kok."

Satu Heshita melangkah maju ke hadapan Dea.

"B-begini ... apa benar ... Anda a-adalah Ratu Merah?"

Dea gak menjawab. Dia masih bersiaga mengawasi gerak-gerik para Heshita itu.

"A-anu ... maaf lancang ... kalau benar Anda adalah Ratu Merah ... s-saya cuma mau bilang ... kalau Anda j-jauh lebih cantik dari yang kami dengar."

Dea yang bingung menatap gue sesaat sebelum para Heshita itu kembali berbisik-bisik sambil memandangi Dea. Heshita di depannya yang tadi berani ngomong, melangah semakin dekat ke hadapan Dea. Dea yang sedikit lebih pendek daripada gue jadi kelihatan kecil di depan Heshita yang bahkan lebih tinggi dan kekar daripada Sulay.

"R-ratu ... maukah Anda menjadi istri saya?"

Tangannya yang berkulit oranye bergerak meraih tangan Dea yang putih mulus. Tangan gue yang memegangi pedang tiba-tiba menepis tangan Heshita itu. Semuanya langsung menatap gue dari lubang bola mata berwarna hitam. Kenapa? Tangan gue emang gerak sendiri, kok!

"Manusia!" kata para Heshita itu.

"Lancang sekali manusia ini! beraninya dia menghalangi pernikahan kita, Ratu!"

Dea meninju perut Heshita di depannya dengan keras dan cepat! Lalu, sambil menatap gue dia tersenyum.

"Maaf, ya ... kalian bukan tipe aku," kata Dea.

Heshita yang berlutut sambil memegangi perut, menatap gue yang tiba-tiba dipeluk Dea. Gue juga kaget!

"Tangkap manusia itu!" teriaknya.

Gue yang dipeluk oleh Dea otomatis jadi susah gerak, dong! Pasti mustahil banget buat melawan serangan 8 Heshita sekaligus. Dengan asap merahnya, Dea membawa gue terbang! Tanpa takut membentur langit-langit rumah hantu yang gelap, Dea terus melaju sampi kami melubangi atap rumah!

Sekarang kami berada di ketinggian, melayang dan menyaksikan kekacauan di sekitar halaman kantor dan wahana rumah hantu. Dari atas sini, gue bisa ngelihat monyet-monyet raksasa yang berhadapan dengan pasukan Torgol. Rava dan Anto juga kasihan banget karena harus lari-larian meghindari serangan monyet-monyet itu.

"Kok monyetnya tambah banyak, sih!?" tanya gue.

Dea menunjuk ke parkiran, kepada sebuah mobil hitam yang di atasnya terdapat portal gaib!

"Ternyata di sini juga ada orang yang membuka portal gaib, Do,"

"Alip Topak!? Sialan!"

Karena lengah beberapa saat, melesatlah dari bawah sebuah tombak panjang berwarna hijau. Apaan, nih!? Kok bisa sepanjang itu!? Gue dan Dea terpisah. Dea, sih aman-aman aja berkat asap merahnya yang bikin dia tetap bisa melayang di udara. Lha gue? Jatuh terjun bebas, dong!

Gue menebas tombak itu, dan ada baiknya ketika tombak itu gak berhasil gue potong. Jadinya, sekarang gue bergelantungan sebentar sebelum turun melompat ke permukaan atap rumah. Tombak berwarna hijau itu memendek ketika Dea menyusul gue di bawah.

"Maaf, ya, Do! Kamu gak kenapa-kenapa, kan!?"

"Enggak, enggak. Aman, kok. Lihat ke bawah, deh. Ternyata itu tombak Heshita,"

"Do. Sebenarnya aku males ngomong begini ... tapi kayaknya sekarang kita harus gabung sama tim Sulay, deh,"

"Iya. Aku juga mikir gitu. Terus, sekarang dia di mana?"

Sebenarnya gak perlu dicari-pun orang kayak Sulay ini pasti udah mencolok. Soalnya cuma dia yang bisa mukulin monyet-monyet raksasa sampai terpental ke mana-mana. Gue meraih tangan Dea, menggenggamnya ketika gue memakai sihir merah muda buat menatap jauh ke arah satu monyet yang udah terkapar di dekat Sulay. Dengan sihir hijau, kami udah berdiri di samping Sulay.

Sulay menatap kami sambil merapikan blazer hitamnya itu. Tiga monyet raksasa yang tadi dipukul Sulay, bangkit dan melompat menyerang kami. Dengan pukulan berlapis asap hitamnya, Sulay meninju muka monyet itu sampai terpental jauh. Duri-duri dari asap merah Dea melesat sampai menembus sekujur tubuh monyet raksasa yang berusaha menerkamnya.

Dan satu monyet yang tersisa, melayangkan pukulan ke arah gue yang gue tahan dengan pedang. Ketika kami bertatapan, monyet itu langsung lari ketakutan.

"Jadi, mana musuh utamanya?" tanya Sulay.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang