Sambil makan tahu isi yang ternyata rasanya enak banget ini, gue mengamati situasi dengan asap biru. Di depan sana yang gak bisa gue lihat karena terhalang sekat, terasa hawa gelisah dari beberapa orang tepat ketika bola lampu itu mati.
Sulay dan Dea masih duduk tenang dengan makanan mereka sampai sebuah lampu berwarna merah yang menempel di dinding menyala diiringi suara seseorang.
“Kepada seluruh penumpang kapal Suka Berlayar, harap mengambil pelampung masing-masing dan berjalan dengan tenang menuju dek kapal. Sekali lagi kami ulangi….”
“Ada apa, Do?” tanya Dea.
Gue udah keringat dingin karena ketakutan yang gue takutkan mungkin menjadi kenyataan.
“Kayaknya kapal ini bermasalah. Ayo kita pindah,” sahut Sulay yang udah menarik kopernya.
“K-kenapa dibawa, Pak? Orang-orang gak ada yang bawa barang,”
“Nanti kalau hilang gimana? Ayo cepetan!”
Tangan kiri Dea menarik gue untuk berjalan. Perasaan khawatir dari banyak orang terserap ke dalam diri gue karena asap biru yang masih melayang-layang. Dan berkat sentuhan tangan Dea, asap biru mulai menghilang.
“Tenang aja, Do … aku ada di sini, kok.”
Sampailah kami di bagian dek kapal yang berpayung langit gelap dengan sisa-sisa cahaya matahari sore. Beberapa petugas membantu orang-orang memakai pelampung. Tuh, kan! Kalau sampai dipakai artinya….
“Harap tenang, Bapak-Ibu sekalian … mohon dengarkan saya,” ucap seorang pria bertubuh tinggi.
“Saat ini kapal kita sedang dalam kondisi tidak stabil yang mengakibatkan mesin utama berhenti bergerak. Oleh karena itu, sekarang kita melaju dengan kecepatan terendah. Di radar, kami melihat kapal lain yang sedang melaju dengan kecepatan penuh dan akan melewati titik kita sekarang.”
Gue segera mengaktifkan asap merah muda dan melihat-lihat laut di arah yang di tunjuk pria itu. Benar! Gue bisa ngelihat ombak yang terbelah di bawah lampu-lampu kecil. Itu pasti kapal!
“Kalau dalam 15 menit mesin kita tidak berhasil dinormalkan, harap Bapak-Ibu sekalian meninggalkan kapal ini dan menaiki sekoci yang tergantung di dinding luar. Kemungkinan terburuknya kita akan ditabrak karena kami tidak bisa berkomunikasi dengan kapal di sana ataupun pihak kelautan yang bertugas.”
Buset! Tentu aja semua orang langsung heboh, dong! Mau tabrakan, coy! Gue segera memasangkan pelampung pada Dea yang baru aja menghabiskan tahu isinya.
“Emang harus dipakai, ya, Do? Tapi, kan aku jadi kelihatan gemuk,”
“Makin gemuk makin bagus, Dea biar bisa mengapung!”
“Eh, Do. Daripada lo panik sendiri terus jadi bego, mendingan lo cari cara biar mesin kapal ini normal lagi. Gue yakin ini ada hubungannya sama spirit itu,”
“Gak akan sempat, Pak! Lagian gue bukan insinyur mesin kayak Si Doel!”
Sulay meremas kertas gorengan yang udah habis lalu melemparnya ke bak sampah.
“Gini, deh. Kalian berdua urusin kapal ini, biar kapal yang di sana jadi urusan gue. Kalaupun kalian gagal, gue masih bisa belokin arah kapal di sana biar tabrakannya gak terlalu parah.”
Dea menyentuh pipi gue ketika gue sedang memakai pelampung dengan gemetaran.
“Ayo, Do. Ini seru, tahu,”
“Seru!? Seru dari mana, Dea!? Ini seram!”
“Ya semuanya akan lebih seram kalau tabrakan itu beneran kejadian, Do. Kamu mau orang-orang itu lebih ketakutan lagi? Kamu mau mereka luka-luka? Kamu mau aku jatuh ke laut terus tenggelam terus dinikahi ikan? Enggak, kan?”
Gue yang terdiam malah mengeluarkan asap biru lagi. Tapi kali ini, gue merasakan hawa kehadiran aneh di bawah kaki gue. Tubuh gue berhenti bergetar akibat perkataan Dea. Gue melepas kembali pelampung oranye yang gue pakai.
“Maaf kalau aku ini penakut. Saking takutnya, aku gak bisa bayangin kamu jadi ikan.”
Gue mengangkat tangan kiri dan mengeluarkan asap merah yang memanjang. Gue butuh tiga hari buat mempelajari cara Dea menyimpan barang-barangnya selama ini. Ternyata, Dea menggunakan asap merah sebagai akses penyimpanan empat dimensi. Di tempat yang sama, gue menaruh Roksi di sana.
“Oke, Pak. Gue akan ajak ngobrol spirit itu. Mungkin dia tahu sesuatu soal permesinan.”
“Jadi baju tebal ini boleh aku lepas, kan, Do?”
“Boleh,”
“Udah cepetan sana!” kata Sulay yang mulai berjalan menuju pinggiran kapal.
Gue menarik tangan Dea sambil berlari mengikuti hawa aneh di bawah kami. Gue yang baru pertama naik kapal tentu gak tahu harus turun lewat mana. Gue cuma ketemu lapisan baja dan kayaknya gak ada pintu buat turun ke bawah.
“Keluarin asap hitam, Do. Selimutin tubuh kamu,”
“H-hah?”
Dea sedikit mencekik gue dan tiba-tiba aja sekarang tubuh gue terselimuti oleh asap hitam! Buset!
“Pada hitungan ketiga tahan napas, ya, Do,”
“H-hah!? B-bentar—”
Dea juga ikutan menyelimuti tubuhnya dengan asap merah.
“3!”
Lantai terasa hilang entah ke mana saat gue menahan napas! Kami jatuh ke bawah menembus lantai baja! Kalau aja Dea gak mencekik gue lagi, mungkin gue akan terus jatuh ke bawah dan nyemplung ke laut.
“Kamu gak apa-apa, kan, Do!?”
Gue mengangguk sambil mengatur napas. Di depan gue sekarang, tampak mesin-mesin dengan suara berisik. Ditambah lagi, tempat ini sempit banget. Hawa benar-benar jadi terasa pengap. Gue menengadah ke atas saat gue ngerasain keberadaan banyak orang.
“Kita udah sampai, Do. Gimana? Sebenarnya kita gak perlu pintu, kan?”
“I-iya. Pintu cuma bikin ribet. Hahaha.”
Asap biru di kedua pundak gue berkobar seketika. Persis waktu gue ngerasain kehadiran hawa aneh yang sejak tadi kami cari. Kami serempak menoleh ke bagian gelap di antara dua mesin besar yang gue gak tahu itu apa.
Muncul sebuah wajah yang tersenyum dari kegelapan! Gue menarik sarung pedang perlahan lalu mundur ke belakang Dea.
“I-itu a-apa, Dea?”
“Itu dia, Do.”
Kedua bola matanya yang berwarna kuning kehijauan berkedip pelan seirama dengan suara mesin kapal yang melambat. Dea melangkah ke arah sosok itu. Gue melangkah ke samping mesin berbentuk tabung. Takut.
“Kami cuma ingin bicara. Kamu bisa keluar dari sana?” tanya Dea.
Perlahan, sosok di kegelapan itu melangkah ke hadapan Dea. Ketika kegelapan tertinggal, dari balik mesin yang gue gak tahu apa ini, gue ngelihat sosok yang bikin gue tiba-tiba tremor parah. Pedang gue sampai jatuh ke lantai.
“N-na-naya!?”
Kok Naya ada di sini anjir!? Di mesin kapal lagi! Dia menoleh menatap gue. Gue gak bisa memalingkan pandangan dari rambut pendeknya yang berwarna cokelat lebih muda dari dress panjang yang dia kenakan saat ini.
Di situasi tremor itu, lampu merah yang menempel di dinding lagi-lagi menyala. Sebuah suara kembali terdengar di antara gemuruh mesin.
“Kepada semua penumpang kapal Suka Berlayar, harap segera meninggalkan kapal ini menggunakan sekoci yang telah kami siapkan. Waktu kita cuma 10 menit sebelum tabrakan terjadi. Sekali lagi kami ulangi….”
10 menit sebelum tabrakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...