BAB 73: Cerita Penempa itu

55 10 0
                                    

"Bayangin aja badut yang lucu! Pokoknya kamu gak boleh takut, Do."

Kalau soal perasaan, tentu gue gak bisa apa-apa lagi. Tapi kalau soal ngebayangin lucu-lucuan, gue rasa gue bisa, deh. Mulailah gue memandangi wajah pria itu dengan imajinasi gue sendiri. Gue ngebayangin, mukanya berubah jadi ikan lele. Berambut merah, bibir ikan, dan pipi kayak kebanyakan minum air.

Benar aja. Rasa takut gue sirna seiring asap biru yang berhenti menyelimuti badan gue. Dea udah gak berasap merah lagi, dan pria itu berhenti menatap mata gue dengan tajam. Dia kembali tersenyum waktu melangkah mendekati gue.

"Lumayan. Sihir biru itu seperti pisau bermata dua. Kamu cukup lumayan menggunakannya,"

"P-pisau bermata d-dua?"

"Iya. Memang, dengan sihir itu kamu bisa lebih peka dengan keadaan sekitar. Tapi, apa yang terjadi kalau yang kamu rasakan adalah amarah besar dari seseorang yang mengincar kamu?"

"M-maksudnya ... kayak tadi itu, ya!?"

Dia mengangguk.

"Oke, saya pergi dulu. Cukup menyenangkan mengetahui ada manusia yang potensial seperti kamu, Mardo. Sampai jumpa."

Dia berjalan meninggalkan kami ke arah dinding yang setengah jadi itu. Seperti Sulay, dia juga menghilang waktu menyentuhnya. Dea mengembuskan napas panjang dan berjongkok sambil mengusap wajahnya.

"Untung aja dia bukan orang jahat,"

"Iya, sih. Makasih, ya, Dea. Aku kelihatan payah banget, ya tadi?"

"Ini salah aku, Do. Harusnya aku nyari tahu dulu soal efek negatif sihir biru itu,"

"Gak apa-apa, kok. Aku ini orang yang belajar dari pengalaman. Kalau gak ada kejadian kayak gini, justru lebih gawat nantinya, kan?"

"Kita balik ke rumah Mbah Bondo, yuk."

Bukannya lagi duduk santai menikmati kopi, Mbah Bondo justru sedang menggambar sesuatu dengan serius. Gue sama Dea yang duduk di depannya aja masih gak dia peduliin. Dan yang gue tahu, adalah gak sopan gangguin kakek-kakek yang lagi sibuk.

"Mau bagaimanapun, kalian gak punya waktu lama-lama di sini, kan?"

"Sebenarnya iya, sih, Mbah," sahut Dea.

"Saya itu gak kerja gratisan. Kamu siap bayar saya?"

Gue dan Dea berpandangan. Jujur gue ragu mau jawab apa.

"Kopi saya mau habis. Di sini gak ada warung. Belikan saya kopi dulu di alam kalian, nanti baru saya bikinin pedang yang kamu mau. Gimana?"

Nah ini. Permintaan Mbah Bondo sebenarnya sepele. Gue tinggal pindah alam, ke warung beli kopi dan gue dibikinin pedang. Tapi, mengingat teori Nirana dan kenyataan kalau kami lagi ada di masa lalu, permintaan Mbah Bondo jadi terasa berat.

"Pergi aja, Do. Gak masalah, kok," kata Dea sambil tersenyum.

"Tapi...."

"Udah pergi aja. Aman, kok. Aku tunggu di sini, ya."

Setelah meyakinkan hati, akhirnya gue mengikuti jejak Sulay menyentuh dinding itu. Suasana seketika berubah! Yang tadinya berupa hutan hujan yang sepi, sekarang tiba-tiba perkotaan dengan udara hangat. Gue langsung ngecek hp buat ngelihat tahun sekarang.

"2000!?"

Gue ada di tahun 2000!? Anjir! Artinya gue masih bayi, dong!? Gue memperhatikan sekeliling. Keadaan kota ini gak asing. Ya! tentu aja! ini kota yang sama di mana kami ketemu Nirana! Dan di belakang gue, gak ada dinding dengan gambar badut itu. Benar juga! Dindingnya, kan baru setengah dibangun sama Mbah Bondo.

Karena takut gue ngelakuin hal-hal bodoh yang bisa ngerubah masa depan gue, gue-pun berjalan cepat nyari sebuah warung. Semakin gue mendekat, semakin gue curiga kalau yang gue lihat lagi nongkrong di warung sana adalah Sulay!

"Pak! Enak banget lo di sini,"

"Katanya tadi gak mau ikut. Kenapa sekarang lo di sini?"

"Mbah Bondo minta dibeliin kopi. Itu doang, kok."

Sulay ngambil gorengan dan makan dengan santai waktu gue mendekati penjaga warung. Untungnya, secara ajaib uang di dompet gue juga menyesuaikan sama tahun 2000-an. Dan karena itu, penjaga warung gak curiga sama gue.

"Lo masih belum selesai, ya? Gue mau balik ke sana lagi, nih,"

"Santai dulu kenapa, sih, Do. Gorengannya enak, nih,"

"Kita jauh-jauh ke sini, dan lo cuma mau makan gorengan!?"

"Berisik lo. Jadi gimana? Lo udah tahu mau pedang kayak gimana nanti?"

"Gue udah punya bayangan, sih. Gak tahu Mbah Bondo bisa ngebuatnya apa enggak."

Nungguin Sulay makan gorengan itu sama kayak gue nungguin sapi kurban yang mau disembelih. Gak boleh diganggu moodnya atau diambil makanannya. Pokoknya bikin kenyang aja sebelum tutup usia. Akhirnya, sampai gue setengah ketiduran barulah Sulay beranjak dari kursi.

"Yuk. Tidur mulu kerjaan lo."

Si kampret. Giliran gue santai dikit langsung diomelin. Sekembalinya kami ke rumah Mbah Bondo, mereka berdua lagi ketawa-ketawa. Berdasarkan pengalaman sebelumnya di mana Dea dan Nirana ngetawain gue, gue rasa kali ini juga sama, deh.

"Nah ... ini dia tukang kopinya. Terima kasih, ya," kata Mbah Bondo.

"Kok baliknya bisa bareng dia, sih?" tanya Dea.

"Dia lagi santai di warung. Makan gorengan banyak banget,"

"Oh ... pantesan mukanya kurang terawat gitu,"

"Eh! Apa hubungannya sama muka gue!?" sahut Sulay.

Sebelum Dea dan Sulay ribut, Mbah Bondo tiba-tiba aja ngeluarin asap jingga dari tubuhnya. Asap itu menggumpal di udara dan membentuk sesosok kera yang kali ini tanpa campuran semen! Mbah Bondo meloncat ke dalam tubuh kera itu, dan secara ajaib kera itu menjadi sosok padat. Persis kayak Mbah Bondo tapi dalam wujud kera!

"Mari kita kerja. Mana batunya?" kata Mbah Bondo.

Dengan cepat dan agak takut gue menyerahkan batu meteor kepada kera itu.

"Kamu ini why penakut sekali, sih!? Saya cuma membentuk tubuh baru sementara buat kerja," kata Mbah Bondo.

"K-kenapa harus j-jadi k-kera, sih!? Mbah, kan bisa jadi b-bentuk yang lain!"

"Kamu mau saya jadi kera betina!? Begitu!?"

Sulay menepuk bahu gue.

"Kayaknya dia gak punya referensi lain, Do. Biarain aja kenapa, sih."

Dalam wujud itu, Mbah Bondo emang jadi seukuran Torgol. Kami bertiga mengikutinya menuju meja kerja yang tartata rapi. Sebuah sketsa pedang yang sebelumnya dia buat, dia serahkan kepada gue.

"Berdasarkan pengalaman saya menempa pedang, model ini yang paling tepat kalau menggunakan material batu. Apa pendapatmu, Mardo?"

Gue memandangi gambar itu. Sebuah gambar pedang yang mengingatkan gue sama pedang katana milik Pak Nang yang dulu pernah gue coba. Waktu itu, gue emang merasa kalau pedang sejenis itu punya jangkauan dan kecepatan yang lebih dibanding pedang pemberian Pak Tsat.

Sketsa buatan Mbah Bondo emang keren. Tapi karena gak dikasih warna, apa itu artinya Mbah Bondo buta warna? Ngawur! Mengingat batu meteor yang berwana hitam kemerahan itu, gue rasa sebuah pedang berwarna hitam dengan beberapa tambahan warna merah akan cocok buat gue.

"Saya suka, Mbah. Tapi ... apa bisa dibikin jadi warna hitam-merah?"

"Sudah pasti jadi warna hitam karena materialnya. Tapi kalau warna lain, kamu bisa tambahkan saat proses nanti. Bisa kita mulai sekarang?"

"T-tunggu, Mbah. Kalau boleh tahu ... berat dan panjangnya gimana, ya?"

Mbah Bondo mengangkat batu meteor itu dan memandanginya.

"Sepertinya ... 1,2 meter dan tidak terlalu berat. Lanjut?"

"Oke, Mbah. Kita mulai."

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang