BAB 35: Naya dan Sayapnya

69 11 0
                                    

Semua orang kaget melihat gue dalam keadaan setengah lusuh setelah bergulat dengan Torgol. Ditambah lagi dengan kemunculan gue yang tiba-tiba di antara mereka, membuat mereka agak menjauh dari gue. Kecuali Mery.

"Do! Lo kenapa!?"

Mery ada pacarnya. Mery ada pacarnya. Kalimat itu menggema di kepala gue ketika gue menatapnya.

"Do! Sadar, Do!"

Iya. Gue harus sadar ... kalau gak mungkin cewek secantik Mery gak ada pacar.

"Do!"

Setelahnya, Mery menyiram muka gue dengan air galon. Suara-suara menggema di kepala gue hilang seketika. Seraya mengusap wajah yang basah, gue menatap Mery yang sedang melambai-lambaikan tangannya di depan muka gue dengan tampang cemas.

"Lo kenapa, Do? Kok kayak linglung gitu?"

"A-anu ... gak apa-apa, kok."

Mery menyentuh baju gue yang berdebu dan sobek setelah sebelumnya terkena serangan Torgol.

"Kenapa kotor gini, sih? Lo habis ngapain?"

Mery kembali ke barnya, mengambil sesuatu dari balik meja.

"Gue gak apa-apa, kok. Yang penting, sekarang gue udah dapetin pedang gue lagi."

Mery mengelap debu-debu di baju gue dengan handuk kecil berwana ungu. Tampangnya menjadi cemas ketika memperhatikan banyak bekas sayatan di tubuh gue. Dan seperti yang sebelumnya gue bilang, walau terluka, gue gak berdarah sedikitpun.

"Do, gue gak punya ilmu medis sama sekali. Mendingan lo ke tempat Kak Kila, deh. Gue takut lo sakit,"

"Emang agak sakit, sih ... cuma gak berdarah aja."

Daripada gue harus ketemu Kak Kila dan nanti gue kembali berurusan sama Torgol lagi, gue putuskan buat pulang ke rumah aja. Lagian, gue juga udah dapetin apa yang gue cari: pedang gue, dan sedikit waktu ngobrol sama Mery. Yang walaupun gue tahu, kalau dia ada pacarnya.

Di depan rumah gue, dua orang cewek tampak sedang mengobrol dalam keadaan pintu rumah masih tertutup. Satu di antaranya adalah seorang cewek berambut pendek berwarna cokelat, pecinta kopi, dan seseorang yang membuat gue percaya, kalau setiap orang pasti berubah sesuai waktunya masing-masing. Naya.

Cewek satunya lagi merupakan orang yang kalau udah marah nyeremin banget, tapi kalau lagi baik, dia menjadi cewek paling baik dan cantik dibandingkan makhluk serupanya. Dea. Pertanyaannya: kenapa mereka bisa ngobrol!? kenapa di depan rumah gue!? dan gue harus gimana ini!? tolong!

"Nah gitu ceritanya ... awal pertama aku kenal sama Mardo," kata Naya.

Dea cuma tersenyum.

"Eh! Itu dia Mardo! Do!"

Dea melambai-lambaikan tangannya.

"N-naya ... apa kabar?"

"Baik, kok. Eh baju kamu kenapa?"

Dea langsung memeriksa bekas sayatan di tubuh gue.

"Do!? Kamu habis berantem sama siapa!?"

Gue pengin nyeritain semuanya sama Dea, tapi gue gak nyaman nyeritain hal kayak gini waktu ada Naya di depan gue. Bisa-bisa, gue disangka gila. Menyadari kalau sesuatu telah terjadi sebelumnya, dan gue belum bisa cerita sama dia, Dea tampak menahan rasa penasarannya.

"Kamu berantem, Do!? Kenapa!?" tanya Naya.

"Enggak ... enggak ... habis latihan pedang aja tadi. Makanya jadi lusuh gini."

Sebuah benda kecil berwarna merah yang sebelumnya gue letakkan di atas meja, kini berpindah ke telinga Dea. Seperti kata Sulay, kalau sekarang Dea udah gak ada bedanya sama cewek manusia. Dengan mau memakai anting-anting itu, gue rasa Dea udah gak marah lagi sama gue. Semoga aja.

"Oh iya ... kenapa gak masuk aja?"

"Gimana mau masuk, tuan rumahnya aja baru datang," sahut Dea.

Padahal bisanya dia main terobos tembok aja. Aneh banget. Gue bingung memperhatikan Dea kali ini. Dia bertingkah layaknya tamu yang seakan baru pertama kali masuk rumah gue. Dan lagi-lagi, karena di rumah gue cuma ada biji kopi, akhirnya gue bikinin mereka kopi tanpa gula. Kalau Naya, sih harusnya gak masalah, bahkan justru dia suka. Nah, Si Dea ini gimana?

"Enak," kata Dea, setelah meminum kopi bikinan gue.

"Iya. Enak," sahut Naya.

Itu, kan pahit! Naya membuka tas ransel kecilnya, mengeluarkan selembar kertas berukuran kecil dan tipis pada gue. Sebuah bukti pembayaran layanan air bersih yang sebelumnya dihentikan karena gue gak bisa bayar. Berarti ... jawaban kenapa air gue bisa nyala kembali adalah karena Naya!? Bukan karena kekuatan Dea!?

"Ini ... maksudnya apa, Nay?"

Naya tersenyum.

"Do ... mungkin ini hal terakhir yang bisa aku lakuin buat membalas semua kebaikan kamu,"

"M-maksudnya?"

"Aku dapat beasiswa kuliah ke Australia, Do,"

"Australia!? J-jadi ... kamu mau pergi!?"

Naya mengangguk, lalu mengeluarkan sebuah lukisan yang sangat gue kenal.

"Aku ... kamu ... udah bukan lagi anak ayam, Do. Aku mau terbang tanpa khawatir nyakitin perasaan kamu. Aku mau berubah. Aku mau ... bebas makan apapun selain biji kopi. Aku mau benar-benar lepas dari kamu, Do. Semoga kamu ngerti."

Naya menjabat tangan gue. Menatap Dea, lalu tersenyum dan pergi. Gue memandangi lukisan itu. Sebuah lukisan anak ayam merah muda yang sedang memakan biji kopi, yang gue buat waktu baru pertama masuk SMA. Yang membuat gue dan Naya bisa bertemu.

Setelah Naya menghilang dari pandangan, Dea berdiri dan membereskan gela-gelas. Tanpa bersuara apa-apa. Dia membuka kulkas yang secara ajaib ada bahan makanan di dalamnya. Kayaknya Dea mau memasak sesuatu. Gue gak mau ganggu dia. Lebih baik gue ganti baju.

Walaupun tadinya gue senang pedang gue kembali, entah kenapa sekarang perasaan itu lenyap entah ke mana. Gue merasa ... sedih dengan apa yang baru aja Naya ucapkan. Gue kehilangan satu-satunya alasan kenapa gue memutuskan untuk kerja di tempat gue kerja sekarang. Gue kehilangan tujuan.

"Do. Makan dulu, yuk," terdengar suara Dea dari balik pintu kamar.

Lagi-lagi, gue merasakan sakit yang gak berdarah. Di meja makan tersaji beberapa potong roti isi. Dea terus menatap gue sampai gue duduk di depannya. Gue memandangi roti itu. Makanan yang selalu mengingatkan gue kepada Naya. Alih-alih makan, gue malah nangis. Payah banget. Dea masih diam aja. Menunggu isak tangis gue mereda dengan sendirinya.

"Dea ... jangan ada roti lagi," kata gue sambil mengusap air mata.

Dia malah mengambil sepotong dan menyuapkannya kepada gue.

"Ini bikinan aku. Mulai sekarang, ingatan soal roti aku yang ambil alih,"

"Dia ... Naya ... udah pergi. Terlalu jauh. Udah gak bisa digapai lagi. Aku udah gak punya tujuan lagi buat tetap kerja di sana,"

"Do ... kamu tahu, kamu selalu punya tujuan,"

"Apa!? Jadi orang berkumis lebat yang kerjaannya nebas-nebasin pedang di kuburan!?"

"Atau ... jadi orang yang bisa menyelamatkan seseorang di sana? atau ... jadi seorang sahabat dari orang yang keras kepala? Kamu bisa ngelakuin apapun, Do."

Dea meraih lukisan di meja dan memandanginya.

"Kamu udah cukup menelan banyak rasa pahit. Sekarang kamu jauh lebih kuat. Kamu bukan anak ayam merah muda lagi. Kamu udah bisa terbang tinggi."

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang