"Kita nggak akan kalah!"
Dea melemparkan duri-duri merahnya namun masih bisa ditangkis oleh pedang Heshita itu. Kemampuan berpedangnya gokil banget! Gue jadi minder. Asap merah di pedang gue memudar dan gue mulai keringatan. Mungkin perasaan ini sama kalau kita lagi ketemu cewek cantik kaya raya. Minder, bos!
Dea menghilang! Baru juga gue melamun bentar! Gak kayak gue yang kebingungan soal posisi Dea, Heshita itu seakan udah tahu kalau Dea tiba-tiba muncul di atasnya dan mencoba menyerang kayak meteor jatuh!
Sepatu putih Dea dan pedang besar abu-abunya saling berbenturan. Keluar asap hitam dari pedang pria itu yang bikin Dea terpental. Waktu ngelihat Dea yang berusaha bertarung sekuat tenaga demi melindungi gue yang bego ini, asap biru menjalar keluar dari bahu gue.
Gue emang bukan cowok pemberani kayak Sulay yang gak kenal takut. Gue juga bukan cowok yang emang dari dulu hobi berantem. Bahkan pertama dan terakhir gue berantem adalah waktu gue SD, itupun sama abang-abang pedagang kelomang. Ya ... bisa dibilang bukan berantem juga, sih. Lebih tepatnya gue dimarahin gara-gara mencoba melepas paksa kelomang dari cangkangnya terus gue membuang kentut di mukanya sebelum kabur.
Iya. Gue emang bukan cowok hebat. Bahkan sampai hari ini. Dan di depan gue sekarang ... ada cewek yang rela sakit-sakitan berantem sama cowok kekar hanya demi melindungi gue yang dungu ini. Seenggaknya kali ini gue pengin jadi cowok pemberani!
Roksi, pedang gue kembali mengaliri dirinya dengan asap merah. Gue mengincar bahu Heshita itu. Bukan tanpa alasan. Karena gue tahu, kalau bahu udah sakit, maka gak mungkin bisa melempar joran pancing. Gue udah ngelihat refleks dan kecepatan Heshita itu.
Gue butuh kecepatan lebih! Tadi pagi gue bisa menebas putus lengan Burhan dengan 10 tebasan beruntun dalam waktu 10 detik. Dengan pedang gue yang dulu gue bahkan bisa menebas Torgol 10 kali dalam waktu 1 detik. Gue yakin, dengan Roksi gue pasti bisa menebas sebanyak mungkin dalam waktu 1 detik! Yang penting yakin! Sikat!
Gue kembali ngelihat cincin, gelang dan kalung gue bersinergi dengan cahayanya masing-masing. Dea masih berusaha menyerang dengan tendangan, menghilang, muncul tiba-tiba dengan duri merah, menghilang lagi, dan kembali menyerang! Itu udah gokil banget! Dan semua itu masih bisa ditangkis oleh pedangnya!? Sinting!
Gue menarik napas sedalam mungkin, membuat posisi menebas seyakin mungkin menuju satu titik fokus di bahu kanannya. Asap biru di pundak gue adalah kunci dari serangan ini. Setiap kali gue ngelihat celah, asap biru gue bereaksi yang menyebabkan gue bisa ngelihat gerakannya melambat untuk beberapa detik.
Yang harus gue lakuin sekarang adalah: menebas sebanyak dan secepat mungkin sebelum gerakan melambat itu hilang! Itu dia!
"Dea! Telor ceplok!"
Dea melirik gue lalu tersenyum. Dea membuat banyak duri-duri merah dan hanya berfokus menyerang dari depan. Gue sama Dea pernah masak telor ceplok di rumah. Waktu itu, cuma cipratan minyak goreng yang bikin Dea mundur ketakutan. Dengan Dea menyerang kayak gitu, bisa dibilang kalau Dea ngerti maksud gue. Syukur, deh.
Karena dia sibuk menangkis dari depan, bahu kanannya bisa gue incar. Dengan satu tarikan napas dan seluruh tenaga yang gue punya, gue menebas sebanyak mungkin ke arah bahu Heshita itu. Gelombang kejut asap merah yang tajam menyayat-nyayat bahunya! Dari depan, dia terkena duri-duri Dea, dan dari samping bahunya gue hajar dengan gelombang kejut! Berhasil!
Sebenarnya, itu semua cuma berlangsung dalam beberapa detik! Karena yang menjadi ukuran gue adalah waktu gue bisa ngelihat gerakannya yang melambat. Ketika semuanya udah bergerak normal, gue menggunakan sihir hijau ke arah Dea yang gue tahu kalau kami gak bisa bertukar posisi. Maka yang terjadi adalah: gue muncul di sebelah Dea dan langsung menebas bahu kanan Heshita sialan itu sampai terputus!
Lengan kanannya yang masih memegangi pedang terjatuh ke lantai. Gue gak bisa ngelihat reaksi mukanya karena ketutupan topeng. Tapi gue yakin, dia pasti kaget banget. Dea menendang kepalanya dengan keras sampai membentur tembok dan gak bergerak lagi. Buset! Apa jangan-jangan dia mati!? Kalau dia sampai mati, gue beneran jadi kriminal, dong! Kampret!
"Kamu hebat banget, Do," ucap Dea.
Pandangan gue jadi gelap, gue berasa capek banget dan tiba-tiba aja gue gak bisa berdiri. Gue nggak pingsan. Gue masih bisa mendengar suara Dea yang memanggil nama gue. Gue cuma gak punya tenaga buat bergerak. Kayaknya ini efek samping dari serangan gue barusan, deh.
Karena kalau dipikir lagi, gue menyerang sekuat tenaga sebanyak mungkin cuma dalam satu waktu yang singkat banget. Pasti tubuh gue kaget dan akhirnya gue membeku. Waktu gue bisa membuka mata, gue menyaradi kalau gue lagi terbaring di pangkuan Dea. Heshita dengan lengan kanan yang berlumuran darah hitam itu udah berdiri menatap kami.
"Selama ini saya berpikir, daripada menghindari serangan musuh, lebih baik menangkisnya. Naif sekali. Ini ganjaran saya ketika bertemu musuh yang lebih kuat."
Dea mendekap gue waktu Heshita itu berjalan mendekat. Dia mengambil lengan kanannya, menatap kami dan berjalan gitu aja masuk ke dalam portal. Apa jangan-jangan dia udah gak mau nangkap gue lagi? Bagus, deh kalau gitu!
"Do! Do! Kamu gak apa-apa, kan!?"
"Aku gak apa-apa, kok. Cuma gak bisa gerak aja. Kamu gimana? Ada yang sakit nggak?"
Sambil tersenyum Dea menggeleng. Dea menyelimuti gue dengan asap merahnya sekaligus memeluk gue sampai terasa hangat. Bagi gue, selama ini hanya aroma kolam pemancingan seusai hujan dan aroma kopi hitam yang bisa menenangkan. Ternyata, aroma tubuh Dea yang seharum bunga mawar juga terasa menenangkan.
"Jadi ... manusia mana yang harus kita bawa?"
Gue dan Dea kaget ketika ada suara di belakang kami. Wajar kalau kami gak menyadari kedatangannya karena ternyata baru kepalanya doang yang keluar dari portal. Pantesan gak ada suara langkah kaki. Dengan motif topeng yang berbeda, gue yakin dia juga salah satu Heshita yang mau menangkap gue! Sialan! Mana gue masih belum bisa apa-apa lagi!
Dia keluar dari Portal sambil membungkuk. Badannya tinggi banget! Mungkin hampir setinggi Torgol. Dia menengok kiri-kanan, mungkin heran menyaksikan banyak orang pingsan di lantai. Belum lagi keadaan ruangan UKS yang berantakan dengan lampu seadanya.
Heshita itu gak membawa pedang, melainkan tombak panjang berwarna hijau. Dia menghentakkan tombaknya ke lantai, lalu terdengar suara ringkihan kuda. Keluarlah para Heshita berkuda lainnya melalui portal! Melihat panah di punggung mereka aja langsung membuat kami ngeri.
"Bawa saja semuanya. Beres, kan?" kata seorang Heshita di atas kuda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...