Gak seperti seharian ini ketika Vivin tampak ceria waktu main sama kucing-kucing di rumah Nita, waktu kami sampai di kantor, Vivin tampak berbeda. Apalagi setelah pertanyaan yang tadi dia ucapkan waktu di atas motor. Dia jadi tampak murung. Apa gara-gara jawaban gue, ya?
"Makasih, ya, Om sudah ngajak aku main-main hari ini,"
"Iya. Hari ini jadi tambah seru waktu sama kamu. Nanti kita main-main lagi, ya."
Mbak-mbak tanpa alis yang berjaga di resepsionis langsung berjalan cepat menyambut kepulangan kami. Tanpa alis di wajahnya, ekspresi kaget dari wajahnya jadi kelihatan aneh. Udah pasti dia kaget karena ngelihat beberapa baju Vivin yang sobek.
"Pak Mardo! Apa-apaan ini!?"
Belum juga suara gue keluar buat jelasin semuanya, tiba-tiba aja bermunculan asap hitam mengelilingi gue! Gumpalan asap itu berubah menjadi cowok-cowok berbadan tegap dengan kumis tipis! Apaan, nih!? Kok muncul model majalah!? Yang bikin tambah heran adalah: mereka semua menodong gue dengan tombak!
Dengan anggapan gue akan dikeroyok sebentar lagi, tentu aja gue memasang sikap siap-siap dengan tangan di pedang. Lalu dari arah lobi, sesuatu yang sangat cepat menuju ke arah gue! Torgol dengan wujud burungnya! Begitu dia mendekat, dia berubah menjadi wujud manusianya sambil menendang brutal ke arah gue! Untung aja bisa gue tangkis tepat waktu.
"Mardo," katanya yang saat ini berdiri di depan cowok-cowok itu.
"Gak ada yang mau dengar ceritanya dulu, nih?" tanya gue.
Gue agak bingung sekaligus kesal sama Vivin. Kenapa dia diam aja? Harusnya dia langung bilang ke orang-orang kalau bukan gue pelakunya! Waktu gue nengok ke arahnya, ternyata Vivin udah pingsan! Kok sekarang, sih!? Cewek-cewek dari tim medis berlarian menuju Vivin. Dengan gak adanya Kak Kila di antara mereka, gue jadi takut kalau-kalau dia datang dengan wujud kepala doang itu.
"Jatuhkan pedang kamu, Mardo. Ikut kami dengan tenang menghadap Si Bos," kata Torgol.
"Ini salah paham, Pak! Saya bisa jelasin semuanya!"
Dari lorong, seseorang berjalan mendekati kami. Kumisnya yang lebat itu masih gue ingat. Dia mau apa sekarang!? Terus Sulay ke mana, sih!? Bukannya dia lagi ngincar orang ini!?
"Tenang ... tenang semuanya saudara-saudara ... gak usah ribut-ribut," ucapnya.
Dia menatap gue dengan senyum kesal.
"Gue emang udah sering dengar kalau orang-orang rendahan dari tim lapangan semuanya emang bersikap kayak preman,"
"Mau lo apa?" tanya gue.
Dia mengambil paksa sebuah tongkat dari tangan cowok di sebelahnya.
"Gue, kepala tim IT yang jenius udah berhasil bikin senjata ini. Pedang lo gak ada apa-apanya dengan teknologi."
Insting sihir biru gue bisa merasakan tombak yang sedang mendekat dengan cepat. Gue yang baru aja bisa menghindari semua serangan cepat cakar kucing raksasa, secara aneh gak bisa menghindari tombak itu! Walaupun untungnya gue bisa menangkis dengan pedang, tapi tetap aja gue gak bisa menghindar!
"Lihat, kan? Orang jabatan rendah kayak lo cuma dijadikan anjing pemburu doang di sini. Bahkan ... lo gak seharusnya berdiri di lantai yang sama kayak gue sekarang."
Si gila! Omongannya bikin emosi anjir!
Asap biru gue menebal di antara pundak. Gue yang kesal, secara gak sadar mengeluarkan aura aneh dari sihir biru di badan gue. Cowok-cowok tegap berkumis tipis yang dari tadi mengepung gue dengan tombaknya, tiba-tiba aja melebur kembali jadi asap hitam dan menghilang!
"A-apa-apaan lo!? S-siapa lo!?" kata cowok nyebelin itu.
Dengan tangan gemetar, dia melempar tombak ke arah gue.
"Berhenti! Ini bukan urusan Anda!" kata Torgol yang tiba-tiba berdiri di depan gue sambil menahan tombak.
Cowok berkumis lebat yang ngakunya jenius IT itu berlari pergi. Tersisa gue, Torgol dan mbak-mbak tanpa alis. Karena emang gak ada gunanya ribut-ribut soal sesuatu yang cuma salah paham, berjalanlah gue bareng Torgol menuju ruangan Si Bos.
Seperti biasa, pintu kebuka sendiri. Si Bos lagi berdiri dengan kopi di tangan kanan, menghadap sebuah lukisan pria berkumis lebat yang gue ketahui bernama Pak Tsat. Torgol berdiri di depan pintu, seakan menjaga ruangan ini.
"Mardo ... sudah kentut?"
Semenjak pertama gue bertemu Si Bos, akhirnya gue kembali mendengar pertanyaan ini lagi.
"B-belum, Bos,"
"Coba perhatikan lukisan ini, Mardo."
Gue mendekat perlahan, menatap lukisan setengah badan yang kayaknya udah berusia tua. Karena lukisan Pak Tsat cuma setengah badan, gak ada yang tahu di mana pedangnya berada. Kalau teringat cerita Dea, sosok Pak Tsat di hadapan gue sekarang ini dulunya hanya seorang pedagang sate yang hobi berantem.
"Dulu ... saya selalu bilang kalau sate bikinan dia tidak enak. Tapi, saya justru datang dan makan setiap hari. Karena saya miskin, saya tidak pernah bisa bayar dengan uang."
Si Bos meminum kopinya, lalu tersenyum kecil.
"Sepertinya kamu sudah tahu cerita ini, ya,"
"I-iya, Bos. Saya tahu sedikit."
Si Bos kembali duduk ke kursinya menghadap gue.
"Orang-orang di bawah ribut soal cucu saya yang pingsan. Apa yang terjadi sebenarnya, Mardo?"
"Maaf, Bos. Ini gara-gara saya lengah. Vivin tadi diserang jin kucing bermata tujuh,"
"Jadi kalian mengunjungi rumah di dalam gang itu, ya. Ya sudahlah. Saya tahu dia tidak apa-apa, dan semua ini bukan salah kamu. Tapi, saya tidak bisa mengendalikan gosip yang beredar,"
"G-gosip!? Maksudnya apa, Bos?"
"Saya membicarakan soal Burhan, kepala tim IT. Seharusnya kamu sudah dengar soal dia dari Sulay,"
"Soal ... penjualan ilegal itu, ya, Bos?"
"Ya. Dia memang cerdik. Tidak mudah membongkar kejahatannya. Untuk itu, misi kalian adalah melacak semua peredaran barang-barang itu."
Awalnya gue pengin ke ruang medis buat ngelihat kondisi Vivin. Tapi Torgol gak mengizinkan gue. Daripada gue berdebat sama spirit tua berparuh ayam itu, mendingan gue ke kantin. Gue udah kelaparan dari tadi. Kantin di malam hari emang lebih ramai. Mery sampai ketutupan orang-orang yang pesan kopi.
Gue yang baru aja mau pesan nasi goreng, udah dilihatin orang-orang sekitar. Suasana yang tadinya ramai, mendadak hening. Cuma terdengar bisik-bisik. Apa ini yang dimaksud Si Bos soal gosip tadi? Apa sekarang gue jadi bahan perbincangan? Gue, kan bukan artis!
Gak peduli gue dilihatin orang-orang, diomongin dari belakang, atau semacamnya. Kalau udah di depan makanan, gue gak peduli apapun. Di keheningan itu, lagu Indonesia Raya berkumandang dari hp gue. Sebuah telpon dari Sulay.
"Lo udah di kantor, ya?"
"Iya, Pak. Lagi makan di kantin,"
"Nanti langsung ke tempat gue, ya. Gue kirim alamatnya. Jangan lama-lama lo di sana."
Sebuah maps yang dikirim Sulay adalah lokasi yang setahu gue banyak 'kupu-kupu malam' bertengger. Sulay mulai gak bener, nih! Ngapain dia ngajakin gue ke tempat kayak gitu!? Mungkin gara-gara lagu Indonesia Raya tadi, Mery jadi tahu kalau gue lagi duduk di seberangnya. Dia datang ke hadapan gue membawakan secangkir kopi tubruk.
"Cantikan siapa? gue atau Nita?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...