BAB 14: Warna Kerja

70 11 0
                                    

Gue terengah-engah ketika sampai di sebuah bengkel mobil yang sudah tutup. Alasan kenapa langkah gue berhenti di sini adalah: gue melihat ada pergulatan antara asap hitam dan merah. Gue yakin itu Torgol dan Dea. Mereka saling melilit di udara. Gak lama, asap hitam Torgol jatuh ke tanah, dan Torgol muncul dengan kesakitan.

Asap merah Dea turun perlahan. Dea berdiri di depan Torgol yang memegangi dahinya. Gue berlari menuju mereka, berharap perkelahian ini disudahi aja. Torgol menyadari gue berlari mendekat. Tepat ketika Dea mencoba mencekiknya, Torgol berubah jadi burung kecil dan terbang masuk ke mulut gue! Gue makan burung hidup!

Terakhir kali gue melihat hal ini, Torgol membuat seekor macan hitam meledak! Anjir! Apa gue juga akan begitu!? Sialan! Dea berubah menjadi asap merah lagi dan terbang masuk lewat lubang hidung gue! Anjir! Ini apaan lagi, sih!? Gue merasa ada sesuatu yang hidup di dalam tubuh gue.

Gue tersedak, membuat Torgol yang dalam bentuk burung kecil keluar diselimuti asap merah, dan gak bergerak. Dea berdiri di samping gue, merebut pedang gue lalu menjadi asap merah lagi. Pedang gue melayang ke arah Torgol dan menusuknya! Burung kecil itu berubah menjadi asap hitam dan masuk ke dalam pedang gue. Terdengar suara Torgol.

"Lihat ... ini ... Mardo...."

Pedang gue berubah warna menjadi hitam dengan gagang merah.

Dea kembali ke wujud asalnya dan berjalan sambil menyerahkan pedang gue. Gak ada senyum atau air mata di wajahnya. Dia cuma berlalu kemudian menghilang. Ketika gue menggenggam pedang gue yang sekarang berubah warna, gue merasa bisa menebas apapun.

Gue berjalan pulang. Di keramaian tempat kebakaran tadi, gue dipanggil oleh seorang anak kecil yang sebelumnya teriak-teriak dari luar warung. Bapak pemilik warung sedang terbaring di teras rumah warga yang gak kebakar. Dia udah sadar.

"Makasih, ya, Kak," kata anak itu.

"Makasih sudah nyelamatin saya, ya, Do,"

"Iya, Pak."

Di rumah gue yang sekarang gak punya pintu dan jendela, gue melihat semua listrik udah kembali nyala. Dea duduk di meja makan dan terus menatap gue. Gue gak membalas tatapannya ataupun bersuara apa-apa. Gue langsung ke kamar mandi buat cuci muka.

"Mardo! Aku mau ngomong!" teriaknya.

Gue langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu.

"Kenapa kamu selamatin orang itu!?"

Dea tiba-tiba sudah berdiri di belakang gue.

"Kenapa?" tanya gue ketika menatapnya.

"Dia orang jahat! Dia ngasih kamu makanan kadaluarsa, Do!"

"Emang kenapa? Aku gak akan mati gara-gara itu, kok,"

"Aku gak suka, Do! Aku gak suka ada orang seenaknya sama kamu!"

"Kenapa? Kamu tahu apa tentang aku!? Kamu tahu apa soal Pak Timan!? Kamu gak tahu apa-apa, dan aku juga gak tahu kamu siapa!"

Dea terdiam. Melangkah mundur lalu duduk di tepi kasur.

"Kalau kamu gak ada keperluan apa-apa sama aku, mending kamu pergi sekarang! Kalau kamu mau ambil gayung aku, ambil aja! Jangan ke sini lagi!"

Ada air mata menetes di pipinya. Sedetik, dia-pun menghilang. Meninggalkan aroma bunga mawar.

Hari udah hampir pagi. Untungnya gue sedang diliburin sama Si Bos karena kemarin Sulay sakit. Seenggaknya gue punya waktu buat istirahat dan menenangkan pikiran. Tidur pulas gue terbangun ketika gue mendengar suara orang dari luar.

"Mardo...."

Suara cewek. Suara dia. Suara Naya! Gue berjalan ke pintu depan yang belah dua. Di antara celahnya, gue melihat Naya sedang berdiri dengan baju dan rambut cokelat.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang