BAB 17: Dandanan Kerja

81 12 0
                                    

Gue meninggalkan Sulay dan Dea di meja makan ketika sedang mencuci gelas di dapur. Walau pelan, gue bisa mendengar mereka berdebat. Mereka mempermasalahkan soal Torgol. Sulay bilang kalau Dea gak seharusnya menyegelnya ke dalam pedang gue, karena katanya Torgol adalah milik kantor.

Sedangkan menurut pembelaan Dea, Torgol adalah makhluk jahat yang membahayakan gue. Dan dia merasa wajib menyingkirkan semua hal yang membahayakan gue dengan alasan kontrak. Sedangkan gue, masih gak tahu siapa yang bisa gue percaya seutuhnya.

Dea menghampiri gue ke dapur dengan wajah kesal. Bibirnya yang cemberut membuat wajahnya jadi menggemaskan. Aneh juga gue bisa berpikiran kayak gitu sama dia, yang katanya bukan manusia ini. Dia berdiri di samping gue dan gak ngomong apa-apa sampai gue selesai.

"Kenapa lagi?" tanya gue.

"Kamu percaya sama aku, kan, Do?"

Gue mencuci tangan sebentar.

"Kenapa ... air aku bisa mengalir lagi, ya? Harusnya layanannya udah dicabut,"

"Do! Kamu percaya sama aku, kan?"

Gue berdiri menatapnya.

"Untuk sekarang, sih aku percaya aja."

Kami kembali ke meja makan. Sulay sibuk dengan hpnya.

"Jadi gimana, Pak? Mau, kan bantu dia?"

Sambil tetap main hp, dia mengangguk.

"De ... Ya? Aku manggil kamu gimana, sih? De atau Ya? Atau Ea?"

"Terserah, Mardo,"

"Oke. Nah, jadi kamu ini bukan manusia, kan?"

Dea mengangguk.

"Terus kamu ini apa?"

"Aku juga gak tahu. Yang jelas aku bukan hantu atau arwah penasaran atau yang lainnya. Mungkin ... jin cantik mungkin?"

"Berarti gak semua orang bisa melihat kamu, dong?"

Dea mengangguk.

Gue memperhatikannya yang saat ini duduk di sebelah gue. Emang gak ada bedanya sama manusia. Lalu, gue teringat ketika hari di mana gue melamar pekerjaan ini. Salah satu hal yang diingatkan oleh orang pada saat itu adalah seragam. Iya juga! Dea harus punya seragam.

"Kamu punya baju lain gak?"

Dea langsung memperhatikan bajunya.

"Emang baju aku kenapa? Kamu gak suka, ya?"

"Bukan gitu ... tapi kayaknya pakai baju gaya kantoran lebih cocok, sih. Sekarang kita, kan rekan kerja."

Dea tersenyum. Sulay mengembuskan napas panjang sambil melirik gue sebentar. Dea masuk ke kamar mandi lalu terdengar bunyi keran air. Gue berjalan mendekati pintu yang sekarang rusak parah gara-gara gue sendiri. Udah cukup malam untuk kegiatan pertukangan. Tapi gue tetap harus benerin pintu ini. Ketika gue mulai, Sulay datang dan langsung bantuin gue.

"Minggir. Gue aja yang benerin,"

"Mohon maaf, Pak ... ini adalah salah satu bakat gue. Mending Bapak yang minggir."

Sulay gak dengerin omongan gue. Dia langsung memegang potongan pintu, dan hal gila terjadi. Keluar asap hitam dari pergelangan tangan kanannya, yang menyelimuti potongan-potongan pintu itu dan membuat mereka kembali tersambung dan menjadi utuh! Begitu juga dengan jendela di sebelahnya. Semua kerusakannya pulih dengan ajaib. Lalu, dia menatap gue dengan senyum sombong.

"Sekarang giliran lo buat masangnya. Bisa, kan?"

Dia pergi dan kembali duduk di meja makan. Setelah gue selesai, suara keran air di kamar mandi berhenti dan pintunya terbuka. Dea keluar dari sana. Dengan pakaian berbeda, rambut yang terlihat lebih berkilau dan bibir yang gak lagi kelihatan pucat. Gue dan Sulay gak bisa mengalihkan pandangan darinya.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang