BAB 37: Latihan dan Waktunya

71 10 0
                                    

Kantung plastik putih yang tadi dibawa Dea ternyata berisi banyak mie instan. Gue juga gak tahu sejak kapan dia suka makan itu. Satu hal yang masih sangat gue khawatirkan adalah: dia beli pake uang apaan!? Gue takut aja kalau-kalau dia beli pake uang gaib buat belanja di warung Pak Timan, terus uangnya hilang secara gaib. Gue jadi merasa bersalah, dong sama Pak Timan. Perekonomian negara bisa kacau gara-gara Dea.

Dea duduk di sebelah gue, berhadapan dengan Kikuem yang masih belum menyentuh mie instan bikinan Dea. Sedangkan gue, tinggal bersisa sendok doang di dalam mangkuk. Lapar, bro. Kikuem ini kelihatannya sopan banget buat ukuran hantu. Dia sama sekali gak menatap mata kami waktu diajak ngobrol.

"Nah, jadi gini, Do. Tujuan aku ngajak Kikuem ke sini adalah buat ngelatih kamu nguasain ilmu yang baru kamu pelajari. Dan menurut aku, dia yang paling tepat."

Iya juga. Sesaat setelah pertarungan gue sama jin ikan gabus itu, gue sempat ngelihat dia menggunakan asap hijau buat ngembaliin air pemancingan yang kering.

"O-oke ... jadi aku harus ngapain?"

"Semua terserah Kikuem. Kamu harus nurut sama latihan yang dia kasih. Oke, Mardo?"

"Terus kamu ngapain?"

Dea menatap gue sebentar, lalu ngelanjutin makan.

"Makan, dong."

Sementara Dea lagi beres-beres dapur, gue sama Kikuem duduk berhadapan dengan canggung di kamar gue. Sekarang, dia udah mau menatap mata gue. Bahkan, cara dia bicara juga berasa lebih berani dari sebelumnya.

"Mardo. Apa yang kamu tahu soal ilmu ini?"

"Emm ... waktu?"

Keluar asap hijau tipis di sekujur tubuhnya.

"Mardo. Apa yang kamu tahu soal ilmu ini?"

"Emm ... waktu? Eh!?"

Gue merasakan kejadian yang berulang. Aneh banget.

"Tadi itu apaan!?"

"Begitulah cara ilmu ini bekerja. Dalam ruang lingkup tertentu, dia bisa memainkan waktu beberapa saat,"

"J-jadi ... apa yang kamu lakuin di pemancingan waktu itu ... kamu cuma mundurin waktu sesaat sebelum airnya menguap?"

"Benar. Ternyata, kamu tidak sebodoh tampangmu, ya,"

"Makasih."

Kikuem menunjukkan beberapa hal yang bisa dilakuin ilmu hijau ini. Kayak ngembaliin sebuah lilin meleleh yang sebelumnya dipakai Dea ke bentuk asalnya. Keren banget! Itu berarti, gue bisa memakai ilmu ini buat makan nasi bungkus terus nasinya utuh kembali! Gitu terus sampai gue bosan makan nasi! Hebat!

Kikuem juga nunjukin hal hebat lainnya. Seperti ngembaliin tubuh capek menjadi segar bugar dengan memindah waktu ke tubuh baru bangun tidur ke waktu sekarang dalam beberapa detik aja! Itu artinya gue bisa begadang sama bapak-bapak di warung buat jaga malam! Luar biasa!

"Tapi ... dalam pertarungan ilmu ini bisa apa?"

Berdirilah gue berhadapan dengannya di halaman depan rumah dengan pedang terhunus. Dea duduk di teras rumah, lagi mewarnai kukunya dengan serius. Ada-ada aja.

"Serang saya, Mardo. Jangan ragu-ragu,"

"Mohon maaf, Mbak. Tapi saya gak suka nyerang cewek."

Tangan Kikuem memanjang dengan cepat ke muka gue!

"Oke!"

Asap hitam keluar menyelimuti pedang gue. Dan untuk hal ini, gue udah tahu cara ngendaliinnya. Beberapa tebasan yang gue lontarkan ditangkis dengan cantik oleh kedua tangannya yang bisa memanjang dengan ajaib. Gue berlari ke arahnya, mencoba menyerang dari jarak dekat.

"Ayo, Mardo! Serius!"

"Hehe ... jangan nangis, ya!"

Kalung gue menyala, pertanda kecepatan gue akan meningkat drastis! Benar aja, Kikuem kewalahan menangkis dan menghindari serangan gue yang sedekat ini. Dan beberapa momen kemudian, gue seakan bisa membaca dan memprediksi gerakannya. Hingga akhirnya, gue tersenyum lebar sebelum gue menebas kedua tangannya itu!

Kikuem tampak kesakitan! Gue jadi merasa bersalah. Jangan-jangan gue terlalu berlebihan. Kikuem yang terduduk, perlahan mengangkat wajahnya dan menatap gue sambil tersenyum. Kedua tangannya yang sebelumnya kena tebasan pedang gue, tiba-tiba pulih dengan cepat.

Secara aneh banget, Kikuem udah berdiri di depan gue dengan posisi kuku-kuku panjangnya yang melesat dengan cepat ke arah gue! Dan tiba-tiba aja, kedua bahu gue tercabik!

Pedang gue terlepas dan terjatuh ke tanah. Gue tersungkur memegangi bahu yang terluka. Apa yang terjadi!? Gue bingung banget! Gue menoleh ke arah Dea, melihatnya yang tersenyum lalu kembali melanjutkan kesibukannya sendiri.

Kikuem berjalan mendekati gue, ada cemas yang gue lihat dari ekspresinya. Dia membantu gue berdiri dan berjalan ke teras rumah. Dea menatap gue sambil senyum-senyum.

"Gimana, Do?"

"Gak perlu nanya juga, dong. Udah jelas aku kalah,"

"Tapi kamu udah hebat banget, Do. Cuma masih ... agak kurang pintar aja."

Mereka berdua lalu ngetawain gue! sialan banget hantu-hantu ini!

"Itu tadi apaan, sih? Ilmu hijau itu, ya? Tapi kok aku gak ngelihat asapnya,"

"Kamu sudah kena ilmu itu waktu mendengar suara saya, Mardo,"

"Hah!?"

Dea menyelesaikan kuku terakhirnya, menutup botol lalu memeriksa luka gue.

"Do, semua ilmu sihir ini mengandalkan panca indera dan imajinasi. Jadi, barusan kamu terkecoh sama indera pendengeran kamu sendiri sehingga indera penghilatan kamu berkurang sebentar. Makanya kamu gak ngelihat visual asap hijaunya,"

"Kok baru bilang, sih? Dea ... Dea,"

"Kamu sendiri kenapa gak nanya dulu!? Cowok!"

Ini apaan, sih!? Kok gue salah terus.

"Gini, ya ... Mbak-mbak sekalian ... bisa jelasin yang lebih mudah dipahami nggak?"

Dea mengangkat telapak tangan gue dan meletakkan jari telunjukknya.

"Mau pamer kuku baru?"

"Iya, sekalian. Gini aku jelasin."

Sebelum itu, Kikuem mendekat ke samping gue dan meniupkan asap hijaunya ke bahu gue yang luka. Lalu, luka itu menghilang seketika.

"Ilmu ini bisa ngendaliin ruang dan waktu. Kamu udah lihat contoh-contohnya, kan? Nah, kalau dalam situasi tenang kayak sekarang, hal itu bisa dilakuin dengan mudah. Tapi dalam pertarungan, kamu harus nyiapin satu titik tertentu buat mengira-ngira kapan kamu bisa kembali ke waktu itu kalau hal buruk terjadi."

Dea meletakkan jari telunjuk satunya lagi, seakan menggambarkan posisi gue dan Kikuem yang sedang bertarung.

"Kikuem dengan pengalaman bertarungnya, mengetahui bahwa kamu bisa ngalahin dia dengan kecepatan di jarak dekat. Sebelum itu kejadian, dia membuat titik waktu sesaat setelah kamu baru mendekat. Dan waktu kamu lengah, dia ngembaliin tubuhnya ke titik waktu tadi dan langsung menyerang kamu. Gitu, Do."

Gue menggaruk-garuk kepala. Bukan karena gak paham, cuma iseng aja. Serius.

"Jadi ... emm ... gimana, gimana?"

Dea geleng-geleng kepala sambil ketawa. Dia meminta Kikuem buat masuk ke dalam rumah dan bikinin gue kopi. Sedangkan Dea berjalan ke arah pedang gue yang tergeletak dan menyerahkannya pada gue yang masih terduduk di teras.

Dea meniupkan asap merah ke mata gue! setelah gue yakin kalau ternyata gue gak kelilipan, Dea menunjuk ke arah Kikuem di dapur yang sedang menyeduh kopi. Dan di samping gue, ada segumpal asap hijau yang melayang. Tepat di posisi Kikuem sebebelumnya.

Ketika dia selesai bikin kopi, dia mengeluarkan asap hijau di sekujur tubuhnya. Beberapa saat kemudian, dia seakan menguap menjadi asap hijau lalu menghilang. Dea menunjuk segumpal asap hijau di sebelah gue yang menebal. Lalu, Kikuem udah berdiri di sebelah gue dengan secangkir kopi di tangannya.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang